
POV Arjuna
2980Please respect copyright.PENANAoEVpGdJkoX
Hari itu, matahari bersinar cerah di langit Yogyakarta, sinarnya menembus jendela ruang guru, menyinari setiap sudut ruangan dengan kehangatan. Pak Arjuna, guru olahraga yang berbadan tegap dan selalu terlihat penuh energi, tengah duduk di kursinya. Di hadapannya, secangkir kopi hangat mengepul, aroma pahitnya mengisi udara, dan di tangannya ada jadwal pelajaran yang seharusnya ia periksa dengan cermat. Namun, pikirannya terus-menerus teralihkan. Bukan pada jam pelajaran atau daftar nama siswa, melainkan pada sosok Aiara Safitri, guru BK yang cantik dan anggun. Entah mengapa, sejak kejadian tidak sengaja menabrak Bu Ai kemarin sore di koridor yang sepi itu, hatinya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya, sesuatu yang sulit ia definisikan.
2980Please respect copyright.PENANAH2mDxQDGHX
Pak Arjuna menghela napas panjang, mencoba memfokuskan kembali pandangannya pada kertas di depannya. Namun, bayangan momen itu terus-menerus terlintas. Sentuhan tangan Bu Ai yang lembut dan hangat, sesaat saat ia menyerahkan kembali buku-buku yang terjatuh. Kontak kulit yang singkat itu, yang seharusnya tak berarti apa-apa, justru memicu reaksi tak terduga dalam dirinya. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya, bahkan lebih kencang daripada saat ia melatih tim basket sekolah. Dan ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya, sebuah kehangatan yang menjalar, bukan sekadar detak jantung biasa.
2980Please respect copyright.PENANAyRLxMKyoE4
Saat itulah, di tengah kesunyian ruang guru yang mulai diisi aktivitas pagi, ia menyadari dengan sangat jelas, perasaannya pada Bu Ai sudah lebih dari sekadar hubungan rekan kerja profesional. Ada ketertarikan yang lebih dalam, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya pada wanita lain, sebuah getaran aneh yang menariknya kuat ke arah Bu Ai. Ia mengaguminya, ya, sejak awal.
Tapi kini, ada hasrat, ada keinginan untuk mengenal lebih jauh, untuk lebih dekat, yang tak lagi bisa ia tepis.
2980Please respect copyright.PENANAsuDqhGXJGG
Pak Arjuna menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Ia tahu, ia tidak boleh membiarkan perasaan ini mengganggu hubungan profesional mereka di lingkungan sekolah. Sebagai guru, ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga citra dan batasan. Tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa ia ingin lebih dekat dengan Bu Ai, ingin mengetahui lebih banyak tentang senyumnya yang menenangkan, tentang pemikirannya yang bijaksana, tentang segala sesuatu yang membentuk sosok Aiara Safitri. Konflik batin ini menyesakkan dadanya.
2980Please respect copyright.PENANAU8kgNeKX6Q
Saat istirahat tiba, Pak Arjuna merasa perutnya sedikit lapar, namun yang lebih kuat mendorongnya adalah keinginan untuk melihat Bu Ai. Dengan alasan mencari makan siang, ia menyempatkan diri untuk pergi ke kantin sekolah. Di sana, di salah satu meja di sudut yang agak tenang, ia melihat Bu Ai sedang duduk sendirian, menikmati makan siangnya dengan tenang sambil membaca buku. Pemandangan itu, meskipun sederhana, terasa begitu damai dan memikat di mata Pak Arjuna. Ada aura ketenangan yang selalu terpancar dari Bu Ai, bahkan di tengah hiruk pikuk kantin.
2980Please respect copyright.PENANAifJeWSTFUf
Dengan hati berdebar, Pak Arjuna memberanikan diri. Ini adalah kesempatan, pikirnya. Ia mengambil nampan makanan, memilih sesuatu dengan cepat tanpa terlalu memedulikan isinya, lalu berjalan menghampiri meja Bu Ai. Langkahnya terasa berat, setiap langkah seperti medan gravitasi yang menahan. Ia mencoba terlihat biasa saja, seolah-olah pertemuannya adalah kebetulan murni.
2980Please respect copyright.PENANAbaVI2SZzQO
"Hai, Bu Ai. Boleh saya duduk di sini?" tanyanya, suaranya sedikit lebih berat dari yang ia inginkan, namun ia berusaha terdengar sopan. Bu Ai mengangkat kepala dari bukunya, senyum ramah langsung menghiasi bibirnya. Mata bulan sabitnya berbinar. "Tentu, Pak Arjuna. Silahkan. Saya juga sendirian kok di sini." Pak Arjuna merasakan aliran darah panas mengalir di pipinya, namun ia segera menekan perasaan itu. Ia duduk di seberang Bu Ai, menempatkan nampan makanannya di meja, mencoba menenangkan degup jantungnya yang kencang, yang rasanya bisa terdengar oleh Bu Ai. Ia mengambil napas dalam-dalam.
