“Azoospermia,” kata Dokter Prakoso di seberang sambungan video. Wajahnya yang tua dan bijak tampak penuh simpati. “Total, Joko. Tidak ada satu pun sel sperma yang hidup. Ini bukan soal kualitas, tapi kuantitas. Kosong.”
Joko, atau dr. Teguh Sudakari, hanya menatap layar laptop di ruang kerjanya yang lembap di pedalaman Papua. Di luar, suara hutan terdengar riuh. Di dalam hatinya, sunyi senyap. Mandul. Kata itu lebih menusuk daripada pisau bedah manapun yang pernah ia pegang. Ia, seorang dokter, seorang pria Jawa terhormat, ternyata hanyalah cangkang kosong.
Malam itu, ia menyampaikan vonis itu pada Sulastri. Istrinya, dr. Sulastri Wong, cantik dan cerdas, hanya memeluknya tanpa kata. Tapi Joko bisa merasakan getaran di bahu istrinya. Getaran kekecewaan yang coba disembunyikan. Tujuh tahun pernikahan, tujuh tahun penantian, berakhir di satu kata: mandul.
Harga dirinya sebagai pria hancur lebur. Di tanah Jawa, garis keturunan adalah segalanya. Pria tanpa benih adalah pria yang gagal. Keputusasaan melahirkan sebuah ide gila. Ide yang dingin, klinis, dan mengerikan.
“Lastri,” panggilnya seminggu kemudian, suaranya serak. “Ada satu cara. Bukan adopsi. Bukan donor medis yang prosedurnya rumit di sini. Sesuatu yang lebih... alami.”
Sulastri menatapnya, bingung.
“Kita butuh ‘donor’,” lanjut Joko, menghindari tatapan istrinya. “Pria lokal. Yang sehat, kuat. Untuk... membantu kita. Secara langsung.”
Mata Sulastri membelalak. “Maksudmu, Mas? Maksudmu aku... tidur dengan pria lain?”
“Bukan tidur!” potong Joko cepat, nadanya terlalu defensif. “Ini prosedur medis, Lastri. Kita sebut saja... inseminasi alami terarah. Aku akan mengawasinya. Ini demi keturunan kita. Demi keluarga kita.”
Sulastri merasa mual. Suaminya, pria yang ia cintai, baru saja memintanya untuk di-ngewe oleh pria lain, dan membungkusnya dengan istilah kedokteran yang cabul.
ns216.73.216.166da2