
Cahaya redup lampu tidur di kamar motel itu menari-nari di dinding kusam, memantulkan bayangan dua tubuh yang terlibat dalam sebuah situasi yang dipaksa, sebuah kepaksaan yang satu pihak tak pernah menginginkannya, namun tubuhnya dikhianati oleh zat asing yang merayap dalam darahnya.
1754Please respect copyright.PENANAKsYTLUP8FF
"Pak, tolong hentikan..." begitulah kalimat yang keluar dari mulut seorang guru yang terbaring lemas tak berdaya.
1754Please respect copyright.PENANAa0QhzALXHY
Pak Darmawan tak menghiraukan suara itu. Ia hanya tersenyum tipis, menatap Bu Ai dengan pandangan lapar. Tanpa berkata-kata, ia mulai bergerak. Ia membuka lebih lebar kemeja Bu Ai. Kemejanya yang putih dengan kancing yang dibuka hingga kancing keempat oleh Pak Darmawan, memperlihatkan belahan dada yang naik turun tak beraturan, kulitnya memerah oleh sentuhan dan efek obat. Pak Darmawan menyingkap seluruh bagian atas tubuhnya yang kini terasa begitu sensitif. Dadanya yang membusung, dengan puting yang masih mengeras, terekspos sepenuhnya. Kemudian ia mengangkat roknya, menarik terangkat tinggi, memperlihatkan betapa rentannya dirinya. Kondisi kerudung Bu Ai pun, yang biasanya rapi kini terlepas sebagian, rambutnya tergerai berantakan di atas bantal.
Pak Darmawan lalu merunduk, napasnya terasa panas di kulit Bu Ai.
1754Please respect copyright.PENANAL2yhd19nhM
"Kamu akan menyukainya, Bu Ai," bisiknya lagi, sebuah janji mengerikan yang mematikan sisa-sisa harapan Bu Ai.
1754Please respect copyright.PENANABf3EliezCq
Kepala Pak Darmawan bergerak turun, ia menghirup aroma tubuh Bu Ai, menikmati setiap detiknya. Bu Ai memejamkan mata erat-erat, air matanya membanjiri pelipisnya, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan suara yang ingin keluar, namun tubuhnya terus bereaksi di luar kendali. Sensasi yang tak diinginkan namun tak bisa ditolak itu membanjiri indranya, menguras habis tenaganya. Bu Ai mencoba mengumpulkan sisa tenaganya, berteriak, meronta, namun yang keluar hanyalah rintihan dan desahan lemah, yang justru terdengar seperti respons terhadap sentuhan Pak Darmawan.
1754Please respect copyright.PENANAzSzYDFq0EU
Obat itu telah mengunci tubuhnya, membuatnya menjadi boneka di tangan Pak Darmawan. Ia merasa seluruh kekuatannya terkuras, kesadarannya mengambang.
1754Please respect copyright.PENANAF5ov3qUPp8
Setiap detik terasa seperti berjam-jam, setiap sentuhan terasa seperti pukulan. Pak Darmawan akhirnya menarik diri dari Bu Ai yang semakin terbaring lemas, tubuhnya menggigil, napasnya terengah-engah, dengan mata terpejam dan air mata yang terus mengalir. Rasanya seperti seluruh jiwanya telah terkuras habis, dan yang tersisa hanyalah kekosongan dan rasa sakit yang mendalam. Kebingungan masih mendominasi pikirannya, namun ada kesadaran baru yang pahit, sesuatu yang tak akan bisa kembali telah diambil darinya. Pak Darmawan berdiri di sisi ranjang, matanya menyapu tubuh Bu Ai dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan penuh kemenangan. Tangannya perlahan meraih ujung rok Bu Ai, memainkan kain itu di antara jemarinya sebelum akhirnya menariknya lebih tinggi lagi, melipat keatas pinggang Bu Ai. Memperlihatkan seluruh area intim Bu Ai yang sudah terbuka lebar, celana dalamnya sudah lama terlepas, dibuang tanpa ampun di lantai.
