
Bu Ai kembali ke mobil tak lama kemudian. Wajahnya tampak lebih segar setelah ke toilet. Ia membuka pintu mobil dan masuk, duduk kembali di kursi penumpang, lalu memasang sabuk pengaman. Bu Ai pun langsung berasa lapar karena tercium harum aroma makanan cepat saji yang baru saja dipesan. Campuran gurihnya kentang goreng dan roti burger yang hangat, menggugah selera yang sudah lama tertahan.
1824Please respect copyright.PENANARFw3CFqGQ4
"Maaf ya, Pak, jadi membuat Bapak menunggu," ucap Bu Ai, tersenyum merasa tidak enak hati karena meninggalkan Pak Darmawan sendirian selama tadi memesan drive-thru.
1824Please respect copyright.PENANAeop3YxjQot
Pak Darmawan menoleh, bibirnya mengulas senyum penuh arti yang terselubung rapi. Sebuah senyum yang tidak akan dimengerti Bu Ai. "Tidak masalah sama sekali, Bu Ai. Kebutuhan ke toilet tadi lebih penting. Saya juga sekalian istirahat kaki sebentar, kok." Ia menyerahkan sekantung plastik berisi pesanan makanan dan dua gelas minuman besar yang sudah ia ambil dari loket drive-thru ke Bu Ai. "Ini, pesanan kita. Saya sudah pesankan minuman juga untuk Ibu. Semoga sesuai selera."
1824Please respect copyright.PENANAU34sWG43Ee
Bu Ai menerima kantung itu, matanya berbinar melihat kentang goreng dan burger yang hangat mengepul. "Wah, terima kasih banyak, Bapak. Bapak pengertian sekali. Pas banget, rasanya saya sudah lapar sekali." Ia tidak menyadari bahwa di salah satu gelas minuman yang ia terima, minuman yang sama dengan yang ia pegang, sebuah zat asing telah bercampur, tak terlihat dan tak berbau.
1824Please respect copyright.PENANAqorarSJqSz
Mobil Kijang tua itu kembali melaju di jalanan yang semakin sepi. Cahaya senja perlahan meredup, digantikan oleh kegelapan malam yang mulai menyelimuti. Lampu jalan mulai menyala satu per satu, menerangi rute yang Pak Darmawan pilih. Ia mengemudikan mobil dengan tenang, kedua tangannya mantap pada kemudi, namun pikirannya berputar cepat, menghitung waktu, memantau setiap detik. Sesekali, ia melirik Bu Ai di sampingnya, melihat bagaimana wanita itu mulai menyantap makanannya dengan lahap.
1824Please respect copyright.PENANAbVHzcS4ILK
Bu Ai, yang memang sudah sangat lapar dan sedikit lelah setelah seharian penuh pelatihan, langsung membuka burger-nya dan menggigitnya dengan lahap. Ia mengunyah dengan nikmat, merasakan tekstur roti yang empuk, daging yang gurih, dan saus yang kaya rasa. Setelah beberapa gigitan, ia juga meraih minuman dingin yang diberikan Pak Darmawan, menyesapnya perlahan. Minuman itu terasa segar, menghilangkan dahaga setelah seharian berbicara dan beraktivitas.
1824Please respect copyright.PENANABpeMi0mlQX
Pak Darmawan juga menyantap makanannya, sesekali melirik Bu Ai. Ia meminum sedikit minumannya sendiri, memastikan agar Bu Ai tidak curiga. Ia mengunyah kentang gorengnya dengan perlahan, namun perhatian utamanya adalah pada jam tangan di pergelangan tangannya. Matanya terus melirik jarum jam yang bergerak.
1824Please respect copyright.PENANA71dLwhOZyN
"Sudah lima menit," pikir Pak Darmawan, matanya melirik sekilas jam tangannya di tengah pencahayaan redup dalam mobil. Jalanan mulai semakin sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. "Harusnya obat itu sudah mulai bereaksi sekarang." Wajahnya menampilkan ekspresi sabar, sebuah topeng sempurna, namun di balik itu, ada ketegangan yang menunggu, sebuah kegembiraan yang membuncah. "Dan masih ada sekitar sepuluh kilometer lagi untuk sampai ke penginapan yang kupilih. Waktu yang cukup."
1824Please respect copyright.PENANAcsnvhbyPnm
Penginapan yang ia maksud bukanlah hotel berbintang atau penginapan keluarga yang megah. Bu Ai tidak tahu bahwa Pak Darmawan telah memesan sebuah motel. Sebuah motel yang bertipe "drive-thru" juga, sebuah konsep yang asing bagi Bu Ai, di mana mobil bisa langsung masuk ke dalam garasi pribadi yang terhubung dengan kamar sewaan. Tipe motel seperti ini menjamin privasi total, sangat cocok untuk rencana kotornya. Tidak ada lobi yang ramai, tidak ada resepsionis yang akan menatap curiga, hanya keheningan dan kerahasiaan yang ia butuhkan.
