
Keesokan harinya, matahari pagi menyinari koridor sekolah dengan kejam, seolah mengekspos setiap retakan pada kedok normalitas yang Bu Ai paksakan pada dirinya.
1568Please respect copyright.PENANAYzyRWHr65d
Pukul tujuh pagi, Bu Ai melangkahkan kakinya melewati gerbang sekolah, langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menyeret beban tak terlihat. Ia mengenakan seragam guru seperti biasa. Kemeja batik yang rapi dan rok panjang hitam. Hijabnya terpasang sempurna, menutupi setiap helai rambutnya, namun tidak mampu menutupi kerutan samar di antara alisnya, atau sesuatu dibalik matanya yang sayu. Udara pagi yang segar seharusnya membawa semangat baru, namun bagi Bu Ai, yang ada hanyalah aroma pengap motel yang masih melekat dalam ingatannya, bercampur dengan bau sabun antiseptik yang ia gunakan berulang kali untuk mencoba membersihkan dirinya. Ia sudah mandi berkali-kali, menggosok kulitnya hingga perih, namun rasa kotor itu tetap melekat di jiwa, lebih dari sekadar di fisik.
1568Please respect copyright.PENANAFEQdWMIyqh
Wajahnya, yang biasanya memancarkan ketenangan dan kelembutan, kini terukir ekspresi kaku, seperti topeng yang rapuh. Ia mencoba tersenyum kepada beberapa guru lain yang menyapanya di koridor, namun senyum itu terasa pahit, tidak mencapai matanya.
1568Please respect copyright.PENANAMbrOlKIMOX
"Selamat pagi, Bu Ai! Wah, kok sudah semangat banget pagi-pagi?" sapa Bu Indah, guru Bahasa Indonesia yang ceria, diiringi senyum ramah.
"Pagi, Bu Indah. Hehe, biasa Bu, tugas negara," jawab Bu Ai, suaranya terdengar sedikit serak dan dibuat-buat ceria. Ia tahu suaranya terdengar hambar, namun ia harus tetap berakting. "Ada banyak hal yang perlu disiapkan hari ini."
1568Please respect copyright.PENANAsn0DzLslF5
Bu Indah mengangguk, tidak menyadari kejanggalan dalam jawaban Bu Ai. "Betul sekali, Bu. banyak PR yang menumpuk. Semangat Bu Ai!"
1568Please respect copyright.PENANAlP8M2KBHpZ
Bu Ai hanya mengangguk kecil, lalu mempercepat langkahnya menuju ruang guru. Ia tidak ingin berinteraksi lebih lama, khawatir topengnya akan runtuh. Ia merasa seperti sedang menjalani dua kepribadian hari ini. Di permukaan, ia adalah Bu Ai yang profesional, guru Bimbingan Konseling yang tenang dan ramah, yang siap menghadapi hari dengan senyum di bibir. Namun, di balik topeng itu, adalah Bu Ai yang hancur, yang jiwanya terkoyak, yang setiap detik diliputi rasa jijik dan penyesalan mendalam atas apa yang terjadi di motel itu. Ia tidak akan bisa melupakan kejadian saat dirinya tidak bisa mencegah kehormatannya direnggut paksa oleh Pak Darmawan. Setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap erangan paksa yang keluar dari bibirnya, masih terngiang jelas di benaknya, menghantuinya.
1568Please respect copyright.PENANAvm6376w27x
Bu Ai yang duduk di meja kerjanya, mencoba fokus pada berkas-berkas di depannya, namun pikirannya terus melayang. Matanya sesekali melirik ke arah pintu ruangan Kepala Sekolah, yang terletak tak jauh dari ruang guru. Jantungnya berdesir tak nyaman setiap kali mengingat pria itu. Pak Darmawan adalah Kepala Sekolah, atasan yang seharusnya dihormati, namun kini ia adalah seseorang yang jahat, yang telah merenggut segalanya dari Bu Ai. Ia membenci kenyataan bahwa tubuhnya seolah sudah sepenuhnya menjadi milik pria itu, entah dengan status apa. Status yang tak bisa diucapkan, tak bisa diterima.
1568Please respect copyright.PENANAYc3AbYwUoi
Tak lama kemudian, pintu ruangan Kepala Sekolah terbuka. Pak Darmawan melangkah keluar dengan senyum lebar di wajahnya, seolah tidak ada beban. Ia mengenakan setelan batik rapi yang baru, memancarkan aura wibawa yang palsu. Matanya langsung menemukan Bu Ai di ruang guru, dan senyumnya semakin lebar. Ia melangkah mendekat, seolah ingin menyapa.
