
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di https://lynk.id/finalfantasy (lebih mudah dan lebih murah)
------‐-----------------393Please respect copyright.PENANAJZqtf65ldp
Cahaya siang yang redup tersaring melalui jendela, hujan mengguyur deras di luar, petir sesekali menggelegar, kilatnya menerangi kamar kecil yang penuh dengan suasana terlarang. Nisa, yang tadinya malu-malu dan penuh penyesalan, kini berubah 180 derajat setelah ciuman panjang dan buas dengan Pak RT, wajahnya memerah namun matanya berkilat dengan keberanian baru, sikapnya genit dan penurut. Saat ciuman itu berakhir dengan bunyi “slurpp… plop,” Nisa menatap Pak RT dengan senyum manja, tubuhnya masih terlentang di kasur, bra dan celana dalamnya basah, lalu berkata dengan nada genit, “Mas sayang, gesekin kontolmu lagi dong, Nisa kangen latihan kita tadi.” Suaranya penuh godaan, tangannya mengelus lengan Pak RT, menunjukkan hasrat yang tak lagi ia sembunyikan.
Pak RT tersenyum lebar, matanya membelalak penuh kemenangan, tak menyangka Nisa yang tadinya ragu kini begitu agresif dan memaksa. “Ya Tuhan, istriku cantik, kamu bikin suamimu nggak bisa nolak, nih!” katanya dengan tawa kecil, suaranya serak penuh hasrat, tangannya langsung meraih pinggul Nisa, menyiapkan posisi misionaris lagi. Ia mencondongkan tubuhnya, kontolnya yang tegang di balik kolor hitam mulai menggesek memek Nisa yang tembem, masih terlindung celana dalam tipis, gerakannya pelan namun penuh maksud, menghasilkan bunyi gesekan kain “shrr… shrr” yang lembut. “Nisa, kamu bener-bener manis, suamimu bangga banget,” pujinya, mencium pipi Nisa dengan bunyi “smeck” yang hangat.
Nisa, yang kini penuh percaya diri, mengangguk dengan senyum genit, “Mas sayang, Nisa pengen latihan sama mas terus, gesekin lebih kenceng ya,” katanya, suaranya manja, tangannya merangkul leher Pak RT, menariknya lebih dekat hingga napas mereka bercampur. Pinggulnya sedikit terangkat, menyambut setiap gesekan dengan penuh semangat, tubuhnya mengikuti ritme Pak RT seperti tarian penuh dosa, bunyi “shrr” bercampur dengan desahannya yang kini lebih lantang, “Mmh… mas, enak banget…” Hati Nisa, yang tadinya dipenuhi rasa bersalah, kini tenggelam dalam kenikmatan haram, pujian Pak RT membuatnya merasa diinginkan seperti tak pernah ia rasakan bersama Anto. Petir di luar menggelegar, seolah menyoroti perubahan drastis dalam diri Nisa.
Pak RT, semakin terbakar oleh sikap genit Nisa, mempercepat gesekannya, ujung kontolnya yang berurat menyodok klitoris Nisa dengan lebih tegas, setiap dorongan disertai tekanan yang membuat Nisa tersentak dan mendesah lebih keras. “Sayangku, kamu bikin suamimu gila, memekmu ini harta paling berharga,” katanya dengan nada penuh pujian, tangannya mencengkeram pinggul Nisa, memandu gerakan agar gesekan itu semakin dalam, bunyi “plap… shrr” mulai terdengar karena kain basah mereka bergesekan. Nisa tertawa kecil, “Mas sayang, Nisa cuma pengen bikin mas senang, ayo lebih kenceng lagi!” katanya, suaranya penuh godaan, matanya menatap Pak RT dengan penuh keberanian, menunjukkan betapa ia menikmati peran barunya.
Gesekan itu kian intens, Pak RT menggerakkan pinggulnya seperti penari yang tahu setiap langkah, kontolnya yang tegang menggesek memek Nisa dengan ritme yang liar, setiap sodokan membuat tubuh Nisa bergetar, klitorisnya tersentuh berulang hingga ia merasa panas yang tak terbendung. “Nisa, istriku, kamu bikin suamimu nggak bisa mikir apa-apa selain kamu,” pujinya lagi, suaranya serak, tangannya kini mengelus rambut Nisa, jari-jarinya tersangkut di helai rambut basah itu. Nisa mendesah, “Mas… Nisa suka banget gini… jangan berhenti ya, mas sayang…” katanya, suaranya penuh kenikmatan, lengannya mencengkeram punggung Pak RT, menariknya lebih dekat, tubuh mereka seperti menyatu dalam ritme zina yang mereka samarkan sebagai cinta.
