x
Suara tangis samar terdengar di lorong rumah sakit itu.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoZZVccbVdX
Udara di ruang tunggu lantai dua itu begitu dingin, tapi keringat mengucur dari pelipis Nadira. Tangannya mencengkeram erat-erat tas kerja yang bahkan tadi tertinggal di ruangannya. Jantungnya berdetak tak beraturan. Ia duduk di bangku panjang bersama Dina, Rani, Evan, dan Bu Ratih—semua diam, kecuali isak pelan yang pecah dari Dina sesekali.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaTHqqIphPJ
Jam menunjukkan pukul 11:27
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNh5gZuJh8A
Belum ada kabar apapun dari ruang Intensive Care Unit. Sejak datang setengah jam lalu, Nadira hanya sekali bertanya ke perawat yang berjaga, dan jawaban mereka membuat napasnya tercekat,
“Kondisinya sangat tidak stabil. Dokter masih berusaha sekuat mungkin.”
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1KG4EynLli
Satu-satunya orang yang terlihat tenang adalah Bu Ratih. Duduk tegak, tangannya saling menggenggam di atas pangkuannya, tak ada ekspresi panik atau syok. Entah kenapa, justru hal itu membuat Nadira semakin resah.
Lalu pintu itu terbuka.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJ3kj1cfwro
Dokter laki-laki paruh baya keluar dari ruang ICU, melepas masker dari wajahnya. Tatapannya menyapu sejenak ke arah mereka semua, lalu berjalan perlahan mendekat.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1cpOhAb7iK
“Siapa keluarga pasien atas nama Ario Pradipta?”
Semua menoleh ke Bu Ratih secara refleks. Bu Ratih berdiri, pelan, tangannya menggenggam kuat tali tas. Bibirnya bergetar.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡk4gLsAve8a
“Saya… saya bukan keluarga… tapi saya atasannya. Bagaimana kondisinya, Dok?”
Dokter itu menghela napas, menunduk sebentar, lalu berkata dengan suara pelan dan dalam.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRkC6l7I3W4
“Maaf… pasien tidak tertolong. Luka dalam dan pendarahannya terlalu parah. Kami sudah melakukan yang terbaik.”
Seketika dunia menjadi hening bagi Nadira. Suara tangis Dina pecah duluan, disusul Rani yang langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. Evan menghela napas keras, menunduk, lalu memukul dinding di belakangnya dengan kepalan tangan.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡY6pUQZcChL
Tapi Nadira tidak menangis. Tidak langsung.
Ia hanya berdiri kaku. Menatap ke lantai. Kepalanya menunduk.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSOvXYPhcnw
Lalu…
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqIldjsqUbn
“Enggak…ini enggak mungkin” Isakan kecil keluar dari bibirnya. Tubuhnya mulai goyah.
Dina langsung memegang lengannya.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlAbh204eMS
“Enggak bisa gini… Dia janji… dia janji masih mau bahas hasil investigasinya…” ucapnya dalam hati.
Dan akhirnya, Nadira jatuh bersimpuh. Di lantai dingin rumah sakit itu, ia menangis keras. Tangis yang pecah dari dada terdalam, dari rasa kehilangan yang belum sepenuhnya terobati sejak Bima.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhwXvUGH1wI
“Kenapa lagi… Kenapa lagi harus kayak gini…” ucapnya dalam hati ditengah tangisnya.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZsCzi0K2JO
Evan ikut berjongkok, memeluk bahu Nadira. “Sabar, Nad… Sabar… kita semua juga gak nyangka…”
Bu Ratih hanya menatapnya, wajahnya nyaris tak tergoyahkan. Seperti sedang menyaksikan berita cuaca.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ021IWPWG5X
“Kenapa semua orang yang gue… yang pernah dekat dengan hati gue, pergi satu-satu…” ucapnya lagi di dalam hatinya.
Lorong itu bergema oleh tangis. Udara menjadi lebih dingin. Lebih sunyi.
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡa14IeDkmo3
32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdBImKN3ZFM
Baca versi lengkapnya lihat dari profile penulis.32Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCiuzLCyow5
