
Malam itu, setelah seharian penuh dengan gejolak emosi dan interaksi yang menguras tenaga, Bu Ai akhirnya tiba di rumah. Ia melangkah masuk dengan langkah gontai, tubuhnya terasa remuk, dan pikirannya masih dipenuhi bayangan-bayangan dari kejadian di ruang Kepala Sekolah.
1264Please respect copyright.PENANABL9pdp51lf
Rasa jijik masih melekat kuat, bercampur dengan sensasi aneh yang tak bisa ia pungkiri. Ia segera menuju kamar mandi, berharap air bisa membersihkan bukan hanya kotoran fisik, tetapi juga noda di jiwanya. Di bawah pancuran air hangat, ia membiarkan air mengalir membasahi seluruh tubuhnya, mencoba mencuci bersih setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap memori yang menghantuinya. Ia menggosok kulitnya berulang kali, seolah ingin menghilangkan jejak-jejak yang tak terlihat, namun ia tahu, noda itu sudah terukir dalam, tak akan bisa hilang hanya dengan air.
Setelah mandi, Bu Ai keluar dari kamar mandi, ia keluar dengan mengenakan baju santai berwarna pink, kainnya terasa lembut di kulitnya yang masih sedikit lembap.
1264Please respect copyright.PENANAemcXWbk8Os
Pakaian itu sederhana, namun memberikan rasa nyaman yang sangat ia butuhkan saat ini, membalut tubuhnya yang terasa lelah. Ia berjalan menuju pinggir kasur, lalu duduk di sana, membiarkan kakinya menjuntai ke lantai. Sebelum melilitkan handuk ke rambutnya yang basah, Bu Ai mencoba mengeringkan rambutnya perlahan. Setiap usapan handuk di rambutnya terasa seperti upaya untuk mengusir pikiran-pikiran yang masih berputar di benaknya. Aroma sabun dan sampo yang segar menguar, menciptakan sedikit ketenangan di tengah kekacauan. Namun, di balik kesegaran itu, ada sensasi samar yang masih berdenyut, sebuah ingatan tubuh yang tak mau pergi, rasa geli yang aneh, seolah kulitnya masih mengingat sentuhan-sentuhan yang ia benci namun tak bisa ia lupakan.
1264Please respect copyright.PENANA57UHAUeAzx
Pikirannya kembali melayang pada kejadian di ruang BK tadi pagi. Raka. Pengakuan polosnya yang tiba-tiba, "Karena saya sayang Bu Ai.", kata-kata itu, diucapkan dengan ketulusan yang begitu tulus dari seorang murid, terasa seperti embun di tengah gurun. Sebuah kejutan yang tak terduga, namun sekaligus menyentuh. Ia ingat bagaimana pipinya memerah, bagaimana hatinya berdesir aneh.
1264Please respect copyright.PENANACsjZzyz1fe
"Sayang?" gumamnya pelan, mengulang kata itu dalam hati. "Seorang murid... sayang padaku." Ia mencoba membandingkan perasaan Raka dengan perasaan Pak Arjuna, yang ia tahu juga memiliki ketertarikan padanya.
1264Please respect copyright.PENANADumwGWo1wJ
Pak Arjuna menunjukkan perhatian yang lebih dewasa, lebih hati-hati, namun tetap tulus. Lalu ada Pak Darmawan, yang perasaannya adalah sebuah obsesi, sebuah kepemilikan yang kejam. Tiga pria, tiga jenis "sayang" yang berbeda, mengelilinginya. Dan ia, Bu Ai, di tengah-tengah semua itu, merasa semakin bingung. Ia menghela napas panjang, lalu melirik ke arah meja belajarnya yang terletak di sudut kamar. Di sana, di atas meja kayu sederhana itu, tergeletak sebuah laci kecil. Laci itu adalah tempat ia biasa menuangkan pikiran-pikiran terdalamnya, tempat ia menyimpan rahasia-rahasia yang tak bisa ia bagikan kepada siapa pun. Sebuah buku bersampul kulit berwarna cokelat tua, buku yang menjadi saksi bisu setiap gejolak emosinya, setiap kebahagiaan dan kesedihan yang ia rasakan.
