
Pagi datang dengan rasa yang bercampur aduk untuk Bu Ai.
2356Please respect copyright.PENANAdSbiWugTNV
Cahaya matahari yang lembut merayap masuk melalui celah gorden kamarnya, mencoba membangunkan dunia dengan kehangatan. Namun, bagi Bu Ai, kehangatan itu terasa hampa, bahkan dingin. Kehidupannya kini telah berubah, tidak lagi sama seperti dulu. Ada beban yang tak terlihat menindih dadanya, sebuah rahasia kelam yang ia pikul sendiri, yang membuat setiap napas terasa berat. Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna pastel. Hening. Hanya suara kicauan burung di luar jendela yang memecah kesunyian, seolah mengejek kekacauan di dalam hatinya. Tubuhnya terasa nyeri, sisa-sisa kelelahan dari malam-malam sebelumnya masih melekat kuat, mengingatkan pada setiap sentuhan paksa, setiap desahan yang keluar di luar kehendaknya. Rasa jijik dan penyesalan kembali menyergap, bercampur dengan sensasi aneh yang masih membekas di bawah sana.
2356Please respect copyright.PENANAxrpaS1QFFD
Sebuah kontradiksi yang menyiksa.
2356Please respect copyright.PENANAHyokMcAYqa
"Apakah aku sudah kecanduan?" pertanyaan itu kembali muncul, menusuk tajam ke benaknya. Ia membenci dirinya yang lemah, membenci tubuhnya yang merespons, namun di saat yang sama, ada bagian kecil dari dirinya yang tak bisa memungkiri bahwa ada "rasa enak" di tengah penderitaan itu.
2356Please respect copyright.PENANAWQP1o9rYHw
Sebuah rasa yang belum pernah ia alami sebelumnya, bahkan dengan mantannya sekalipun. Pikiran itu membuatnya merasa semakin kotor, semakin hancur. Dengan enggan, Bu Ai bangkit dari ranjang. Langkahnya gontai menuju kamar mandi. Air dingin yang menyentuh kulitnya di bawah pancuran terasa seperti sengatan, mencoba membersihkan bukan hanya kotoran fisik, tetapi juga noda di jiwanya. Ia menggosok kulitnya berulang kali, seolah ingin menghilangkan setiap jejak sentuhan Pak Darmawan, setiap memori mengerikan yang melekat. Namun, ia tahu, noda itu sudah terukir dalam, tak akan bisa hilang hanya dengan air.
2356Please respect copyright.PENANAvIIPH3Jr7p
Setelah mandi, Bu Ai mengenakan seragam guru seperti biasa. Blazer yang dipadu dengan kemeja putih yang rapi dan rok panjang hitam. Hijabnya terpasang sempurna, menutupi setiap helai rambutnya, sebuah topeng yang ia kenakan untuk menghadapi dunia. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya terlihat pucat, dan ada lingkaran hitam samar di bawah matanya, bukti dari beberapa malam tanpa tidur yang nyenyak. Ia mencoba tersenyum, memaksa bibirnya untuk melengkung, namun senyum itu terasa kaku, tidak mencapai matanya.
Ia melangkah keluar dari kamar, menuruni tangga menuju ruang makan. Aroma nasi goreng dan telur dadar yang gurih sudah tercium, memenuhi seisi rumah dengan kehangatan yang kontras dengan dinginnya hatinya. Ayah dan ibunya sudah duduk di meja makan, menikmati sarapan pagi. Ayahnya, Pak Budi, seorang pensiunan guru yang selalu tenang dan bijaksana, sedang membaca koran sambil sesekali menyeruput teh. Ibunya, Bu Siti, seorang wanita paruh baya yang penuh kasih sayang, sedang menata piring.
2356Please respect copyright.PENANAZTfeFnpXF0
"Selamat pagi, putri kesayangan ibu," sapa ibunya dengan senyum hangat. "Wah, pas sekali kamu turun. Ayo, sarapan dulu. Ibu sudah siapkan nasi goreng kesukaanmu."
"Pagi, Bu," jawab Bu Ai, mencoba membalas senyum ibunya. Ia duduk di kursi, mengambil piring, dan mulai mengisi nasi goreng. "Terima kasih banyak, Bu."
"Gimana tidurmu semalam, Nak?" tanya ibunya, suaranya penuh perhatian. "Kelihatannya kamu masih agak capek, ya? Ibu lihat, mata kamu kok agak merah, kurang tidur?"
