Pria itu bernama Kaka Beriuk. Seorang perawat lapangan yang sering membantu di puskesmas mereka. Tubuhnya tinggi, kekar, kulitnya hitam legam berkilat karena keringat. Wajahnya tenang, matanya dalam. Saat Joko dengan canggung menjelaskan ‘prosedur’ itu padanya, Kaka hanya diam mendengarkan, lalu mengangguk. Tanpa pertanyaan, tanpa penghakiman.
Sesi pertama adalah neraka yang canggung. Di kamar tidur mereka sendiri, Joko menyuruh Sulastri berbaring. Ia sendiri duduk di kursi, memegang senter kecil seolah sedang melakukan pemeriksaan medis.
“Rileks, Lastri. Anggap ini tindakan medis,” kata Joko, meski suaranya bergetar.
Kaka Beriuk mendekat. Ia hanya memakai celana pendek. Saat ia melepaskannya, napas Sulastri tercekat. Di depannya, sebuah kontol hitam yang besar dan tebal berdiri tegak. Jauh lebih besar dari milik Joko. Jembut keritingnya yang lebat menambah kesan sangar.
“Aduhh...” Sulastri memejamkan mata, merasa terhina.
“Kaka, silakan mulai. Pastikan penetrasi maksimal,” perintah Joko, suaranya seperti suara orang asing.
Kaka naik ke ranjang. Ia tidak langsung menyodok. Tangannya yang besar dan kasar dengan lembut meraba paha Sulastri. “Permisi, Ibu Dokter,” bisiknya. Suaranya berat dan menenangkan.
Saat kontol itu mulai menekan liang puki-nya, Sulastri merintih pelan. “Aoww... sakit...”
“Pelan-pelan, Kaka,” kata Joko dari kursinya.
Kaka menurut. Ia masuk perlahan, membuat memek Sulastri meregang dan basah. Gerakannya kaku, tanpa nafsu. Hanya sebuah tugas. Sulastri bisa merasakan Joko mengocok kontol-nya sendiri di kursi dalam diam, sebuah sesi onani yang menyedihkan. Setelah beberapa genjotan mekanis, Kaka menggeram rendah. “Ngghhh... saya mau keluar.”
“Keluarkan di dalam! Jangan ada yang tumpah!” perintah Joko panik.
Dengan satu sodokan terakhir, Kaka crot di dalam rahim Sulastri. Hangatnya pejuh itu terasa asing dan najis. Setelah selesai, Kaka langsung turun dari ranjang dan memakai celananya. Sulastri hanya bisa menangis dalam diam.
ns216.73.216.166da2