1264Please respect copyright.PENANARQiU9KpwiO
Ia bangkit dari kasur, melangkah menuju meja belajarnya. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menahannya. Ia membuka laci itu perlahan, mengeluarkan buku bersampul kulit itu. Buku itu terasa dingin di tangannya, namun sekaligus memberikan rasa nyaman, seperti seorang teman lama yang siap mendengarkan. Ia duduk di kursi, membuka buku itu perlahan. Halaman-halaman awal dipenuhi dengan tulisan rapi tentang hari-harinya di sekolah, tentang murid-muridnya, tentang kebahagiaan kecil yang ia temukan dalam pekerjaannya. Ia membalik lembar demi lembar, melewati catatan-catatan lama, hingga akhirnya ia menemukan sebuah lembar kosong. Halaman itu bersih, siap menampung segala kekacauan yang kini memenuhi hatinya.
1264Please respect copyright.PENANA6URK4usbCW
Bu Ai meraih pulpen yang ada di dekatnya, sebuah pulpen hitam dengan tinta yang mengalir lancar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan semua keberaniannya. Lalu, ia mulai menulis. Menulis tentang perasaannya saat ini, tentang Raka, tentang Pak Arjuna, dan yang paling sulit, tentang Pak Darmawan.
1264Please respect copyright.PENANAB3slttHm9h
Diary, 23 Juli 20051264Please respect copyright.PENANAunFdM3AxRQ
Hari ini... hari yang aneh. Atau mungkin, setiap hari memang semakin aneh. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Pikiranku campur aduk, seperti benang kusut yang tak bisa diurai.1264Please respect copyright.PENANA2Lw40lVp9y
Pagi tadi, di ruang BK, Raka... dia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut. "Karena saya sayang Bu Ai." Kata-kata itu, keluar dari mulut seorang murid, polos, tulus, tanpa beban. Aku tersipuh. Pipiku memanas. Aneh, bukan? Seorang guru tersipuh karena muridnya sendiri. Tapi aku tidak bisa memungkiri, ada kehangatan yang menjalar di hatiku. Sebuah kehangatan yang murni, yang sudah lama tidak kurasakan.1264Please respect copyright.PENANAfBE72T7Mwx
Raka… dia melihat bahwa aku tidak baik-baik saja. Dia peduli. Dia ingin menjadi tempat cerita bagiku. Betapa ironisnya. Seorang anak remaja, yang seharusnya kubimbing, justru menawarkan dirinya untuk membimbingku. Dia melihat kerapuhan di balik topeng ceriaku. Dia melihat beban yang kusimpan. Dan dia, dengan kepolosannya, ingin meringankannya. Ini membuatku berpikir tentang Pak Arjuna. Dia juga peduli. Perhatiannya terasa tulus, meskipun lebih hati-hati, lebih dewasa. Dia tidak pernah mengatakan hal yang eksplisit, tapi tatapan matanya, sentuhan tangannya yang tak sengaja kemarin, semua itu memberitahuku bahwa dia juga memiliki perasaan. Sebuah perasaan yang berbeda dari Raka, lebih kompleks, lebih... mungkin, lebih romantis.1264Please respect copyright.PENANAHB4D46AkGD
Dua pria. Dua jenis perhatian. Dua jenis "sayang." Dan aku, di tengah-tengah mereka, merasa semakin bingung. Apakah aku berhak merasakan kehangatan ini? Apakah aku berhak untuk membuka hati, bahkan sedikit saja, setelah semua yang terjadi?1264Please respect copyright.PENANASW2QC7gpxf