1754Please respect copyright.PENANAUJMTQXlTt1
“Lihatlah dirimu, Bu Ai…” suara Pak Darmawan rendah, serak, penuh dengan kepuasan yang mengerikan. “Kau bahkan tak perlu melepas bajumu sepenuhnya untuk membuatku tak bisa menahan diri.” Bu Ai menutup mata, air matanya mengalir deras. “Tolong… hentikan semua ini…” suaranya parau, pecah, tapi bahkan di tengah permohonannya, napasnya terengah-engah, dadanya bergerak cepat. Obat itu masih bekerja, sensitifitasnya meningkat, setiap sentuhan terasa seperti aliran listrik.
1754Please respect copyright.PENANADhYKJvomp9
Pak Darmawan mengabaikan permintaannya. Tangannya yang besar meraih paha Bu Ai, membelai perlahan, merasakan gemetar halus di kulit wanita itu. “Kau bilang ‘hentikan’, tapi tubuhmu berkata lain…” jarinya bergerak lebih dalam, menyentuh area yang paling sensitif.
Bu Ai menggeliat, mencoba menutup pahanya, tapi Pak Darmawan dengan mudah menahannya. “Jangan…!” pinta guru yang cantik itu.
1754Please respect copyright.PENANAaKkxXctIIN
“Kau merintih, Bu Ai. Bukan merintih kesakitan… tapi merintih karena kau mulai merasakannya, bukan?” ujarnya sambil menekan pelan, memicu reaksi. Bu Ai menggeleng, tapi tubuhnya bereaksi di luar kendalinya. Desahan pendek keluar dari bibirnya saat jari Pak Darmawan menyentuh klitorisnya. “Aah!” Pak Darmawan tersenyum. “Lihat? Kau bahkan tak bisa berbohong pada tubuhmu sendiri.”
1754Please respect copyright.PENANA334RvuI73H
Tanpa memberi waktu bagi Bu Ai untuk berpikir, ia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke antara paha Bu Ai. Napasnya hangat membuat Bu Ai menggigil.“J-jangan..jangan lagi!” Bu Ai mencoba mendorong kepalanya, tapi tangannya lemas.
Pak Darmawan mengabaikannya. Lidahnya sudah menjulur lagi saat seperti tadi di garasi, menyentuh bagian paling sensitif itu dengan gerakan perlahan, lalu semakin dalam.
1754Please respect copyright.PENANAF0Fwz3e8Me
“Nghhh!!” Bu Ai mengangkat pinggulnya secara refleks, tangannya mencengkeram sprei. “S-stop… aaah…!”
1754Please respect copyright.PENANAB5WbbJtVK3
Tapi Pak Darmawan terus melanjutkan, lidahnya bergerak mahir, mengeksplorasi setiap lipatan, setiap titik yang membuat Bu Ai semakin kehilangan kendali. Desahannya semakin keras, semakin tak tertahankan. “Aah… Pak… jangan… aku… aku tidak bisa..”
1754Please respect copyright.PENANAkN8Cj74d8P
“Tidak bisa apa, Bu Ai?” Pak Darmawan mengangkat wajahnya, bibirnya basah oleh cairan Bu Ai sendiri. “Tidak bisa menahan ini?”
1754Please respect copyright.PENANAnBV6boRnWT
Bu Ai menangis, tapi tubuhnya merespons dengan liar. Rasanya seperti ada api yang menyebar dari bawah perutnya ke seluruh tubuh. Pak Darmawan tak memberinya waktu untuk berpikir lagi, mumpung obat perangsang itu masih menguasai Bu Ai. Dengan gerakan cepat, ia membuka kancing celananya dan resletingnya sendiri, melepasnya, dan tanpa basa-basi lagi, ia menindih Bu Ai, mengunci tubuh wanita itu di bawahnya.
1754Please respect copyright.PENANA9ZrUawB1xB
“Kamu masih perawankan Bu Ai?” bisiknya, sambil mengusap air mata di pipi Bu Ai. “Jangan khawatir… aku akan melakukannya dengan pelan-pelan dan memberikanmu rasa nikmat.”
