
Beberapa hari telah berlalu sejak makan siang di kantin itu. Bagi Pak Arjuna, setiap hari di sekolah terasa seperti sebuah panggung, di mana ia adalah aktor utama dalam drama hatinya sendiri. Bu Ai, guru Bimbingan Konseling yang anggun dan yang selalu dirasa menenangkan hatinya dengan rupanya itu, kini telah sepenuhnya menjadi pusat dunianya. Setiap pagi, ia datang ke sekolah dengan semangat yang membara, bukan hanya karena tugas mengajar, tetapi karena harapan untuk bisa melihat Bu Ai, untuk bisa berinteraksi dengannya, bahkan hanya sekadar bertukar sapa.
1763Please respect copyright.PENANAmysLT9YBxL
Rasa sayang yang tak terutarakan itu terus menggema di hatinya, membesar setiap kali ia melihat senyum tipis Bu Ai, atau mendengar suaranya yang lembut. Ia tahu, perasaannya ini mungkin terlalu berani, terlalu cepat, dan mungkin tidak akan pernah terbalas. Bu Ai adalah seorang guru yang profesional, panutan bagi banyak siswa, dan ia tidak ingin merusak citra itu dengan perasaannya yang egois. Namun, menahan diri terasa seperti siksaan. Dadanya sesak, seolah ada ribuan kata yang ingin ia teriakkan, tetapi hanya bisa tertahan di tenggorokan. Pak Arjuna seringkali melamun, membayangkan skenario-skenario sempurna di mana ia bisa mengungkapkan perasaannya. Mungkin saat senja di koridor yang sepi, atau di taman sekolah yang rindang. Ia membayangkan Bu Ai tersenyum, menerima, dan membalas perasaannya. Khayalan itu terasa begitu nyata, begitu manis, sehingga ia seringkali tersenyum sendiri, sebelum kemudian tersadar pada kenyataan pahit.
1763Please respect copyright.PENANAFCSzLGDo12
Pagi itu, Pak Arjuna tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Udara masih terasa sejuk, dan kabut tipis masih menyelimuti lapangan olahraga. Ia melihat Bu Ai sudah ada di ruang BK, lampunya sudah menyala. Hatinya menghangat. Ia memutuskan untuk menghampirinya, sekadar menyapa dan memulai hari dengan interaksi ringan. Ia berjalan santai menuju ruang BK, mencoba mengatur napasnya agar tidak terlihat gugup. Saat ia tiba di depan pintu, ia melihat Bu Ai sedang menata buku-buku di rak. Hijabnya yang berwarna pastel terlihat rapi, dan punggungnya yang anggun memancarkan aura ketenangan.
1763Please respect copyright.PENANAvlb6LV9eA6
Tok. Tok. Tok.
1763Please respect copyright.PENANAAQGqGNg4g5
"Masuk," terdengar suara Bu Ai dari dalam, lembut dan menenangkan. Pak Arjuna membuka pintu perlahan, melangkah masuk. "Selamat pagi, Bu Ai. Wah, sudah sibuk saja pagi-pagi begini." Ia mencoba terdengar santai, menyembunyikan detak jantungnya yang berpacu.
Bu Ai menoleh, senyum tipis langsung mengembang di bibirnya. Matanya yang indah sedikit mengerut karena senyumnya. "Selamat pagi, Pak Arjuna. Iya nih, biasalah, Pak. Banyak buku baru yang harus dirapikan. Biar nanti kalau ada murid yang butuh referensi, tidak susah mencarinya."
1763Please respect copyright.PENANAeFXbwa8g6S
"Oh, begitu," kata Pak Arjuna, melangkah mendekat. Ia melihat tumpukan buku-buku psikologi dan pengembangan diri di meja. "Buku-buku baru ya, Bu? Kelihatannya menarik sekali. Ada rekomendasi untuk saya, Bu Ai?" Ia mencoba mencari topik yang bisa memperpanjang percakapan. Bu Ai tersenyum. "Tentu, Pak Arjuna. Kalau Bapak suka buku motivasi, ini ada satu yang bagus sekali. Judulnya 'Kekuatan Pikiran Positif'. Saya rasa cocok untuk Bapak yang selalu semangat." Ia mengambil sebuah buku bersampul biru dan menyerahkannya kepada Pak Arjuna.