Hujan di luar terus menderu, petir bersahutan, kilat menerangi kamar, memperlihatkan Nisa yang kini genit dan penurut, jauh dari wanita malu yang tadi. Pak RT terus menggesek, setiap gerakan seperti janji mesum yang ia penuhi untuk Nisa, bunyi gesekan “shrr… plap” bercampur dengan desahan mereka yang kian lantang, menciptakan simfoni dosa di siang hari itu. “Nisa, kamu bikin suamimu merasa kayak raja, kita lanjutin latihan ini sampe kamu puas, ya,” katanya, mencium leher Nisa dengan bunyi “slup” yang penuh semangat, sementara Nisa membalas, “Iya, mas sayang, Nisa cuma milik mas sekarang…” desahnya, terjebak dalam kenikmatan haram yang membuatnya melupakan Anto
-----------------------------
Nisa, kini genit dan penuh percaya diri, terlentang di kasur dengan bra dan celana dalam basah, mengambil alih kendali, pinggulnya bergerak aktif menggesekkan memeknya yang tembem ke kontol Pak RT yang tegang di balik kolor hitam, gerakannya lincah dan penuh inisiatif, menghasilkan bunyi gesekan kain “shrr… shrr” yang ritmis. “Mas sayang, Nisa suka gini, rasain memek Nisa, ya,” katanya dengan nada manja, matanya menatap Pak RT dengan penuh godaan, tangannya merangkul leher pria itu, menariknya lebih dekat. Pak RT tersenyum, “Istriku nakal banget, suamimu suka lihat kamu gini,” godanya, namun sesekali mendesah “Mmh…” karena intensitas gesekan Nisa yang semakin binal.
Nisa mengatur ritme dengan penuh percaya diri, pinggulnya naik-turun, memastikan klitorisnya tersentuh ujung kontol Pak RT dengan tekanan yang pas, setiap gerakan membuat tubuhnya bergetar, bunyi “plap… shrr” terdengar lebih keras karena kain basah mereka bergesekan. “Mas sayang, Nisa pengen bikin mas nggak bisa lupa malam ini,” katanya, suaranya penuh hasrat, senyum genitnya melebar, tangannya mencengkeram pundak Pak RT, menunjukkan dominasinya dalam permainan zina ini. Pak RT mendesah lagi, “Ahh… Nisa, kamu bikin suamimu gila, terus gitu, sayang,” katanya, tangannya mengelus pinggang Nisa, meski ia tak bisa menahan diri untuk sesekali menyodok lebih keras, mencoba menggoda balik. Hujan di luar terus menderu, seolah menyamarkan desahan mereka yang kian liar.
Nisa tak goyah, ia mempercepat gesekannya, pinggulnya bergerak seperti ombak, memeknya menggesek kontol Pak RT dengan penuh semangat, membuat kain celana dalamnya sedikit melorot, memperlihatkan jembut lebatnya yang basah. “Mas, enak nggak? Nisa kasih yang terbaik buat suamiku,” katanya dengan tawa kecil, suaranya penuh percaya diri, matanya berkilat penuh kenikmatan, tubuhnya mengikuti ritme yang ia ciptakan sendiri. Pak RT, yang kini terbawa arus, mendesah lebih keras, “Sayangku, memekmu ini… aduh, bikin suamimu nggak kuat,” katanya, tangannya meremas paha Nisa, mencoba mengimbangi kebinalan Nisa dengan godaan, “Kamu nakal banget, istriku, suamimu pengen lebih!” Petir menggelegar, kilat menerangi wajah Nisa yang penuh hasrat.
Gesekan itu kian intens, Nisa seperti penari yang menguasai panggung, setiap sodokan memeknya ke kontol Pak RT dirancang untuk memicu kenikmatan maksimal, klitorisnya yang sensitif membuatnya mendesah “Ahh… mas…” dengan suara yang tak lagi malu. “Mas sayang, Nisa pengen lebih deket, cipokan sama Nisa, barter air liur, yuk!” katanya tiba-tiba, suaranya penuh nafsu, tangannya menarik wajah Pak RT hingga bibir mereka bertemu, memulai ciuman liar dengan bunyi “slurpp… smeck” yang basah dan buas. Pak RT langsung melumat bibir Nisa, lidahnya menyapu ludah Nisa dengan rakus, “Nisa, istriku binal, bibirmu manis banget!” desahnya, ludah mereka bercampur dalam ritme “shlupp… plop” yang tak senonoh, sementara pinggul Nisa terus menggesek dengan penuh semangat.
Ciuman itu semakin liar, Nisa mengisap lidah Pak RT dengan penuh nafsu, ludah mereka mengalir deras, bunyi “slurpp… cht… shlupp” mengisi ruangan, setiap kenyotan disertai desahan Nisa yang kini lantang, “Mas… air liurmu… Nisa suka!” katanya di sela-sela ciuman, tangannya mencengkeram rambut Pak RT, menariknya lebih dalam, tubuh mereka menempel erat dalam posisi misionaris. Pak RT mendesah keras, “Sayangku, kamu bikin suamimu ketagihan, ludahmu ini surga!” katanya, lidahnya menjelajahi mulut Nisa, gesekan kontolnya kini mengikuti ritme ciuman, bunyi “plap… shrr” bercampur dengan “slurpp” yang basah, intensitasnya seperti badai yang tak terbendung. Hujan dan petir di luar terus bersahutan, seolah tak peduli dengan kebinalan Nisa yang mengendalikan permainan zina ini.