1824Please respect copyright.PENANAI0FzhKaEei
Pikiran mesum Pak Darmawan semakin menguat, seiring dengan lirik-lirikan cepatnya kepada Bu Ai. Ia menantikan obat itu bekerja, melihat tanda-tanda pertama reaksi pada tubuh Bu Ai. Setiap gerakan kecil Bu Ai, setiap perubahan ekspresinya, ia amati dengan seksama. Ia membayangkan apa yang akan terjadi nanti, khayalannya semakin detail, semakin vulgar, semakin membakar hasratnya. Matanya mengamati setiap gerakan Bu Ai, setiap perubahan kecil dalam ekspresinya.
1824Please respect copyright.PENANAtTXhVf58Dq
Bu Ai, yang sama sekali tidak sadar akan niat jahat yang mengintai di sampingnya, masih lahap menyantap makanannya. Ia terlalu lapar dan lelah untuk merasakan hal lain selain kenikmatan makanan yang baru masuk ke perutnya. Setelah beberapa gigitan burger dan kentang goreng, ia kembali menyesap minumannya. Cairan minuman yang telah tercampur obat itu mengalir mulus melewati tenggorokannya, disusul dengan sensasi aneh yang mulai merambat.
1824Please respect copyright.PENANAqo1rVPUmFF
Perlahan tapi pasti, setelah sekitar tujuh atau delapan menit, Bu Ai mulai merasakan sesuatu yang aneh. Bukan pusing yang memusingkan, bukan mual yang mengganggu, melainkan sebuah sensasi gelisah yang samar-samar, sebuah kegelisahan yang berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Tubuhnya terasa sedikit panas, seperti ada aliran hangat yang baru saja menyebar dari perutnya ke seluruh tubuh, merayap di bawah kulitnya. Ia mencoba mengabaikannya, mungkin karena efek kelelahan setelah seharian penuh kegiatan, atau mungkin karena ia makan terlalu cepat.
1824Please respect copyright.PENANAa0uj5iChuv
Ia menggeser sedikit duduknya di kursi mobil, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman. "Ada apa ya?" pikirnya dalam hati, mengernyitkan dahi.
1824Please respect copyright.PENANAeHvf5drsFS
Rasa tidak nyaman itu semakin intens, berkembang menjadi sebuah kegerahan yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa sedikit gerah, meskipun pendingin ruangan mobil bekerja dengan baik, udara AC terasa dingin di kulitnya, namun di dalam tubuhnya terasa membara. Bibirnya terasa kering, dan ia kembali menyesap minumannya lagi, berusaha meredakan sensasi aneh tersebut.
1824Please respect copyright.PENANAC3XJ3eaR5s
Pak Darmawan menangkap perubahan kecil itu. Lirikannya semakin tajam, matanya mengikuti setiap gerak-gerik Bu Ai. Ia melihat Bu Ai sedikit bergerak gelisah, tangannya sesekali meraba lehernya, lalu membenarkan hijabnya yang terasa sedikit pengap. "Reaksinya sudah mulai," pikirnya dengan kemenangan yang menakutkan, sebuah senyum tipis tersembunyi di sudut bibirnya. Ia berusaha menjaga ekspresinya tetap normal, seolah tidak terjadi apa-apa, namun ia tak bisa menahan gejolak dalam dirinya.
1824Please respect copyright.PENANA5F1OFm3Xs7
Rasa resah di dalam diri Bu Ai semakin kuat, seperti ada ribuan semut kecil yang merayap di bawah kulitnya, menimbulkan sensasi gatal dan tidak nyaman yang semakin tak tertahankan. Jantungnya mulai berdetak sedikit lebih cepat, lebih kencang dari irama normal, namun ia mencoba merasionalisasikannya sebagai efek kafein atau gula dari minuman. Namun, ada sensasi aneh yang tak bisa ia jelaskan, sebuah dorongan internal yang tak biasa, sebuah tarikan yang kuat ke arah yang ia tak mengerti. Tubuhnya memanas, dan ia merasa lemas, energinya terkuras oleh sensasi yang mendominasi.
1824Please respect copyright.PENANAppI70bf6jc
Tanpa sadar, jari telunjuk tangan kanannya mulai bergerak-gerak. Ia menekan-nekan beberapa area di sekitar pahanya, lalu ke perut bagian bawah, area-area yang ia rasa mulai sensitif, merespons sentuhan ringan dengan sensasi yang aneh, geli, dan sekaligus memicu sesuatu. Gerakannya refleks, upaya untuk meredakan atau memahami sensasi yang baru ini.
1824Please respect copyright.PENANAwtZjm8QczV
Pak Darmawan tersenyum melihat itu. Senyumnya semakin lebar, penuh kepuasan. Ini adalah tanda yang ia tunggu-tunggu. Tanpa membuang waktu, ia mencoba "membantu" Bu Ai. Sambil tangannya tetap memegang kemudi dengan mantap, ia mengulurkan tangan kirinya, dengan lembut menyentuh area yang baru saja disentuh Bu Ai, di bagian paha yang tertutup rok. Sentuhannya terasa begitu ringan, nyaris tak terasa, namun sudah cukup untuk membuat Bu Ai tersentak.