Dan inilah inti dari semua kekacauan ini. Pak Darmawan. Namanya saja membuat perutku mual. Bau parfumnya, sentuhannya, bisikannya... semuanya masih melekat, menghantuiku setiap detik. Aku benci dia. Aku benci apa yang dia lakukan padaku. Aku benci bagaimana dia mengambil segalanya dariku, kehormatanku, kendali atas tubuhku, bahkan jiwaku. Tapi... inilah yang paling mengerikan. Inilah yang paling membuatku merasa kotor, menjijikkan, dan hancur. Di tengah semua rasa jijik itu, di tengah rasa sakit dan ketakutan yang melumpuhkan, tubuhku... tubuhku merespon. Aku merasakan sensasi yang aneh. Sensasi yang... yang seharusnya tidak ada. Sensasi yang... yang sedikit demi sedikit aku...1264Please respect copyright.PENANAenDGZ4F2nd
Nikmati.1264Please respect copyright.PENANAPCd8gsNxMl
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa tubuhku mengkhianatiku seperti ini? Bagaimana bisa aku, Aiara Safitri, seorang guru BK yang menjunjung tinggi moral dan etika, merasakan kenikmatan dari sebuah paksaan? Ini adalah neraka. Aku merasa seperti terpecah belah. Jiwaku berteriak menolak, tapi tubuhku... tubuhku pasrah, bahkan kadang, menginginkan lebih. Aku ingat kata-kata Pak Darmawan. "Kamu suka diperlakukan kayak gini. Dari tadi kamu sudah muncrat-muncrat berapa kali? Empat? Lima?" Atau, "Kamu akhirnya suka aku pake kan Bu Ai? Jawab!" Dan aku... aku menjawabnya. Aku menjawab "Aku menyukainya." Aku menjawab "Pak Darmawan…lebih cepat.. Aku mau keluar."1264Please respect copyright.PENANABqnJuEw3xM
Setiap kata itu seperti paku yang menancap di hatiku. Aku membenci diriku yang mengucapkannya. Aku membenci tubuhku yang merespon perbuatannya. Aku membenci dirinya, si sialan itu yang melumpuhkan kehendakku. Ada pertanyaan yang terus menghantuiku: Apakah aku benar-benar menikmatinya? Apakah ada bagian dari diriku yang memang... menginginkan itu?1264Please respect copyright.PENANATYbl4paw8L
Aku merasa kotor. Sangat kotor. Aku tidak suci lagi. Keperawananku sudah direnggut. Bukan oleh cinta, bukan oleh pilihan, tapi oleh paksaan. Dan yang lebih parah, aku tidak tahu apakah aku sudah kecanduan. Apakah tubuhku sudah terbiasa dengan sentuhan kasar itu? Apakah aku sudah menjadi "pemuas nafsu" seperti yang dia katakan?1264Please respect copyright.PENANAJqrHNaOnYS
Aku ingin menangis. Menjerit. Berteriak. Tapi aku tak mampu. Aku hanya bisa menuliskannya di sini, di buku ini, di tempat yang tidak akan menghakimiku. Di tempat tidak akan ada orang yang bisa melihat kehancuranku.1264Please respect copyright.PENANAA8C1gb4pwG
Bagaimana aku bisa menerima Pak Arjuna? Bagaimana aku bisa menerima perhatian tulus dari Raka, jika aku sendiri merasa begitu kotor? Aku tidak pantas. Aku tidak pantas untuk siapa pun. Aku adalah wanita yang rusak. Wanita yang telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Aku merindukan diriku yang dulu. Aiara yang ceria, yang tanpa beban, yang penuh harapan. Aiara yang percaya pada cinta sejati dan kebaikan. Tapi sekarang, aku tidak tahu siapa aku. Aku hanya sebuah cangkang kosong, yang diisi oleh rasa jijik dan sensasi yang membingungkan.