1568Please respect copyright.PENANAfS8h7KTdD0
Bu Ai merasakan tenggorokannya tercekat. Ia buru-buru menunduk, pura-pura sibuk membaca berkas, berusaha menghindari kontak mata. Namun, ia tahu Pak Darmawan sedang mendekatinya. "Selamat pagi, Bu Ai," sapa Pak Darmawan, suaranya penuh percaya diri. Ada nada kepemilikan yang tersirat dalam suaranya, sebuah nada yang hanya bisa dikenali oleh Bu Ai. "Pagi, Bapak Kepala Sekolah," jawab Bu Ai, suaranya nyaris berbisik. Ia tidak berani mengangkat kepala.
1568Please respect copyright.PENANAGAAvLt41GW
"Bagaimana perasaanmu hari ini, Sayang?" bisik Pak Darmawan, suaranya merendah, nyaris tak terdengar oleh guru lain. Ada makna ganda dalam pertanyaan itu. "Pasti lebih segar, kan?"
1568Please respect copyright.PENANAprcKX7rocZ
Bu Ai hanya mengangguk kecil, tanpa menatapnya. Ia merasa ingin muntah. Kata-kata "sayang" yang keluar dari bibir Pak Darmawan terasa menjijikkan, sebuah julukan yang seharusnya romantis namun kini menjadi simbol siksaan. Pak Darmawan tertawa kecil. "Bagus kalau begitu. Nanti saya mau bicara sebentar dengan Bu Ai. Ada hal penting yang perlu kita diskusikan." Ia menepuk pelan bahu Bu Ai, sebuah sentuhan yang membuat Bu Ai merinding, lalu beranjak pergi, melangkah menuju meja kerjanya dengan langkah ringan.
1568Please respect copyright.PENANAs8ZbOFV9Ww
Bu Ai merasakan air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Diskusi penting? Ia tahu itu hanyalah dalih. Ia merasa terjebak dalam jaring laba-laba yang ditenun oleh Pak Darmawan, dan ia tidak tahu bagaimana caranya melepaskan diri.
1568Please respect copyright.PENANAXJNHvhXJhM
Tak lama kemudian, Pak Arjuna melangkah masuk ke ruang guru. Wajahnya terlihat ceria, seolah semangatnya belum padam setelah latihan fisik pagi itu. Matanya langsung menangkap sosok Bu Ai yang duduk di mejanya, dan senyumnya merekah. Ia melangkah mendekat, berniat menyapa.
1568Please respect copyright.PENANA3hI8IHt3MV
"Bu Ai! Selamat pagi! Wah, gimana perjalanan kemarin? Ada cerita seru apa nih? Pasti banyak ilmu baru yang didapat, kan?" tanya Pak Arjuna dengan antusias, tanpa menyadari ketegangan yang menyelimuti Bu Ai.
1568Please respect copyright.PENANABGDlDiAz5D
Bu Ai mengangkat kepala, mencoba tersenyum. "Pagi, Pak Arjuna. Ah, biasa saja, Pak. Materinya bagus, kok. Tapi... saya gak bisa cerita banyak, masih ngerasa sedikit lelah hari ini. Mungkin kecapean juga karena perjalanannya." Ia berusaha terdengar normal, namun suaranya sedikit parau. Pak Arjuna mengernyitkan dahi. "Duh pasti lelah banget ya, Bu? Soalnya Bu Ai paling semangat kalau soal pelatihan. Mau saya buatkan teh hangat? Atau kopi?" tawarnya, penuh perhatian.
1568Please respect copyright.PENANAgCUluhaDTa
"Tidak, Pak, terima kasih banyak. Saya... saya tidak apa-apa. Hanya butuh istirahat sedikit saja." Bu Ai mencoba mengalihkan pandangannya, tidak ingin Pak Arjuna melihat kekosongan di matanya. Ia merasa tidak mood sama sekali untuk bercerita, apalagi tentang perjalanan yang seharusnya membawa ilmu, namun justru membawa kehancuran.
1568Please respect copyright.PENANAP7G3LX7NNF
Pak Arjuna mengangguk, meskipun raut wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Bu Ai, namun ia tidak tahu apa itu. "Baiklah kalau begitu, Bu Ai. Jangan lupa istirahat, ya. Kesehatan itu penting." Ia kemudian beranjak, melangkah menuju mejanya, namun sesekali melirik Bu Ai dengan tatapan khawatir. Meskipun dalam hati Bu Ai hancur, ia tetap menjalankan tugas mengajarnya seperti biasa. Ia masuk ke kelas, tersenyum pada murid-muridnya, menjelaskan materi dengan suara tenang, dan menjawab pertanyaan dengan sabar. Tidak ada satu pun murid yang menyadari badai yang berkecamuk di dalam diri guru mereka.