1763Please respect copyright.PENANA6587rHVARc
Pak Arjuna menerimanya, tangannya tanpa sengaja menyentuh jari-jari Bu Ai. Sentuhan singkat itu membuat jantungnya berdesir. Ia berusaha keras agar tidak terlihat salah tingkah. "Wah, terima kasih banyak, Bu Ai. Kebetulan sekali saya memang sedang mencari bacaan baru. Nanti saya baca."
1763Please respect copyright.PENANAZtWVbY7PYv
"Sama-sama, Pak Arjuna," jawab Bu Ai, senyumnya tetap merekah. "Semoga bermanfaat."
1763Please respect copyright.PENANApzobg9h0xM
Mereka sempat berbincang ringan tentang buku dan kegiatan sekolah selama beberapa menit. Pak Arjuna merasa senang. Bu Ai terlihat lebih ceria hari ini, tidak ada lagi gurat lelah atau kekosongan di matanya seperti beberapa hari yang lalu. Ia terlihat lebih energik, lebih bersemangat. Perubahan itu membuat hati Pak Arjuna menghangat, seolah Bu Ai juga merasakan kebahagiaan yang sama. Namun, di tengah percakapan yang mulai mengalir santai, tiba-tiba ponsel Bu Ai yang tergeletak di meja bergetar. Sebuah notifikasi pesan masuk.
1763Please respect copyright.PENANA6lr91xuhp4
Bu Ai melirik layar ponselnya, dan senyum di bibirnya sedikit memudar. Raut wajahnya berubah, dari ceria menjadi sedikit tegang, seolah ada beban yang kembali menindihnya.
1763Please respect copyright.PENANAAwSx8tsCO6
"Maaf, Pak Arjuna," kata Bu Ai, suaranya sedikit tercekat. Ia meraih ponselnya. "Saya... saya harus pergi sebentar. Sepertinya ada murid yang ingin berkonsultasi secara mendadak disudut sekolah. Sepertinya cukup penting sekali."
Pak Arjuna mengernyitkan dahi. Ia melihat Bu Ai buru-buru berdiri, seolah ingin segera pergi. "Oh, begitu ya, Bu Ai. Baiklah kalau begitu. Semoga masalah muridnya cepat selesai, ya."
"Iya, Pak. Terima kasih. Saya permisi dulu," kata Bu Ai, lalu melangkah cepat keluar dari ruangan.
1763Please respect copyright.PENANAqyepAxIyZM
Pak Arjuna hanya bisa menatap punggung Bu Ai yang menghilang di balik pintu. Rasa kecewa menyelimutinya. Percakapan mereka kembali terpotong, dan Bu Ai selalu bergegas pergi dengan dalih konsultasi mendadak. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Pak Arjuna, kecemburuan mulai merayapi.
1763Please respect copyright.PENANAvMGmF49dO8
Siapa gerangan murid yang butuh bimbingan sepenting itu di pagi hari? Dan mengapa raut wajah Bu Ai selalu berubah tegang setelah membaca pesan tersebut?
1763Please respect copyright.PENANAj41vXk2b2b
Rasa penasaran itu terus menggerogoti Pak Arjuna. Ia teringat, sudah beberapa kali ia mendapati Bu Ai 'rapat' dengan Kepala Sekolah Darmawan. Isi pembicaraan mereka selalu menjadi misteri, sebab setiap guru memang terikat pada porsi kerja masing-masing. Namun, frekuensi 'rapat' kecil-kecilan itu menimbulkan tanda tanya besar. "Pasti urusan sekolah," ia mencoba meyakinkan dirinya. "Kepala Sekolah kan memang sering mengadakan rapat dadakan." Namun, hatinya tetap tidak tenang.