1754Please respect copyright.PENANADIwvj8MbeC
Bu Ai merasakan tubuhnya ditindih sepenuhnya oleh berat Pak Darmawan. Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Bukan karena hasrat, tapi karena ketakutan yang melumpuhkan. Matanya yang berkaca-kaca menatap lelaki di atasnya, mencoba mencari belas kasihan yang ia tahu tidak akan datang.
1754Please respect copyright.PENANAPzcUfmcyhJ
"Ssshh Pak.... jangan pak, iya aku masih perawan pak.... pak tolong banget... jangan perawanin saya Pak," suara Bu Ai pecah, gemetar, penuh keputusasaan.
1754Please respect copyright.PENANAxETVdfM1eD
Tangannya menekan dada Pak Darmawan, berusaha mendorong, tapi tubuhnya terlalu lemah. Obat perangsang itu membuat otot-ototnya lunglai, sekaligus memicu sensasi panas yang bertolak belakang dengan penolakan dalam hatinya.
1754Please respect copyright.PENANAnRubrF08Q7
Pak Darmawan hanya tersenyum, senyum dingin, penuh kemenangan karna ia akan mendapatkan keperawanan guru idamannya itu. "Tenang, Bu Ai... aku akan perlakukan kamu dengan baik," bisiknya, sementara tangannya menahan paha Bu Ai, membuka lebih lebar.
Bu Ai menggeliat, mencoba melawan, tapi Pak Darmawan dengan mudah menguasainya. "Tidak…Jangan!"
1754Please respect copyright.PENANA51wTP4twcK
Dengan gerakan perlahan namun penuh tekad, Pak Darmawan mulai menekan tubuhnya.
1754Please respect copyright.PENANAKIHsYYA4vw
"AHHH!!!"
1754Please respect copyright.PENANAvQmr1uU1z2
Sakit. Tajam. Bu Ai menjerit, kedua tangannya memukul bahu Pak Darmawan dengan lemah. "Keluarin pak... jangan pak... sadar pak!" Air matanya mengalir deras, tapi tubuhnya bereaksi di luar kendalinya. Sensasi aneh mulai merayap, bercampur dengan rasa sakit yang menusuk. Pak Darmawan berhenti sejenak, merasakan hambatan. Ia tahu apa itu. "Kamu benar-benar masih perawan..." gumamnya, kagum sekaligus semakin bersemangat.
1754Please respect copyright.PENANAAq6PLNF6S9
Bu Ai menggeleng liar. "Tolong... hentikan..."
1754Please respect copyright.PENANAOKI8owWR8W
Tapi Pak Darmawan tidak berhenti. Dengan dorongan lebih kuat, ia menerobos sepenuhnya. "AAAAAKKKHH!!!" Bu Ai melengkung, tangannya mencengkeram sprei erat-erat.
1754Please respect copyright.PENANAhxjgkf0J0w
Rasa sakitnya begitu dalam, tapi di balik itu, sensasi aneh dari obat itu membuat tubuhnya bereaksi kontradiksi dengan apa yang menyiksanya. Pak Darmawan mendesah puas, sambil mulai bergerak perlahan. "Rasakan aku, Bu Ai... rasakan bagaimana kamu sekarang milikku sepenuhnya."
1754Please respect copyright.PENANAADi7ErlMyf
Bu Ai menangis, tapi tubuhnya mulai merespons di luar kehendaknya.
1754Please respect copyright.PENANAPJSTFQHlUb
Dan malam itu, ia kehilangan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia dapatkan kembali. Bu Ai menggeleng, mencoba melawan, tapi ketika Pak Darmawan menekan tubuhnya lebih dalam, mendorong masuk dengan satu gerakan kasar “AAAHHH!!” Pak Darmawan menggerakkan pinggulnya semakin dalam, semakin cepat. Bu Ai menjerit, tapi jeritannya berubah menjadi rintihan yang semakin tak karuan.
1754Please respect copyright.PENANAqbr9uuMxsC
“Aah… ahh… Pak… ini… tidak…!”
