
Saat jam istirahat tiba, Pak Arjuna melangkah menuju ruang BK dengan langkah yang sedikit lebih cepat dari biasanya. Jantungnya berdebar, dipenuhi rasa penasaran dan sedikit kegugupan.
1688Please respect copyright.PENANAqnqJYbS3ie
Ia mengetuk pintu, dan suara lembut Bu Ai menyambutnya. "Masuk," ujar Bu Ai dari dalam.
1688Please respect copyright.PENANAqXVUmaVlZm
Pak Arjuna membuka pintu perlahan, melangkah masuk. Ruangan BK terasa tenang seperti biasa, dengan aroma lavender yang menenangkan. Bu Ai sudah duduk di kursi kerjanya, menunggunya dengan senyum tipis.
"Silakan duduk, Pak Arjuna," kata Bu Ai, menunjuk sofa di hadapannya. "Terima kasih sudah meluangkan waktu." Pak Arjuna duduk, mencoba terlihat santai. "Ruangan ini selalu terasa nyaman ya, Bu Ai. Apalagi dengan aroma lavender ini."
Bu Ai tersenyum. "Iya, Pak Arjuna. Memang saya sengaja membuat suasana senyaman mungkin agar murid-murid bisa merasa tenang saat bercerita."
1688Please respect copyright.PENANAiDK875TA5c
"Itu ide yang bagus sekali, Bu Ai," balas Pak Arjuna. "Pasti banyak murid yang merasa terbantu dengan kehadiran Ibu di sini." Bu Ai mengangguk. "Semoga saja begitu, Pak. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik." Ia kemudian menghela napas pelan, matanya menatap Pak Arjuna dengan tatapan yang dalam, seolah mencari sesuatu.
1688Please respect copyright.PENANAoRipbvMRnx
"Begini, Pak Arjuna. Saya ingin bercerita tentang sebuah... perumpamaan." Pak Arjuna mengernyitkan dahi, sedikit bingung namun tertarik. "Perumpamaan? Silakan, Bu Ai. Saya suka cerita." Bu Ai tersenyum tipis, senyum yang kali ini terasa lebih tulus namun menyimpan kesedihan. "Bayangkan, Pak Arjuna, ada sebuah rumah. Rumah itu sudah lama berdiri, kokoh, dengan dinding-dinding yang tebal dan pintu yang terkunci rapat. Pemiliknya membangun rumah itu dengan sangat hati-hati, menjaganya dari segala badai dan ancaman dari luar. Ia merasa aman di dalam rumah itu, terlindungi."
1688Please respect copyright.PENANAKJO471IdDX
Pak Arjuna mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami arah cerita Bu Ai. "Kedengarannya seperti rumah yang sangat aman, Bu Ai."
1688Please respect copyright.PENANAnb3lcxgcDB
"Betul," Bu Ai mengangguk. "Tapi, seiring berjalannya waktu, pemiliknya mulai merasa kesepian di dalam rumah itu. Ia melihat dunia di luar, melihat orang-orang lain yang saling berbagi kehangatan, saling membuka pintu rumah mereka. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ia harus membuka pintu rumahnya juga? Apakah ia harus membiarkan orang lain masuk, meskipun itu berarti ada risiko badai yang bisa masuk?"
1688Please respect copyright.PENANA7nD7hNBbYj
Bu Ai berhenti sejenak, tatapannya masih terpaku pada Pak Arjuna. "Ia tahu, jika ia membuka pintu, ada kemungkinan badai akan masuk dan merusak segalanya. Tapi, jika ia tidak membuka, ia akan terus kesepian di dalam rumah yang aman itu."
Pak Arjuna merasakan hatinya berdesir. Ia mulai memahami arah perumpamaan ini. Ini bukan sekadar cerita tentang rumah. Ini tentang hati.
1688Please respect copyright.PENANAm2OyYJbtcd
"Lalu, apa yang terjadi pada pemilik rumah itu, Bu Ai?" tanya Pak Arjuna, suaranya pelan, mencoba menjaga agar suasana tetap tenang.
1688Please respect copyright.PENANAqXQShur7TN
Bu Ai menghela napas, sebuah napas yang terasa berat. "Pemiliknya bingung, Pak Arjuna. Ia tahu, ada seseorang yang berdiri di luar pintu rumahnya, seseorang yang terlihat tulus, yang menawarkan kehangatan. Seseorang yang mungkin bisa menjadi tempat paling aman baginya, tempat di mana ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri tanpa rasa takut."
1688Please respect copyright.PENANA34QCKIJ59Z
Matanya kembali menatap Pak Arjuna, kali ini dengan kilatan yang lebih jelas, sebuah permohonan yang tak terucap. "Tapi, bagaimana jika orang itu, yang terlihat aman, justru membawa badai yang lebih besar? Haruskah ia mengambil risiko itu, Pak Arjuna? Haruskah ia membuka hatinya untuk seseorang, jika ia rasa orang itu mungkin bisa menjadi tempat paling aman untuknya, namun juga bisa menjadi sumber kehancuran?"
1688Please respect copyright.PENANAdGxKXYw4Zd
Ruangan BK terasa hening. Pak Arjuna menatap Bu Ai, memahami sepenuhnya makna di balik perumpamaan itu. Hatinya mencelos. Ia tahu, Bu Ai sedang berbicara tentang dirinya sendiri, tentang ketakutannya, dan tentang dirinya. Ada kesedihan mendalam di mata Bu Ai, namun juga ada secercah harapan yang ia tangkap.
