
Bab 3: Dua Wajah, Satu Hasrat
324Please respect copyright.PENANAHqJoJPhpNd
Namanya Asanah. Kakak kandung Anissa. Perempuan yang dari cara berdirinya saja kau tahu: ini bukan wanita sembarangan.
Pakaian syar’i, kerudung besar, suara tenang, dan wibawa alami yang tak dibuat-buat. Tapi justru karena semua itu, aku jadi lebih waspada. Bukan karena takut... tapi karena penasaran.
324Please respect copyright.PENANAVVLI48g8fK
Perempuan seperti Asanah bukan tipe yang mudah disentuh, bahkan oleh kata-kata. Tapi auranya itu auranya yang tak pernah berusaha memikat tapi justru menarik seperti medan magnet spiritual.
324Please respect copyright.PENANAxMfd6j7eic
Wajahnya putih bersih, hidungnya mancung, dan yang paling membuatku salah fokus: bulu-bulu halus di tangan dan kakinya, lurus, rapi, dan samar seperti garis kabut di fajar hari. Bukan seperti perempuan desa kebanyakan. Ini... lebih elegan. Lebih mahal.
324Please respect copyright.PENANAWGha8LVt7m
"Perempuan berdarah campuran," bisik Deden waktu itu.
324Please respect copyright.PENANAVpicRjTsn6
"Arab-Jawa. Bapaknya dulu jemaah haji yang nyasar nikah di sini, pulang-pulang bawa anak dua."
324Please respect copyright.PENANAORU4ltBhmZ
Dan aku percaya.
324Please respect copyright.PENANAh8KU9PD0SM
Tak cuma darahnya yang bercampur, kekuasaannya juga menyebar ke banyak bidang. Usaha penggilingan padi, bisnis penyaluran TKW ke luar negeri, bahkan pengelolaan wisma tempat pengajian semuanya dipegangnya. Dengan gaya bicara tegas tapi lembut, dia memimpin dengan cara yang tak perlu mengangkat suara.
324Please respect copyright.PENANAmPywXvWd1g
Tapi justru itu yang berbahaya.
Yang tenang seperti laut pasang itu... biasanya menyimpan badai di dalamnya.
324Please respect copyright.PENANAWdLp7Poe4w
324Please respect copyright.PENANAgeZc6XOYCn
324Please respect copyright.PENANACDp4x0QcRp
Sejak kedatanganku ke Pangandaran, hubungan dengan Anissa makin dekat. Perlahan tapi pasti, dari obrolan seputar ilmu agama dan kisah Nabi, jadi candaan halus di lorong dapur, lirikan yang sengaja atau tidak terlalu lama tertahan, hingga sentuhan-sentuhan kecil yang pura-pura tak sengaja.
324Please respect copyright.PENANA0pAVk1Azo1
Dan suatu malam, saat aku selesai mengisi pengajian rutin, Deden tak datang menjemput seperti biasa.
324Please respect copyright.PENANAj6XKCfvysO
“Kata Mbak Asanah, kalau mau lebih nyaman, nginap aja di wisma. Biar lebih dekat dan… karomahnya terasa.”
Begitu pesan yang disampaikan seorang staf perempuan berseragam biru.
324Please respect copyright.PENANAg9la99yKeY
Wisma itu bangunannya kokoh, bertingkat dua, langsung menghadap ke pantai. Di malam hari, suara ombak terdengar seperti dzikir panjang yang mengantuk. Dan malam itu... aku tidak sendiri.
324Please respect copyright.PENANAjah26dCyIo
Anissa datang membawa teh panas dan sepiring kecil pisang goreng.
324Please respect copyright.PENANAqqeKJ70Gz8
“Ini dari Mbak. Katanya habib jangan tidur perut kosong,” katanya pelan.
324Please respect copyright.PENANAGY1BVlXH9N
Tapi aku tahu, ini bukan sekadar teh dan pisang. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda. Aku duduk di balkon lantai atas. Dia berdiri di ambang pintu. Kami tak saling menyentuh. Tapi jarak itu terasa... sangat panas.
324Please respect copyright.PENANAN9nAtoXRz1
Kami bicara lama. Tentang hidup. Tentang luka. Tentang pilihan.
Dan akhirnya diam.
324Please respect copyright.PENANAqAojdBsWmV
Tapi diam kami bukan kosong. Diam itu seperti api yang membakar pelan-pelan, tanpa suara. Angin laut menyapu jilbabnya, memperlihatkan sedikit lehernya, kulit yang begitu bersih seperti porselen.
324Please respect copyright.PENANARpFqc2d01l
Dan malam itu, untuk sesaat yang terasa seperti abadi, aku melihat wajah Anissa yang tak bisa kulihat saat pengajian: wajah seorang perempuan yang haus. Yang menahan terlalu lama. Yang mungkin tak pernah benar-benar merasakan "iman yang menyentuh tubuh."
324Please respect copyright.PENANArg6Be8Ba7F
Ciuman itu terjadi bukan karena kami ingin. Tapi karena kami terlalu sering menahan. Dan seperti ombak yang menghantam batu karang berkali-kali... akhirnya dia pecah juga.
324Please respect copyright.PENANAQ3B2iaRy38
324Please respect copyright.PENANAw5rvug6hxL
Esok paginya, suasana kembali tenang. Anissa menyambutku di ruang makan seperti biasa. Jilbab rapi, senyum sopan. Tak ada yang berubah. Kecuali matanya. Kini ia lebih dalam. Lebih tahu.
324Please respect copyright.PENANASkiIX862bJ
Dan aku... lebih terikat.
ns216.73.216.25da2