Saat Pak Darmawan bilang, "Kamu milikku. Sepenuhnya." Dan aku... aku sedikit merasa seperti itu.Aku merasa terbelenggu. Aku tidak bisa lari. Aku tidak bisa melawan. Dia menguasai setiap inci tubuhku, dan kini, mungkin, setiap inci jiwaku.1264Please respect copyright.PENANAjQJvEw0OTw
Aku harus kuat. Aku harus mencari cara untuk keluar dari semua ini. Tapi bagaimana? Aku tidak punya siapa-siapa yang bisa kupercaya sepenuhnya. Orang tuaku... aku tidak bisa menceritakan ini pada mereka. Mereka akan hancur. Pak Arjuna... dia terlalu baik untuk tahu kebenaran ini. Raka... dia masih anak-anak, terlalu polos untuk memahami kegelapan ini.1264Please respect copyright.PENANAKvhAQRIQas
Aku sendirian. Sendirian dalam neraka ini. Dan pertanyaan itu... pertanyaan yang paling menakutkan... apakah aku sudah menikmati dan merasa butuh akan seks?1264Please respect copyright.PENANA6vw80TQFvO
Aku benci pertanyaan itu. Aku benci jawabannya yang samar. Aku benci diriku yang bahkan bisa memikirkan hal itu. Aku ingin menghapusnya. Menghapus semua ini. Menghapus malam itu. Menghapus Pak Darmawan. Menghapus setiap sentuhan yang menjijikkan namun memicu sensasi aneh itu.
Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan. Aku hanya ingin semua ini berakhir. Aku hanya ingin kembali menjadi Aiara yang dulu.
1264Please respect copyright.PENANAmLpRbW9UHh
Bu Ai berhenti menulis. Tangannya gemetar, dan air mata kembali membanjiri pipinya, membasahi halaman buku. Ia meletakkan pulpennya, lalu menutup buku itu perlahan. Suara 'gedebuk' kecil terdengar saat buku itu tertutup, seolah menutup rapat semua rahasia dan penderitaan yang baru saja ia tuangkan.
Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, menghela napas panjang. Rasa lelah yang luar biasa menyergapnya, bukan hanya lelah fisik, tetapi juga lelah batin yang tak terhingga. Ia merasa kosong, hampa, seolah semua energinya telah terkuras habis. Dengan gerakan lambat, Bu Ai bangkit dari kursi. Ia berjalan menuju sakelar lampu di dinding, lalu menyalakannya. Cahaya lampu kamar yang terang benderang langsung memenuhi ruangan, mengusir kegelapan. Ia kemudian mematikan lampu kamar, hanya menyisakan lampu tidur di samping kasur yang memancarkan cahaya kekuningan redup. Suasana kamar menjadi lebih intim, lebih menenangkan, seolah ikut meredakan gejolak di hatinya.
1264Please respect copyright.PENANAed1wka9oxP
Bu Ai melangkah menuju kasur, lalu menyadarkan dirinya. Bu Ai melepaskan handuk yang melilit kepalanya dan melemparkannya ke sudut ruangan. “Toh sudah waktunya di cuci juga.” pikirnya.
Rambutnya yang cukup mengering jatuh terurai di punggungnya, ia pun menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya hingga leher. Matanya menatap langit-langit kamar yang gelap, pikirannya masih berkelana, berputar-putar tanpa henti. Bayangan Pak Darmawan, Raka, dan Pak Arjuna, semuanya bercampur aduk dalam benaknya.
1264Please respect copyright.PENANA2Q9gbUrGlZ
Ia mencoba mencari posisi yang nyaman untuk tidur, memiringkan tubuh ke kanan, lalu ke kiri. Namun, kenyamanan itu sulit didapat. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan-bayangan mengerikan itu kembali muncul, menghantuinya.
1264Please respect copyright.PENANAaCjvYPVBIL
Hingga ia rasa cukup dengan semua ini, cukup dengan penderitaan, cukup dengan kebingungan, cukup dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Salah satunya, perasaan yang sempat ia utarakan kedalam buku hariannya, pertanyaan yang kembali muncul, menusuk tajam ke benaknya, sebuah pertanyaan yang paling ia takuti,
1264Please respect copyright.PENANAnuOcBZg3vX
"Apakah sejujurnya, aku sudah menikmati dan merasa butuh akan seks?"