2980Please respect copyright.PENANAhvgvaqwUCV
"Apa yang sedang Ibu baca?" Pak Arjuna memulai percakapan, mencari topik yang netral, meskipun sejujurnya ia hanya ingin mendengar suara Bu Ai lebih lama.
2980Please respect copyright.PENANAlxVJGtjWny
"Oh, ini?" jawab Bu Ai, menunjukkan cover bukunya. "Buku tentang psikologi anak. Menarik sekali, Pak Arjuna. Banyak kasus murid yang bisa saya pahami dari sini." Ia menjelaskan dengan antusias, matanya berbinar saat berbicara tentang pekerjaannya.
Pak Arjuna mengangguk, mencoba terlihat tertarik. "Wah, saya juga tertarik dengan topik itu. Meskipun ranah saya olahraga, tapi memahami psikologi anak sangat penting untuk membimbing mereka di lapangan. Mungkin saya bisa meminjam bukunya kal…" ucapnya, sebelum kata-katanya terdiam di tenggorokan. Tatapannya tanpa sengaja terpaku pada mata indah Bu Ai yang memancarkan ketenangan.
2980Please respect copyright.PENANA0RhXH0AKvF
Sejenak, ia seperti terlempar ke dimensi lain, terpesona oleh kecantikan wanita di hadapannya. Mata bulan sabit yang selalu memancarkan ketenangan, kini terlihat lebih dalam. Bibirnya yang merekah dengan lembut saat ia berbicara, terlihat begitu menggoda. Kulitnya yang putih mulus tanpa cela, leher jenjangnya yang sedikit terlihat di balik hijabnya yang tergerai. Tanpa sadar, pikiran Pak Arjuna mulai berkelana liar, membayangkan betapa beruntungnya ia jika bisa memiliki sosok cantik dan bijaksana di hadapannya ini sebagai pendamping hidupnya.
Bayangan itu terasa begitu nyata, begitu memikat. Ia terbuai dalam lamunan, seolah dunia di sekelilingnya lenyap.
2980Please respect copyright.PENANACYYGcxB4r5
"Kal? Kalau maksudnya Pak?... Kalau kapan, Pak?" tanya Bu Ai, suaranya lembut, mengembalikan Pak Arjuna ke alam nyata. Ada kerutan samar di dahinya, sedikit kebingungan.
2980Please respect copyright.PENANARNTLlXmUYG
Pak Arjuna tersentak, menyadari ia telah melamun dan terdiam terlalu lama. Wajahnya langsung merona merah karena malu. Ia tergagap, mencoba menyusun kalimat. "Oh, maafkan saya, Bu Ai. Maksud saya, mungkin saya bisa meminjam bukunya kalau Ibu sudah selesai membacanya. Saya sangat tertarik." Ia berusaha keras agar suaranya terdengar normal.
2980Please respect copyright.PENANADSJBlgPaeF
Bu Ai tersenyum, senyum tipis yang penuh pengertian. Ia tidak menaruh curiga. "Tentu, Pak Arjuna. Dengan senang hati. Saya akan pinjamkan kepada Bapak jika saya sudah selesai. Mungkin dalam beberapa hari."
Pak Arjuna mengangguk cepat, mencoba menutupi rasa malu dan kikuknya. Ia memaksakan diri untuk memakan makanannya, meskipun nafsu makannya tiba-tiba hilang. "Terima kasih banyak, Bu Ai. Saya akan menunggu dengan sabar." Ia memaksakan diri untuk mengalihkan pandangannya dari Bu Ai, fokus pada makanannya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih bergemuruh.
2980Please respect copyright.PENANAwrBGVsj7k2
Perbincangan itu, meskipun singkat dan diwarnai kecanggungan Pak Arjuna, meninggalkan kesan yang sangat mendalam baginya. Ia semakin yakin bahwa perasaannya pada Bu Ai sudah lebih dari sekadar ketertarikan biasa. Ada kehangatan dan kenyamanan yang ia rasakan saat berada di dekatnya, sesuatu yang membuatnya ingin lebih dekat dan mengenalnya lebih dalam, lebih dari sekadar rekan kerja. Ia ingin menjadi bagian dari dunianya, berbagi cerita, dan mungkin, suatu hari nanti, berbagi hidup.