2356Please respect copyright.PENANApLrrxHTP9Y
Bu Ai tersentak. Ibunya selalu peka. Ia berusaha keras menyembunyikan kelelahan dan kesedihannya. "Ah, tidak, Bu. Ai tetap tidur nyenyak kok. Mungkin cuma sedikit kurang tidur saja karena kemarin kan banyak berkas yang harus disiapkan untuk sekolah." Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang ia harap terlihat meyakinkan. Ayahnya melipat koran, menatap Bu Ai dengan tatapan lembut. "Iya, Ai. Kamu jangan terlalu memaksakan diri, Nak. Kesehatan itu penting. Kalau capek, istirahat saja. Jangan sampai sakit."
2356Please respect copyright.PENANAr4B6cszkbP
"Iya, Yah. Ai tahu kok," jawab Bu Ai, mengangguk. Ia meraih gelas berisi teh hangat, menyesapnya perlahan. Hangatnya teh terasa menenangkan tenggorokannya yang sedikit perih. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. "Ayah sama Ibu sudah lama sarapan?"
"Baru saja, Nak," jawab ibunya. "Tadi Ibu sudah mau bangunkan kamu, tapi Ayah bilang biarkan saja kamu tidur lebih lama. Pasti masih sedikit capek setelah pelatihan yang kemarin."
2356Please respect copyright.PENANA3PHos23UTm
Bu Ai hanya bisa tersenyum. Ia menghargai perhatian orang tuanya, namun setiap kata-kata mereka terasa seperti pisau yang menusuk, mengingatkan pada kebohongan yang harus ia pertahankan. Ia merasa bersalah karena harus berbohong kepada orang-orang yang paling ia cintai.
2356Please respect copyright.PENANASx6SMi7SOT
"Pelatihannya bagaimana, Nak? Kamu belum sempat cerita-cerita." tanya ayahnya. "Banyak ilmu baru yang didapat, kan? Pasti seru, ya, bisa ketemu guru-guru dari sekolah lain."
2356Please respect copyright.PENANAEnBNKN08Uk
Bu Ai mengangguk. "Iya, Yah. Materinya bagus sekali. Banyak hal baru yang bisa saya terapkan di sekolah nanti. Terutama tentang penanganan kasus cyberbullying dan kesehatan mental remaja." Ia berusaha menjelaskan dengan antusias, seolah tidak ada beban di hatinya. "Saya juga sempat berdiskusi dengan beberapa guru BK dari sekolah lain. Mereka punya banyak pengalaman menarik."
2356Please respect copyright.PENANAKNWk8agm9y
Ibunya tersenyum. "Syukurlah kalau begitu. Ibu senang kamu bisa belajar banyak hal baru. Itu bagus untuk kariermu, Nak."
2356Please respect copyright.PENANAPIjana74vC
Bu Ai kembali tersenyum, namun senyum itu terasa pahit di lidahnya.
Karier? Apa gunanya karier jika jiwanya hancur?
2356Please respect copyright.PENANAvbN5Csb2cK
Ia merasa seperti sedang memainkan sebuah peran, sebuah sandiwara besar yang harus ia lakoni setiap hari. Ia adalah seorang guru BK yang profesional di sekolah, Bu Ai yang ceria di depan orang tuanya, namun di balik itu semua, ia adalah Bu Ai yang hancur, yang jiwanya terkoyak. Setelah sarapan, Bu Ai membantu ibunya membereskan meja makan. Ayahnya kembali membaca koran di teras. Suasana pagi itu terasa begitu normal, begitu damai, namun bagi Bu Ai, itu adalah sebuah ilusi yang rapuh. Ia tahu, di balik senyumnya, ada badai yang siap menerjang.
2356Please respect copyright.PENANAEV5VOqIJg5
"Bu, saya berangkat sekolah dulu ya," pamit Bu Ai, mencium tangan ibunya. "Hati-hati di jalan, Nak. Jangan lupa makan siang, ya," pesan ibunya, mengusap lembut pipi Bu Ai.
2356Please respect copyright.PENANA1J8IejsWnM
Bu Ai hanya mengangguk, lalu melangkah keluar rumah. Ia menyalakan mobilnya, dan melaju perlahan meninggalkan rumah, menuju sekolah. Menuju dunia di mana ia harus kembali mengenakan topengnya, menghadapi Pak Darmawan, dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Pagi itu, Bu Ai tahu, hari ini mulai menjadi hari yang penuh kepura-puraan, hari di mana ia harus hidup dengan dua kepribadian.
2356Please respect copyright.PENANAeYNkkL7PMV
2356Please respect copyright.PENANAncuH4YEREq
***
Baca kisah lengkapnya dari profile penulis
ns216.73.216.250da2