1264Please respect copyright.PENANAnxgbGKZaC3
Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban. Bu Ai memejamkan mata, membiarkan kegelapan menyelimutinya, berharap bisa melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan ini. Ia hanya ingin tidur, tidur yang panjang, tanpa mimpi, tanpa bayangan, tanpa pertanyaan.
Namun, bahkan di ambang kesadaran terakhirnya, sebuah bisikan samar muncul dari relung terdalam jiwanya, sebuah bisikan yang berlawanan dengan semua yang ia yakini, “Mungkin... sedikit…”
1264Please respect copyright.PENANABTrWoc3eEm
***
1264Please respect copyright.PENANAr1iX46MpSj
Pagi itu, udara di sekitar area sekolah terasa sedikit lebih dingin dari biasanya, seolah ikut merasakan gejolak yang masih bersemayam di hati Bu Ai. Ia melangkah mendekati gerbang sekolah dengan perasaan campur aduk, lebih tepatnya, ia sedang dilanda dilema yang mendalam.
1264Please respect copyright.PENANAlru8p7HAaR
Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban tak terlihat dari malam yang baru saja berlalu. Matanya yang sayu, meskipun berusaha memancarkan ketenangan, tak bisa menyembunyikan gurat lelah yang samar. Namun hari ini Bu Ai tetap tampil dengan baik, ia mengenakan seragam guru seperti biasa, hijabnya tertata rapi. Saat ia melewati gerbang sekolah, pandangannya tanpa sengaja melirik ke arah parkiran. Di sana, di antara deretan mobil dan motor, terpampang jelas mobil Kijang tua berwarna hijau tua milik si bajingan tua, Kepala Sekolah Darmawan.
1264Please respect copyright.PENANAIPWn5o3pnq
Kehadiran mobil itu, yang terparkir rapi di tempat biasanya, menandakan bahwa ia sudah berada di dalam sekolah, mungkin sudah duduk di ruangannya, atau bahkan sudah mulai menyusun rencana baru. Hati Bu Ai terasa tegang, ada rasa jijik dan ketakutan kembali menyergapnya, seolah apapun tentang Pak Darmawan, membuat tubuhnya merinding. "Pagi, Bu Ai," sapa Sudarso, seorang pria paruh baya dengan seragam petugas kebersihan yang sedikit lusuh, namun wajahnya ramah. Ia adalah penjaga sekolah yang biasa bertugas menggantikan Pak Tarmin.
1264Please respect copyright.PENANAbN1QTT3jYV
Bu Ai tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Pagi, Pak Sudarso. Loh, kok tumben Bapak yang jaga? Si Pak Tarmin ke mana?" tanyanya, sedikit terkejut karena biasanya Pak Tarmin lah yang menyambutnya di pagi hari.
1264Please respect copyright.PENANAWKQz3cOz2x
Pak Tarmin adalah satpam sekolah yang biasa menjaga gerbang, bertugas sebagai keamanan hingga sekolah usai. "Pak Tarmin lagi sakit, Bu, tadi pagi ia telepon, makanya saya yang jagain dulu sementara," jawab Pak Sudarso, suaranya ramah. "Oalah, begitu ya. Semoga Pak Tarmin cepat sembuh. Ya sudah, selamat bekerja ya, Pak Sudarso, saya siap-siap mau mengajar dulu," ucap Bu Ai dengan senyuman manisnya yang khas, senyuman yang selalu ia paksakan untuk menjaga citranya.
1264Please respect copyright.PENANAbAVtFnnpud
Tentu saja, senyuman manis Bu Ai membuat hati Pak Sudarso tergelitik. Ia tahu, sebenarnya Bu Ai ini adalah salah satu guru primadona di sekolah ini. Wajahnya yang paling ayu di antara guru-guru lain yang bisa dibilang cantik juga. Kecantikan Bu Ai itu memiliki sebuah rasa manis, yang tidak membosankan untuk terus-terusan dipandang, sebuah keindahan yang murni dan menenangkan. Pak Sudarso mengangguk-angguk, mengagumi kecantikan Bu Ai dalam diam. Bu Ai pun melanjutkan langkahnya, namun ketika baru saja ia melangkah beberapa langkah, langkah kakinya terhenti. Ia berpapasan dengan Raka, yang juga baru saja datang.
