
Hari persidangan Bima akhirnya tiba.
76Please respect copyright.PENANAcLHml14QFN
Suasana pagi itu mendung, dan awan-awan abu menggantung rendah di langit Jakarta seolah memantulkan suasana hati Nadira yang kalut. Ia berdiri di depan gedung pengadilan dengan napas sedikit memburu, mengenakan blus putih dan celana panjang hitam, berusaha tampil tenang, meskipun dalam dirinya semuanya berantakan.
76Please respect copyright.PENANAaapcFDhKWs
Sidang ini bukan hanya soal nasib Bima. Ini juga soal dirinya. Soal perusahaan tempatnya bekerja, dan soal seberapa dalam ia sudah terlibat, secara profesional dan emosional.
76Please respect copyright.PENANAUlEvFAo3Vk
Di depan ruang sidang, hanya ada beberapa orang. Petinggi-petinggi Agra Group, beberapa staf pengacara perusahaan, dan perwakilan dari pihak kantor Nadira. Tapi hanya Bu Ratih dan Nadira yang hadir secara langsung. Nadira tidak tahu siapa yang memutuskan demikian. Tapi ia tahu, kehadirannya hari ini bukan hanya karena pekerjaannya. Ia harus melihat Bima. Ia harus memastikan ia kuat. Meski itu berarti melihat sendiri bagaimana dunia menjatuhkan pria yang ia cintai.
76Please respect copyright.PENANALZMswX3g1u
Saat mereka dipersilakan masuk ke ruang sidang, Nadira melangkah pelan. Matanya langsung menyapu ruangan, mencari sosok Bima. Tapi pria itu belum terlihat.
Ruangan dingin itu dipenuhi suara langkah sepatu dan bisik-bisik. Nadira duduk di samping Bu Ratih yang, seperti biasa, tersenyum tenang.
76Please respect copyright.PENANAYzyKsQGAbU
“Tenang saja, Nad. Apa pun yang terjadi, semua ini akan berlalu,” ujar Bu Ratih.
Nadira hanya mengangguk pelan.
76Please respect copyright.PENANAu2C0Tq3mdW
Tiba-tiba, suara berat menyela dari samping mereka. “Selamat pagi, Bu Ratih.”
76Please respect copyright.PENANAUQYVrZrg1I
Nadira menoleh dan melihat seorang pria berdiri tegap, mengenakan setelan abu-abu tua. Wajahnya dingin tapi tenang, dengan sorot mata tajam namun karismatik. Bu Ratih berdiri dan menjabat tangannya dengan ekspresi yang begitu... hangat.
76Please respect copyright.PENANANbdRUb8fds
“Selamat pagi, Pak. Nadira, kenalkan. Ini Bapak Arya Maheswara.”
76Please respect copyright.PENANAKlWawWwb01
Nadira berdiri dan mengulurkan tangan. “Saya Nadira.”
Arya menjabat tangannya dan tersenyum kecil. “Saya salah satu pemilik Agra Group. Senang bertemu dengan Anda.”
76Please respect copyright.PENANAeqDxY6dVJM
Namun yang mengagetkan Nadira bukan sekadar namanya. Tapi sentuhan tangannya. Saat kulit mereka bersentuhan, ada percikan aneh yang menyelinap. Sebuah sensasi yang membuat jantung Nadira berdebar lebih cepat, seolah tubuhnya memberi respons tak biasa.
76Please respect copyright.PENANAJhw68Jz6lV
“Kenapa, Nad?” tanya Bu Ratih dengan alis terangkat.
“Eh, itu… tangan saya kesetrum, Bu. Hehe.” Nadira menggaruk tengkuk.
76Please respect copyright.PENANANNaT5gFFIv
Bu Ratih tertawa kecil. “Ada-ada aja kamu.”
76Please respect copyright.PENANADwYAp0Iymp
Tapi dalam hati Nadira berkecamuk. “Ini tubuh gue udah sepengen apa-apain banget sih sampe sempet-sempetnya mikir jorok pas jabat tangan?”
76Please respect copyright.PENANAeLkBofQPal
76Please respect copyright.PENANAPNoPNJGiAi
Baca versi lengkapnya lihat dari profile penulis.
ns216.73.216.85da2