1688Please respect copyright.PENANAQAzZxjy8e6
"Bu Ai..." Pak Arjuna memulai, suaranya lembut, penuh pengertian. "Saya rasa, setiap rumah memang memiliki risiko badai. Tapi, tidak semua badai itu buruk. Kadang, badai itu justru bisa membersihkan, bisa membuat kita lebih kuat. Dan jika ada seseorang yang menawarkan kehangatan, yang terlihat tulus, mungkin itu adalah kesempatan untuk tidak lagi kesepian. Mungkin, rumah itu tidak harus selalu terkunci rapat. Mungkin, ada keindahan dalam berbagi, meskipun itu berarti ada risiko."
Ia mencoba menyampaikan ketulusannya, meyakinkan Bu Ai bahwa ia berbeda. "Dan jika ada seseorang yang bisa menjadi tempat paling aman, yang bisa menjaga rumah itu dari badai, saya rasa itu adalah hadiah yang patut diperjuangkan, Bu Ai. Terkadang, kita harus berani mengambil risiko untuk menemukan kebahagiaan sejati."
1688Please respect copyright.PENANAvgAWN9IZO4
Bu Ai menatap Pak Arjuna, matanya berkaca-kaca. Air mata mulai menggenang, namun kali ini bukan air mata kesedihan atau ketakutan, melainkan air mata kelegaan, air mata yang membasahi pipinya. Ia merasakan ketulusan dalam setiap kata Pak Arjuna, sebuah ketulusan yang ia rindukan.
1688Please respect copyright.PENANAmM7vNOf2n7
"Terima kasih, Pak Arjuna," bisik Bu Ai, suaranya parau. "Saya... saya mengerti."
1688Please respect copyright.PENANAPr6rINlAyh
Ia tidak mengatakan lebih banyak, namun Pak Arjuna tahu, pesan itu telah sampai. Ada pemahaman yang lebih dalam yang kini terjalin di antara mereka, sebuah ikatan yang lebih kuat dari sekadar rekan kerja. Bu Ai telah membuka sedikit pintu hatinya, meskipun hanya melalui sebuah perumpamaan. Dan Pak Arjuna, ia siap untuk menjadi tempat paling aman itu, apa pun badai yang akan datang. Bu Ai menatap Pak Arjuna yang kini tersenyum lega, seolah beban di pundaknya terangkat. Ia melihat ketulusan di mata pria itu, sebuah ketulusan yang terasa begitu nyata, begitu berbeda dari topeng yang selama ini ia lihat pada Pak Darmawan. Hatinya berdesir. Apakah ini yang dinamakan 'rasa aman' yang ia cari dalam perumpamaan itu?
1688Please respect copyright.PENANA1RlkpZXKta
Ia tahu, perumpamaan tentang rumah yang terkunci rapat itu adalah cerminan dirinya, dirinya yang telah dinodai dan berusaha ia lindungi dari dunia luar. Dan 'seseorang yang berdiri di luar pintu' itu, tak lain adalah Pak Arjuna. Pria yang terlihat polos, energik, dan selalu menebarkan aura positif. Pria yang usianya sedikit lebih tua darinya ini terasa begitu dewasa dalam ketulusannya.
1688Please respect copyright.PENANAQuzaANPF1c
Sejujurnya, Bu Ai sangat menyukai kedekatannya dengan Pak Arjuna. Setiap interaksi, setiap obrolan ringan, bahkan candaan tentang garpu yang "lari" beberapa waktu lalu, terasa begitu menyenangkan. Ada kehangatan yang menjalar di hatinya setiap kali Pak Arjuna tersenyum atau menatapnya dengan tatapan yang penuh perhatian. Ia baru menyadari perasaan ini akhir-akhir ini, terutama ketika ulah Kepala Sekolah Darmawan yang posesif mulai terlihat jelas. Perintah-perintah terselubung dari Pak Darmawan untuk menjauhi Pak Arjuna justru membuat Bu Ai semakin memikirkan pria itu. Seolah-olah, larangan itu justru memicu rasa ingin tahu dan ketertarikan yang lebih dalam. Tubuhnya mungkin sudah dinodai, hatinya mungkin sudah terluka parah oleh Pak Darmawan. Namun, apakah itu berarti ia tidak berhak untuk merasakan kebahagiaan lagi?
1688Please respect copyright.PENANAuIGUHKs8vj
Apakah ia tidak berhak untuk membuka hatinya pada seseorang yang tulus, yang mungkin bisa menjadi tempat paling aman baginya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar dalam benaknya, memicu konflik batin yang hebat.
Bu Ai menghela napas panjang. Ia tahu, ini bukan tentang perasaan cinta yang instan. Ini lebih tentang mencari sebuah pelabuhan, sebuah tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa rasa takut dihakimi, tanpa rasa takut dimanfaatkan. Dan Pak Arjuna, dengan segala ketulusannya, seolah menawarkan pelabuhan itu.
1688Please respect copyright.PENANASCY1IpK7If
Ia menatap Pak Arjuna lagi, ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Ada Pak Darmawan yang mengancam, ada masa lalu yang menghantuinya, dan ada perbedaan usia yang mungkin menjadi penghalang. Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bu Ai merasa ada harapan. Harapan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik, di mana ia bisa menemukan kebahagiaan sejati, dan mungkin, sebuah cinta yang tulus. Ia hanya bisa berharap, Pak Arjuna benar-benar bisa menjadi tempat paling aman itu.
1688Please respect copyright.PENANATqG8djXOZb
1688Please respect copyright.PENANAm1jLzkKmR9
***
Baca kisah lengkapnya dari profile penulis
ns216.73.216.247da2