1264Please respect copyright.PENANAEgg0ayULUC
Mata mereka saling bertemu. Ada sedikit kecanggungan yang menyelimuti suasana. Raka menatap Bu Ai dengan tatapan yang penuh rasa sayang. Bu Ai membalas tatapan itu dengan senyum tipis, berusaha terlihat normal, meskipun hatinya berdesir aneh mengingat pengakuan Raka kemarin. "Pagi, Bu Ai," sapa Raka pelan, suaranya sedikit bergetar. "Pagi, Raka," balas Bu Ai, suaranya lembut. Ada diam yang mengisi langkah mereka untuk tujuan masing-masing. Mereka berjalan beriringan sejenak, tanpa kata, hanya keheningan yang terasa sedikit canggung. Raka sesekali melirik Bu Ai, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun ragu.
1264Please respect copyright.PENANANw2oX0kD1R
Hingga akhirnya, Raka memberanikan diri. "Bu Ai... saya..." belum selesai kalimatnya Raka, Bu Ai langsung memotong, ia tidak ingin Raka melanjutkan pembicaraan yang bisa membuatnya semakin bingung dan canggung.
1264Please respect copyright.PENANAln28OEkBAR
"Sudah masuk kelas gih, 15 menit lagi pelajaran dimulai loh, sudah cek ada PR yang harus dikumpulin belum?" ucap Bu Ai dengan lembut, mencoba mengalihkan perhatian Raka dari topik yang mungkin sensitif. Raka tersentak, sedikit terkejut dengan pertanyaan Bu Ai. "Eh, ada, Bu, PR. Sudah saya kerjakan kok."
"Yaudah, masuk kelas gih, siap-siap untuk belajar. Ibu mau ke ruang guru ya. Selamat belajar, Raka," Bu Ai tersenyum, senyum yang ia harap terlihat meyakinkan, lalu segera melangkah menuju tujuannya, ruang guru. Ia ingin segera pergi dari situasi canggung ini.
1264Please respect copyright.PENANAPwLc4OjftA
Raka pun memandang guru kesayangannya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Campuran kekaguman, kekhawatiran, dan mungkin, sedikit rasa kecewa karena tidak bisa melanjutkan perkataannya. Ia hanya bisa menatap punggung Bu Ai yang semakin menjauh, lalu menghela napas panjang, dan segera masuk ke kelasnya, pikirannya masih dipenuhi bayangan Bu Ai. Bu Ai melangkah cepat menuju ruang guru. Setiap langkahnya terasa seperti pelarian dari semua pikiran yang berkecamuk di benaknya. Aroma kopi dan kertas yang khas ruang guru menyambutnya, memberikan sedikit rasa familiar di tengah kekacauan batinnya. Ia menghela napas lega, seolah baru saja lolos dari sebuah jebakan. Ia duduk di kursinya, meletakkan tasnya di meja, dan mencoba menata pikirannya.
1264Please respect copyright.PENANAmYmoi1iPUU
Interaksi singkat dengan Raka tadi pagi kembali terngiang. Pengakuan Raka kemarin, "Karena saya sayang Bu Ai," masih terasa begitu nyata. Dan tatapan Raka tadi, tatapan yang penuh kepedulian, membuat hati Bu Ai berdesir aneh. Ia tahu, Raka adalah anak yang baik, polos, dan tulus. Tapi, ia juga tahu, ia tidak bisa membiarkan perasaan itu berkembang. Profesionalitas adalah batas yang tak boleh ia langgar.
1264Please respect copyright.PENANACTtnKKOUuT
"Bagaimana mungkin seorang guru bisa membalas perasaan muridnya sendiri?" bisiknya pada diri sendiri, merasa bersalah bahkan karena memikirkannya. "Ini salah. Sangat salah." Namun, di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa perhatian Raka, kepeduliannya, dan ketulusannya, memberikan sedikit kehangatan di tengah badai yang sedang ia hadapi.