1568Please respect copyright.PENANAGCa9YVLorx
Saat jam istirahat kedua, Raka kembali datang ke ruang BK, sebuah kebiasaan barunya sejak Bu Ai menjadi guru di sana. Ia melangkah masuk dengan senyum tipis di bibirnya, ada rasa rindu sedikit setelah dua hari tidak melihat guru kesukaannya itu.
"Bu Ai," sapa Raka pelan. Ia membawa sekotak kecil kue cubit kesukaan Bu Ai. "Ini, saya bawakan kue cubit. Waktu itu Bu Ai bilang suka kue ini."
1568Please respect copyright.PENANAj8bmIztJlE
Bu Ai mengangkat kepala, melihat Raka dan kue cubit di tangannya. Senyum tipis yang tulus akhirnya muncul di bibirnya, meskipun hanya sesaat. Ia menghargai perhatian kecil dari Raka, yang terasa seperti setetes air di tengah gurun. "Wah, Raka. Terima kasih banyak. Kamu tidak perlu repot-repot, lho. Tahu aja saya suka sekali kue cubit." Ia mengambil kotak itu, namun matanya terlihat sedikit lelah.
1568Please respect copyright.PENANAIThfe1k37B
Raka duduk di kursi konsultasi di depan meja Bu Ai. Ia bisa merasakan ada aura yang berbeda dari Bu Ai hari ini. "Bu Ai kelihatannya capek sekali, ya? Mata Bu Ai kok agak merah."
1568Please respect copyright.PENANAWPeKzJJTxl
Bu Ai tersenyum pahit. "Iya, Raka. Ibu sedikit kurang tidur saja. Kemarin habis ada pelatihan kan di luar kota, jadi lumayan capek." Ia berusaha menjaga suaranya tetap ringan, tidak ingin Raka khawatir. Raka mengangguk, meskipun ia masih merasa ada yang tidak beres. "Oh, begitu. Pelatihannya seru, Bu?"
1568Please respect copyright.PENANApwx1pysk6R
"Seru kok," jawab Bu Ai, mencoba tersenyum lebih lebar. "Banyak ilmu baru yang bisa Ibu terapkan nanti. Kamu juga harus semangat belajar, ya. Biar nanti bisa jadi orang sukses." Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan, kembali ke perannya sebagai guru.
Percakapan mereka berlangsung singkat. Bu Ai tidak begitu antusias, dan Raka bisa merasakan itu. Ia merasa sedih melihat Bu Ai yang tidak secerah biasanya, namun ia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. Ia tahu Bu Ai adalah guru yang kuat, namun hari ini, ia melihat kerapuhan samar di balik senyum itu. Setelah beberapa saat, Raka pamit undur diri, meninggalkan Bu Ai sendiri lagi.
1568Please respect copyright.PENANAC5HMkchgIR
Tak lama setelah Raka pergi, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Bu Ai yang tergeletak di meja. Ia melihat notifikasi, dan jantungnya berdebar saat melihat nama pengirimnya:
Kepala Sekolah Darmawan. Ia buru-buru meraih ponselnya, membalikkan layar agar tidak terlihat oleh siapapun, terutama jika ada guru lain yang tiba-tiba masuk, meskipun saat ini dia hanya sendiri di ruang BK. Dengan berusaha tenang tanpa ketahuan oleh siapa pun, ia membuka pesan itu.
1568Please respect copyright.PENANAa95coU1xxC
“Bu Aiara, seperti yang saya bilang tadi pagi, saya ingin melihatmu lagi. Nanti kamu ke ruangan saya setelah jam pulang sekolah. Saya merindukanmu. Jangan lama-lama, ya.”
1568Please respect copyright.PENANABhRoQ06Gj3
Pesan itu, berisikan dengan kalimat yang mengerikan, sebuah perintah terselubung. Bu Ai merasakan mual kembali menyergap. Rasa jijik dan ketakutan membanjiri dirinya. Ia membaca kalimat terakhir itu berulang kali, "Saya merindukanmu. Jangan lama-lama, ya." Sebuah ancaman yang terselubung dalam kerinduan palsu. Tangannya gemetar saat ia membalas pesan itu. Ia tahu ia tidak punya pilihan. Ia tidak bisa menolak. Ia sudah dikuasai oleh pria itu, dan perlawanan pasti akan membawa konsekuensi yang lebih buruk. Dengan napas berat, ia mengetik:
1568Please respect copyright.PENANALpbVQ6G2vf
“Baik, Bapak Kepala Sekolah. Saya akan segera ke sana setelah jam pulang.” Ia menekan tombol kirim, dan pesan itu terkirim. Bu Ai meletakkan ponselnya, wajahnya pucat, matanya kosong menatap berkas di depannya. Ia tahu apa yang menantinya.
1568Please respect copyright.PENANAQBYnjvbRcf
1568Please respect copyright.PENANACvF4dKtV6v
***
Baca kisah lengkapnya dari profile penulis
ns216.73.216.247da2