1754Please respect copyright.PENANAf0i4bDsVOh
“Hehe.. Kamu merasakannya, bukan?” Pak Darmawan mendesah di telinganya, suaranya berat. “Kamu mulai menikmati ini.” Bu Ai ingin membantah, tapi tubuhnya bergerak sendiri, mengikuti irama Pak Darmawan.
1754Please respect copyright.PENANA8wxsZRuC6f
Rasanya seperti tenggelam dalam gelombang panas yang tak bisa ia lawan. Dan ketika Pak Darmawan menggenggam erat pinggulnya, mendorong lebih dalam lagi, “PAKK.. AKU—AAHHH!!” Bu Ai merasakan gelombang sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
1754Please respect copyright.PENANAxyCSSVLCmO
Berbeda dari saat yang di garasi tadi, kali ini sebuah puncak yang lebih membutakan, membuat seluruh tubuhnya kejang. Ini adalah reaksi fisik yang tak diinginkan, namun dipicu oleh kombinasi rasa sakit, ketakutan, dan efek obat yang masih bekerja. Pak Darmawan tertawa puas, terus bergerak sampai akhirnya ia sendiri mencapai puncaknya.
1754Please respect copyright.PENANAanW0OOo0Cw
Tapi ini baru permulaan.
1754Please respect copyright.PENANA074FZeU0fK
Pak Darmawan beranjak dari ranjang, wajahnya puas dan dipenuhi kemenangan. Ia berdiri di samping ranjang, menatap Bu Ai yang terkapar lemah. Ia memperbaiki pakaiannya yang sedikit kusut, lalu merogoh saku. Ia mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku celananya. Sebuah botol berisi pil obat kuat untuk dirinya sendiri. Dengan seringai, ia menelannya dengan segelas air dari meja samping ranjang.
1754Please respect copyright.PENANATNhsJhJH0B
Tak hanya itu, Pak Darmawan juga mengeluarkan botol kecil berisi cairan bening yang sama yang ia gunakan tadi di mobil. Dengan gerakan tanpa ragu, ia menuangkan beberapa tetes cairan itu ke dalam segelas air putih yang lain. Ia lalu kembali mendekati ranjang, membungkuk di samping Bu Ai yang masih terpejam.
1754Please respect copyright.PENANAmo5UgIuQi1
"Sayang, ini minum dulu," katanya dengan suara yang lembut namun penuh paksaan. “Kamu pasti kecapean kan? Haus banget pasti..” Ia menopang kepala Bu Ai dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menyodorkan gelas berisi air yang sudah tercampur obat.
Bu Ai, yang masih dalam kondisi setengah sadar, merasakan kebasahan di bibirnya. Ia berusaha menolak, menggelengkan kepala, namun Pak Darmawan dengan sigap menekan rahangnya, memaksa bibirnya terbuka. Air itu mulai mengalir masuk ke tenggorokannya. Bu Ai terbatuk sedikit, namun Pak Darmawan terus memaksanya untuk minum hingga gelas itu kosong.
1754Please respect copyright.PENANANDaepBwAnQ
"Bagus," kata Pak Darmawan, senyumnya semakin lebar. "Istirahat sebentar, sayang. Setelah ini, kita akan melanjutkan 'perayaan' kita." Bu Ai terbaring lemah lagi, merasakan gelombang panas yang baru kembali merayap di tubuhnya.
Kali ini, rasa panik itu bercampur dengan keputusasaan yang lebih dalam. Ia tahu, ia tak bisa lari. Ia terperangkap dalam jebakan mengerikan ini, dan malam ini, sepertinya, tidak akan pernah berakhir. Di dalam kegelapan dan keheningan kamar motel, ia hanya bisa menangis tanpa suara, terperangkap dalam neraka yang diciptakan oleh Kepala Sekolah Darmawan.
1754Please respect copyright.PENANAa1VSuwcCgZ
1754Please respect copyright.PENANAHrbOIwj8Eg
***
Baca kisah lengkapnya dari profile penulis
ns216.73.216.247da2