1824Please respect copyright.PENANAF0o2MYhLZJ
"Kenapa, Bu Ai?" tanya Pak Darmawan, pura-pura tak tahu, suaranya terdengar lembut dan penuh perhatian, seolah hanya mengkhawatirkan keadaan bawahannya. "Ibu merasa tidak enak badan?"
1824Please respect copyright.PENANAnTzhXQxjo5
Bu Ai tak mampu menjawab lagi. Sensasi yang merambat di tubuhnya terlalu kuat, membanjiri indranya. Ia mencoba menarik napas dalam, tapi napasnya justru tercekat, dan dari bibirnya yang sedikit terbuka, tiba-tiba terdengar sebuah desahan lembut yang tak bisa ia tahan.
1824Please respect copyright.PENANAC2vG7uKGiz
"Aah... rasanya panas dan… nghh… mphh…" punggungnya sedikit terangkat dari sandaran kursi, mencoba menemukan posisi yang bisa meredakan gejolak di dalam dirinya. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena sensasi yang menguasai. Melihat reaksi itu, Pak Darmawan tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia semakin berani. Dengan tangan kanannya yang tetap pada kemudi stir, ia perlahan meraba wajah Bu Ai, mengusap lembut pipinya yang kini merona merah.
1824Please respect copyright.PENANAV1DO8rEiXV
"Ada apa, Bu Ai? Ibu kok wajahnya memerah sekali? Apa… Ibu… sange?" tanyanya, suaranya kini sedikit lebih dalam, sebuah nada provokasi yang tersembunyi.
1824Please respect copyright.PENANAqWOtuN2pEB
Bu Ai tak mampu menjawab lagi, kata-kata tercekat di tenggorokannya. Pikiran dan perasaannya mulai kacau balau, sulit untuk fokus, sulit untuk berpikir jernih. Sensasi di tubuhnya semakin intens, mengalahkan logika dan kesadarannya. Ia hanya bisa mendesah, napasnya semakin memburu. Kesempatan itu juga tidak disia-siakan oleh tangan kiri Pak Darmawan. Setelah mengusap wajah Bu Ai, tangan kirinya mulai bergerak lebih jauh, lebih berani, lebih "membantu." Perlahan tapi pasti, ia membelai tubuh Bu Ai, terutama di area dadanya yang membusung, yang kini terasa begitu sensitif. Ia meremasnya pelan, memberikan efek kepada Bu Ai untuk lebih terangsang, memicu respons fisik yang tak bisa wanita itu kendalikan.
1824Please respect copyright.PENANA587EzLv59f
"Aah… Pak… ngghh… jangan…" Bu Ai mendesah-desah, suaranya tertahan, nyaris tak terdengar. Tubuhnya menggeliat di kursi, menanggapi belaian 'godaan' dari tangan nakal Pak Darmawan. Panas di tubuhnya semakin tak tertahankan, dan dorongan internal itu semakin kuat, menguasai dirinya.
1824Please respect copyright.PENANAlJrecXXY9a
Selama perjalanan menuju tempat penginapan yang semakin dekat itu, Pak Darmawan tidak ada henti-hentinya memberikan belaian yang menggoda kepada Bu Ai, memicu reaksi demi reaksi dari tubuh wanita itu. Tangannya bergerak bebas, dari paha, ke perut, lalu kembali ke dada, memberikan sentuhan yang semakin berani dan intens. Setiap desahan Bu Ai adalah sebuah kemenangan baginya.
1824Please respect copyright.PENANAF97hjcxxXF
Hingga akhirnya, dengan suara yang putus-putus dan napas terengah-engah, Bu Ai berhasil berucap. "Apa yang Bapak lakukan kepadaku… Pak? Rasanya… aaah… panas… tidak… berhenti… ngghh…" ucapnya sambil terus mendesah-desah, air mata mulai menggenang di sudut matanya, bercampur dengan kebingungan dan sensasi yang meluap.
1824Please respect copyright.PENANA0tkjivBeOd
Pak Darmawan hanya tersenyum dingin, tatapannya penuh kemenangan. "Tunggu sampai penginapan, Bu Ai. Sebentar lagi kita sampai. Nanti kamu akan tahu, dan kamu akan menyukainya." Suaranya terdengar datar, namun penuh ancaman dan janji yang mengerikan.
1824Please respect copyright.PENANAyUoG4hnIyo
Ia mempercepat laju mobil, tak sabar untuk segera tiba di motel. Motel "Bintang Raya" kini sudah terlihat jelas di depan mata, lampu neonnya yang redup menyambut mereka.
1824Please respect copyright.PENANAVU64ub1Ndh
Ia tahu, rencananya akan segera mencapai puncaknya.
1824Please respect copyright.PENANAsHF7QvApsU
1824Please respect copyright.PENANAYW90FuHhib
***
Baca kisah lengkapnya dari profile penulis
ns216.73.216.247da2