1264Please respect copyright.PENANABsjwBdZKKN
Raka melihatnya, bukan sebagai objek, bukan sebagai target, tapi sebagai manusia yang mungkin sedang terluka. Sebuah perhatian yang ia rindukan, terutama setelah semua yang terjadi dengan Pak Darmawan.
1264Please respect copyright.PENANARsJUoWk1xF
Mengingat namanya saja sudah membuat perutnya mual. Rasa jijik bercampur sensasi aneh yang tak bisa ia pungkiri, semuanya bercampur aduk. Ia membenci pria itu, membenci setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap paksaan. Bu Ai menghela napas panjang, mencoba mengusir bayangan-bayangan itu. Ia harus fokus pada pekerjaannya. Ia harus tetap profesional. Ia harus menjadi guru BK yang bijaksana, yang bisa menjadi panutan bagi murid-muridnya, meskipun di dalam dirinya, ia merasa sangat rapuh. Tiba-tiba, pintu ruang guru terbuka, dan masuklah Pak Arjuna. Pak Arjuna mengenakan kemeja batik yang rapi, rambutnya tersisir klimis. Ia tersenyum ramah kepada Bu Ai, senyum yang sedikit canggung namun tulus.
1264Please respect copyright.PENANACVTqfhEt36
"Pagi, Bu Ai," sapa Pak Arjuna, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya. "Pagi, Pak Arjuna," balas Bu Ai, berusaha tersenyum ramah, meskipun hatinya berdesir aneh mengingat sentuhan tangan mereka kemarin sore. Pak Arjuna berjalan mendekati meja Bu Ai, pura-pura mencari sesuatu di tumpukan berkas.
"Bagaimana kabar Ibu hari ini?" tanyanya, matanya menatap Bu Ai dengan penuh perhatian. Bu Ai menggeleng pelan. "Cukup baik kok, Pak Arjuna. Bapak hari ini akan mengajar apa?" ia mencoba tersenyum meyakinkan. "Oh hari ini saya akan mengajar soal sepak bola Bu Ai." ucapnya yang kemudian ada sedikit jeda disana.
1264Please respect copyright.PENANAdXWIMs6Snf
“Bu Ai, kalau nanti ada yang mau diceritakan lagi seperti kemarin, saya siap mendengarkan.” ia menekankan kata "mendengarkan," seolah ingin menyampaikan pesan tersembunyi. Hati Bu Ai berdesir karena lagi-lagi ia mendapatkan perhatian. Ia tahu, Pak Arjuna tulus. Perhatiannya terasa berbeda dari Pak Darmawan yang penuh nafsu, atau Raka yang polos namun terlalu muda. Perhatian Pak Arjuna terasa dewasa, menenangkan, dan penuh pengertian.
1264Please respect copyright.PENANAnAXuB1PZCe
Namun, ia juga tahu, ia tidak bisa membuka diri. Terlalu banyak rahasia yang ia simpan. "Terima kasih banyak, Pak Arjuna. Bapak baik sekali," ucap Bu Ai, suaranya sedikit bergetar. Ia menunduk, menghindari tatapan Pak Arjuna. Pak Arjuna tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu Ai. Mau menyiapkan materi untuk pelajaran nanti." Ia kemudian berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Bu Ai yang masih terpaku di tempatnya, diliputi perasaan campur aduk.
1264Please respect copyright.PENANALHM5B6GGh5
Tiga pria, tiga jenis perhatian, tiga jenis "sayang." Dan ia, Bu Ai, di tengah-tengah semua itu, merasa semakin terperangkap. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa berharap, ia akan menemukan kekuatan untuk melewati semua ini, untuk melindungi dirinya, dan untuk menemukan kembali kedamaian yang telah lama hilang. Beberapa jam terlewati, aktivitas di sekolah berlanjut seperti biasa. Bu Ai mencoba fokus pada pekerjaannya, mengajar, memberikan konseling, dan berinteraksi dengan murid-muridnya. Ia berusaha menampilkan sosok guru BK yang ceria, bijaksana, dan profesional, seolah tidak ada beban apa pun di pundaknya. Namun, di dalam dirinya, badai emosi terus berkecamuk. Di sela-sela jam pelajaran, Bu Ai menyempatkan diri untuk mengecek ponselnya.