1763Please respect copyright.PENANAipxmGTUicH
Beberapa hari kemudian, Pak Arjuna kembali mencoba mendekati Bu Ai. Kali ini, ia melihat Bu Ai sedang berjalan sendirian di koridor, menuju ruang guru. Ia memutuskan untuk menghampirinya.
1763Please respect copyright.PENANAMZD2YlKgzK
"Bu Ai!" panggil Pak Arjuna, langkahnya dipercepat. Bu Ai menoleh, senyum tipis kembali menghiasi bibirnya. "Oh, Pak Arjuna. Ada apa, Pak?"
"Tidak ada apa-apa, Bu Ai. Hanya ingin menyapa saja," kata Pak Arjuna, mencoba terdengar santai. "Mau ke ruang guru? Saya juga."
1763Please respect copyright.PENANAueGTmlOCmw
Mereka berjalan beriringan. Pak Arjuna mencoba mencari topik yang ringan dan menyenangkan. "Bu Ai, saya dengar kemarin, mau ada lomba cerdas cermat antar kelas, ya? Anak-anak yang sering butuh motivasi dari guru BK pasti jago-jago, kan?" Ia mencoba menyertakan humor dalam pertanyaannya. Bu Ai tertawa kecil, tawa renyah yang membuat hati Pak Arjuna menghangat. "Ah, Pak Arjuna ini. Bisa saja. Murid-murid disini memang pintar-pintar, kok, meskipun dengan caranya masing-masing."
1763Please respect copyright.PENANAXSideswcCw
Mereka terus berbincang ringan tentang kegiatan sekolah, tentang tingkah laku lucu beberapa siswa, dan tentang rencana liburan semester. Pak Arjuna merasa senang. Bu Ai terlihat lebih santai hari ini, tawanya lebih lepas. Ia merasa chemistry di antara mereka mulai terbangun, sebuah kedekatan yang ia dambakan. Namun, di tengah percakapan yang menyenangkan itu, ponsel Bu Ai kembali bergetar. Sebuah notifikasi pesan masuk. Bu Ai melirik layar ponselnya, dan senyum di bibirnya kembali memudar. Raut wajahnya tampak biasa saja, tapi seolah ada beban yang kembali menindihnya.
1763Please respect copyright.PENANAPsjeD3G0Xn
"Maaf, Pak Arjuna," kata Bu Ai, suaranya sedikit tercekat. Ia meraih ponselnya. "Saya... saya harus pergi sebentar. Ada hal penting yang harus segera saya tangani."
Pak Arjuna merasakan kekecewaan yang mendalam. Lagi-lagi. "Oh, begitu ya, Bu Ai. Baiklah kalau begitu. Semoga bisa ditangani dengan baik, ya."
1763Please respect copyright.PENANAUNIvSVHAfF
"Iya, Pak. Terima kasih. Saya permisi dulu," kata Bu Ai, lalu melangkah cepat menuju ruang BK.
1763Please respect copyright.PENANA04ezzyaQDD
Pak Arjuna hanya bisa menatap punggung Bu Ai yang menghilang di balik pintu. Ia merasa frustrasi. Mengapa setiap kali ia mencoba membangun kedekatan, selalu ada notifikasi yang memotong alur percakapan mereka? Dan mengapa Bu Ai selalu menunjukkan ekspresi tegang setelah membaca pesan itu? Kecemburuan kembali menyergap. Ia yakin, Bu Ai tidak mungkin memiliki begitu banyak murid yang membutuhkan konsultasi mendadak setiap saat. Pasti ada hal lain yang terjadi.
1763Please respect copyright.PENANArWkpuD29lV
1763Please respect copyright.PENANAnGmMFae2LR
***
Baca kisah lengkapnya dari profile penulis
ns216.73.216.247da2