
Ruang kunjungan tahanan sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
51Please respect copyright.PENANA2qBymH30yv
Dinding-dindingnya dingin, kursi plastik berjajar rapi, dan udara terasa berat seolah ikut menekan isi dada siapa pun yang duduk di sana. Nadira duduk dengan tangan menggenggam kotak makanan berisi masakan hangat yang ia siapkan sejak pagi.
Satu jam perjalanan ia tempuh, hanya untuk bisa duduk di hadapan pria yang kini semakin jauh darinya, secara fisik maupun jiwa.
51Please respect copyright.PENANA2zv3CNJEnl
Bima masuk dengan langkah pelan, mengenakan baju tahanan berwarna jingga kusam. Rambutnya sedikit berantakan, janggut tipis mulai tumbuh. Sorot matanya kosong, seperti tidak sedang melihat siapa pun, termasuk Nadira yang kini berdiri dengan senyum kecil berusaha menyambutnya.
51Please respect copyright.PENANAVcvBEr7Fy0
“Hai…” Nadira membuka suara lebih dulu.
Bima hanya mengangguk pelan, lalu duduk di kursi seberang meja. Mereka terpisah oleh sekat transparan rendah yang tidak begitu menghalangi pandangan, tapi terasa seperti tembok besar yang tidak bisa mereka hancurkan.
51Please respect copyright.PENANAdFO9wMndWI
“Aku bawain makanan favorit kamu,” ujar Nadira sambil membuka kotak makanan. “Ayam goreng kecap. Aku masak sendiri, gak beli.”
Bima melirik sekilas, lalu mengangguk lagi.
51Please respect copyright.PENANATmnVOPtk2g
“Kamu mau disuapin?” tawar Nadira sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
Bima tidak menjawab. Ia hanya mengambil sendok dan mulai menyantap pelan.
51Please respect copyright.PENANA40JBK9ul6Z
Perlahan sekali, seperti orang yang makan karena terpaksa. Nadira memperhatikan gerakannya. Tidak ada ekspresi bahagia. Tidak ada komentar soal rasa. Padahal dulu, Bima selalu memuji masakannya, bahkan bercanda ingin dibikinkan setiap hari saat mereka menikah nanti.
51Please respect copyright.PENANAkwsygO1uH5
Tapi kini, pria itu seperti mengunyah tanpa rasa. Sekadar untuk bertahan hidup.
51Please respect copyright.PENANAGMqTUrZIo1
Nadira mencoba tetap tersenyum. Ia tahu Bima hancur. Ia tahu, pria yang dulu begitu percaya diri, penuh kendali, dan selalu tahu arah hidupnya, kini sedang dalam titik terendah. Tapi tetap saja, melihatnya seperti ini membuat hati Nadira sakit. Bima tidak pantas duduk di tempat ini. Dia tidak bersalah. Tapi sistem, kekuasaan, dan pengkhianatan telah membuatnya terjerembab.
51Please respect copyright.PENANAEA03a25juz
“Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ya. Aku siap bantu,” ucap Nadira lirih.
Bima menatapnya sejenak. Pandangannya kosong, tapi ada sedikit getaran di sudut matanya. Ia ingin bicara. Tapi seolah lidahnya enggan. Ia hanya mengangguk lagi.
51Please respect copyright.PENANA9uHz1nzf04
Pertemuan pertama itu berakhir dengan sunyi. Nadira pulang dengan hati menggumpal. Tapi ia tidak menyerah.
51Please respect copyright.PENANAHl7rmNjg62
Ia kembali dua hari kemudian. Lalu tiga hari setelahnya. Seminggu bisa tiga kali. Kadang lebih. Ia bawa makanan, cerita, kabar dari luar. Ia bahkan mencetak foto-foto lama mereka dan menyelipkannya di kotak makanan. Ia berharap Bima tersenyum. Tapi pria itu hanya menerima. Tidak pernah menolak, tapi juga tidak pernah benar-benar hadir.
51Please respect copyright.PENANAdQ8VHlGmDf
Nadira tetap sabar. Ia tahu cinta bukan soal menerima yang baik-baik saja. Ia ingin Bima tahu bahwa dirinya tidak sendiri.
Tapi waktu tidak selalu berpihak pada cinta.
51Please respect copyright.PENANAmNEiIggsDI
Bulan berganti. Sikap Bima makin dingin. Ia mulai bicara makin sedikit. Senyumnya jarang, bahkan kadang tidak menatap Nadira sama sekali.
Puncaknya adalah ketika Nadira datang dan Bima hanya berkata, “Gak usah sering ke sini.”
51Please respect copyright.PENANAfs7Mwv2fIp
51Please respect copyright.PENANA6aQwhmqK9Q
Baca versi lengkapnya lihat dari profile penulis.
ns216.73.216.85da2