1264Please respect copyright.PENANAjZdk4JND5e
Ada beberapa pesan masuk dari grup WhatsApp guru, dan beberapa pesan pribadi. Matanya tanpa sengaja tertumbuk pada pesan dari Kepala Sekolah Darmawan. Sebuah pesan singkat, namun mampu membuat perutnya mual. "Jadi apa jawabanmu sayang? Kamu milik ku kan Bu Ai?" pesan itu seperti pukulan telak. Bu Ai ingat ia harus memenuhi jawaban pertanyaan itu, dan ini adalah hari terakhirnya.
1264Please respect copyright.PENANAOE0VE6Ag8m
Menyatakan sebuah pilihan yang menentukan arah nasibnya dengan si bajingan tua itu. "Apa yang harus kupilih?" bisiknya pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar.
1264Please respect copyright.PENANA0q9AR0ZW4X
Ia merasa tak berdaya. Ia tidak punya siapa-siapa yang bisa ia percaya sepenuhnya, yang bisa membantunya keluar dari situasi mengerikan ini. “Haruskah aku menyerah pada akhirnya? Menjadi miliknya? Ataukah aku harus rela hanya menjadi pemuas nafsunya?” Bu Ai memejamkan mata.
Ia membayangkan dirinya jika memilih menjadi milik pria tua itu. Apa kata orang? Apa kata orang tuanya? Seandainya tidak ada persetubuhan saat itu, pada siapakah hatinya akan berlabuh? Namun yang paling menggelitik dan membuatnya resah adalah sebuah pikiran yang paling ia takutkan..
1264Please respect copyright.PENANApBfWnKfbKK
“Apa yang akan terjadi padaku, jika aku harus melakukan hubungan seks dengan pria itu setiap hari?” Kalimat tanya yang terlintas dalam pikirannya itu langsung memberikan respon kepada tubuhnya. Bulu-bulu halus diseluruh tubuhnya merinding, tubuhnya pun juga mengingat setiap genjotan kasar dan hentakan-hentakan nikmat dari pria tua itu. “Ahh… haruskah aku memilih untuk menikmati semua ini?” Ia mendesah pasrah.
1264Please respect copyright.PENANA1soaU7CJUx
“Kalau saja aku tidak pasrah disentuhnya berkali-kali, aku tidak… aku pasti….” Bu Ai lalu menarik nafas panjang. Ia mengatur nafasnya, mencoba menenangkan tubuhnya. “Sebagai wanita normal, kamu bisa menjawab situasi ini dengan nalar yang baik Aiara, tidak seharusnya kamu menyerah pada keadaanmu.” Bu Ai mencoba mencari pembenaran dalam pikirannya, “Tapi…” Bu Ai lalu membaca lagi pesan dari Pak Darmawan, ia lalu mengetik sesuatu.
1264Please respect copyright.PENANAmWMo1PGX3s
“Saya akan menjawab pertanyaan bapak hari sabtu ini, dengan syarat dari hari ini sampai hari jumat, bapak tidak boleh menggoda, menyentuh, atau memaksa saya untuk melayani bapak. Kalau nanti hari sabtu bapak bisa buat saya terlena dan benar-benar menikmati perbuatan bapak, saya akan yakinkan diri saya, kalau saya adalah milik bapak. Bapak mengertikan maksud saya?” Bu Ai lalu mengirim pesan itu, air matanya menetes.
1264Please respect copyright.PENANA4cs6sIQy5m
“G-gak bisa..hiks.. dipungkuri, aku butuh…hiks…” ucapnya terisak dalam tangis yang keluar begitu saja.
ns216.73.216.247da2