x
Lagi—satu hari lagi tanpa kabar dari Bima terasa seperti sebulan penuh bagi Nadira.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtBUhypF5s8
Rasanya kosong, menggantung, dan menyiksa. Bukan karena ia tidak terbiasa sendiri, tapi karena sekarang ia tahu rasanya dimiliki, dirangkul, disentuh dan dicintai.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3T9qVK1unf
Dan saat semua itu menghilang tanpa kabar, yang tersisa hanyalah keraguan dan kegelisahan yang mengikis dirinya pelan-pelan.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjOUuJmwZxC
Ia mencoba fokus bekerja. Menghadiri rapat, menyusun laporan, menanggapi chat kantor. Tapi bahkan ketika Rani atau Dina mencoba mengajaknya bicara, Nadira hanya bisa tersenyum seadanya. Suaranya tak keluar dengan leluasa seperti biasanya. Ia menyimpan semuanya di dada. Termasuk perasaan bahwa Bima seolah sengaja menjauh.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡd3MDEebnOE
Sore itu, Nadira memandangi jam dinding kantornya. Jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. Pukul enam lebih lima puluh. Ruang kantor mulai lengang. Ia mengambil tasnya dan segera meninggalkan gedung. Tanpa banyak berpikir, ia memesan taksi daring. Tujuannya satu: rumah Bima.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvQN1r2i2SA
Dia tahu, kalau ia menunggu lebih lama lagi, pikirannya akan dihantui oleh kemungkinan-kemungkinan yang buruk. Ia tidak ingin menebak. Ia ingin melihatnya langsung. Meski sedikit takut, ia lebih takut tenggelam dalam ketidaktahuan.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡe2AXHmHqJz
Perjalanan ke rumah Bima memakan waktu empat puluh menit. Sepanjang jalan, Nadira menatap kosong ke luar jendela. Jakarta dalam mode malam memang cantik, tapi baginya semua lampu kota tak berarti jika perasaan di dalamnya buram. Dulu, setiap lampu malam mengingatkannya pada tawa Bima, pada tangan hangat yang menggenggamnya di trotoar. Kini, yang terasa hanya jarak.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMNKTH03BdA
Mobil berhenti di depan gerbang rumah minimalis dua lantai milik Bima. Ia turun, membetulkan rambutnya yang sedikit acak-acakan karena angin AC mobil. Lalu menekan tombol bel.
Tak lama, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Nadira mengenalnya. Asisten rumah tangga Bima, Mbak Ririn.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRNzdsaoSg3
“Oh, Mbak Nadira,” sapa Ririn ramah, tapi sedikit terkejut. “Mau ketemu Mas Bima?”
“Iya, Mbak. Dia ada?” tanya Nadira, mencoba terdengar tenang.
“Sebentar, ya. Tunggu di ruang tamu dulu.”
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMe5hqxRmeJ
Nadira duduk di sofa ruang tamu yang rapi. Aromanya masih sama—maskulin dan bersih, seperti aroma tubuh Bima setiap selesai mandi. Tangannya saling menggenggam, menahan rasa gugup. Lima menit terasa seperti sejam, sampai akhirnya suara langkah pelan terdengar dari tangga.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyks5hN5UNQ
Dan di sanalah dia.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsv0uLxZwsH
Bima berdiri di ambang ruang tamu dengan wajah yang tidak pernah Nadira lihat sebelumnya. Lusuh. Pucat. Mata yang lelah tanpa semangat. Rambutnya sedikit acak, kaus hitamnya longgar, dan celana training abu-abu yang terlihat seperti belum diganti seharian.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0zenCyTKVK
Nadira langsung berdiri. Matanya memerah. Ia tak tahan.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKKC8mYomNu
“Bim…” bisiknya.
68Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIOEopRjoJl
Baca versi lengkapnya lihat dari profile penulis.
ns216.73.216.85da2