2980Please respect copyright.PENANAai5NP9Ro60
Namun, Pak Arjuna juga menyadari bahwa ia harus bersabar dan bijaksana. Ia tidak ingin menyalahgunakan posisinya sebagai rekan kerja atau membuat Bu Ai merasa tidak nyaman dengan perasaannya yang belum terungkap ini. Ia harus menunggu waktu yang tepat, mencari cara yang tepat untuk menyatakan perasaannya, cara yang tidak akan merusak hubungan baik yang telah mereka jalin. Terlalu banyak risiko jika ia terburu-buru. Dengan tekad yang bulat, Pak Arjuna memutuskan untuk terus menjadi teman yang baik bagi Bu Ai, mendukungnya sebagai rekan kerja, menunggu dengan sabar hingga saat yang tepat tiba. Ia percaya, takdir akan menunjukkan jalannya. Hanya waktu yang bisa menentukan apakah perasaannya yang dalam ini akan terbalas atau hanya akan menjadi kenangan yang terpendam dalam hati, sebuah kisah cinta yang tak pernah terucap.
2980Please respect copyright.PENANAr5nRgfhU6t
Sesampainya di rumah, Pak Arjuna tidak bisa menghilangkan bayangan Bu Ai dari pikirannya. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia mencoba untuk fokus pada pekerjaan rumah, membersihkan apartemennya yang sederhana, atau mengecek beberapa materi latihan olahraga. Tapi tidak peduli apa yang ia lakukan, wajah cantik itu selalu muncul di benaknya, senyumnya menghantui setiap sudut pikirannya. Aroma samar parfum Bu Ai seolah masih melekat di ujung hidungnya.
2980Please respect copyright.PENANAR73Ng9epuK
Saat malam tiba, Pak Arjuna merasa gelisah. Ia memutuskan untuk duduk di teras kecil di kosannya, menatap langit malam yang kini bertabur bintang, memancarkan cahaya redup yang memesona. Ia menyalakan sebatang rokok, asapnya mengepul perlahan, berbaur dengan dinginnya udara malam. Dalam kesunyian itu, ia membayangkan Bu Ai ada di sampingnya, duduk di kursi di sebelahnya, menemani ia menikmati keindahan alam semesta, berbagi keheningan malam yang syahdu.
2980Please respect copyright.PENANAEcZ8auy71b
Dalam khayalannya, Bu Ai menoleh kepadanya, tersenyum dengan mata yang penuh kelembutan, memancarkan kedamaian yang sama seperti yang selalu ia tunjukkan di sekolah. Mereka bercakap-cakap tentang hal-hal kecil, tentang impian dan harapan yang selama ini terpendam, tentang cinta dan kehidupan yang mereka inginkan. Pak Arjuna merasa begitu nyaman dan bahagia, seolah-olah ia telah menemukan separuh jiwanya yang hilang, potongan puzzle yang selama ini ia cari. Sensasi kebersamaan itu terasa begitu nyata, begitu kuat, seolah Bu Ai benar-benar ada di sana. Tanpa sadar, pikiran Pak Arjuna mulai berkelana lebih jauh, melampaui batas realitas. Ia membayangkan dirinya mengulurkan tangan, membelai lembut rambut Bu Ai yang tertutup hijab, lalu perlahan menyentuh pipinya yang halus. Ia membayangkan mencium bibirnya yang merekah dengan penuh kasih sayang, merasakan hangatnya pelukan dari wanita yang ia cintai. Setiap sentuhan, setiap ciuman dalam khayalannya terasa begitu intens, membakar jiwanya.
2980Please respect copyright.PENANARrMBSXVnnT
Perasaan itu semakin kuat, semakin tak tertahankan. Pak Arjuna merasa dadanya sesak, seolah-olah ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan liar di dalam hatinya, menuntut untuk dilepaskan. Ia ingin segera menyatakan perasaannya pada Bu Ai, ingin memastikan bahwa wanita itu tahu betapa besar cinta yang ia pendam, betapa ia menginginkan Bu Ai. Dorongan itu begitu kuat, hampir tak terkendali.
2980Please respect copyright.PENANAcJl8Cp7F7X
Namun, Pak Arjuna tahu bahwa ia harus bersabar. Ia tidak ingin mengecewakan Bu Ai atau merusak hubungan baik yang sudah mereka jalin selama ini dengan tindakan terburu-buru. Ia harus mencari cara yang tepat, momen yang tepat, untuk menyatakan isi hatinya. Sebuah cara yang tidak akan membuat Bu Ai terkejut atau merasa tidak nyaman. Ia harus menunggu, seberapa pun sulitnya. Dengan tekad yang semakin bulat, Pak Arjuna memutuskan untuk terus menunggu, menabung kesabaran dan keberanian, hingga saat yang dinantikan itu tiba. Hingga ia bisa membuka pintu hatinya dan mengungkapkan cinta yang telah lama ia simpan, cinta yang murni dan tulus, hanya untuk Bu Ai seorang. Ia percaya, kesabaran akan membuahkan hasil.
2980Please respect copyright.PENANAIemgpOptZx
2980Please respect copyright.PENANAxEouOWumfm
***
Baca kisah lengkapnya dari profile penulis
ns216.73.216.247da2