Ciuman dan gesekan mencapai puncak, Nisa melumat bibir Pak RT dengan penuh rakus, ludah mereka barter seperti sungai yang tak pernah kering, bunyi “slurpp… plop… cht” bercampur dengan desahan mereka yang saling bersautan, “Mas… Nisa… pengen gini terus…” desah Nisa, suaranya penuh kenikmatan, pinggulnya menyodok lebih keras, memeknya menggesek kontol Pak RT hingga pria itu mendesah “Ahh… Nisa, kamu bikin suamimu gila!” Pak RT mencium Nisa dengan lebih buas, tangannya meremas pinggul Nisa, menahan ritme yang kian brutal, tubuh mereka bergetar dalam harmoni dosa yang mereka nikmati bersama.
-----------------------------
Di luar hujan deras, petir sesekali menggelegar, kilatnya menerangi kamar kecil yang penuh dengan aroma dosa. Nisa, yang kini genit dan penuh inisiatif, tiba-tiba menghentikan gesekan memeknya ke kontol Pak RT, napasnya tersengal, wajahnya memerah dengan senyum nakal. “Mas sayang, latihan seks ini harus bugil, biar bener-bener kayak suami istri,” katanya dengan nada manja, tangannya sudah meraih pinggiran kolor Pak RT, mulai menariknya ke bawah dengan penuh keberanian. Pak RT kaget, matanya membelalak, “Eh, sayang, nggak perlu bugil, kan latihan doang,” tolaknya setengah hati, namun Nisa, dengan tawa kecil, terus memeloroti kolor itu, memperlihatkan kontolnya yang tegang dan berurat, membuat pria itu akhirnya menyerah.
Nisa tertawa genit, “Mas sayang, jangan malu, Nisa juga mau bugil buat mas,” katanya, matanya berkilat penuh hasrat, tubuhnya sedikit terangkat untuk memudahkan Pak RT ikut andil. Pak RT, yang kini terbawa arus, tak bisa menolak; tangannya dengan penuh nafsu meraih bra Nisa, melepaskan kaitannya dengan bunyi “klik” kecil, lalu menarik celana dalam Nisa yang basah hingga terlepas, memperlihatkan memeknya yang tembem dan jembut lebat, tubuh istri orang itu kini telanjang di depannya. “Ya Tuhan, Nisa, kamu bikin suamimu nggak bisa mikir,” gumamnya, suaranya serak, matanya menjelajahi tubuh Nisa dengan penuh kekaguman, tangannya mengelus pinggulnya dengan penuh godaan.
Nisa bangga, berdiri sejenak di kasur, tubuhnya yang bugil berkilau di bawah cahaya redup, seolah merayakan kemenangannya atas “latihan” ini, lalu kembali berbaring dan menatap Pak RT dengan mesra, matanya penuh nafsu bejat. “Mas sayang, Nisa udah jadi istri yang baik belum?” tanyanya dengan nada manja, tangannya menyentuh dada Pak RT, jari-jarinya mengelus kulitnya dengan penuh kasih sayang palsu, wajah mereka begitu dekat hingga napas mereka bercampur. Tatapan mereka penuh gairah, kilat dari luar menerangi wajah Nisa yang kini tak lagi malu, melainkan penuh percaya diri. Hujan di luar terus menderu, seolah tak peduli dengan perubahan drastis dalam diri Nisa.
Pak RT membatin, hatinya dipenuhi rasa kemenangan, ciuman dan kontolnya telah berhasil membuat Nisa, istri orang, berubah drastis dari wanita malu menjadi genit dan penurut, bahkan jatuh hati pada permainan zina ini. Ia mengelus kepala Nisa dengan lembut, jari-jarinya menyisir rambut basahnya, menatapnya dengan penuh kasih sayang palsu, “Kamu istri idamanku, cantik, Nisa, suamimu bangga banget sama kamu,” katanya dengan suara hangat, mencium kening Nisa dengan bunyi “smeck” yang lembut. Nisa tersenyum lebar, “Mas sayang, Nisa cuma pengen jadi istri terbaik buat mas,” katanya, suaranya penuh kepatuhan, tangannya merangkul leher Pak RT, menariknya lebih dekat.
Pak RT menindih tubuh Nisa lagi, kini tanpa penghalang kain, kulit mereka bersentuhan langsung, panas tubuh mereka bercampur, membuat momen itu semakin intim dan terlarang. “Sayangku, kamu bikin suamimu nggak bisa bayangin istri lain selain kamu,” pujinya, tangannya mengelus punggung Nisa, merasakan setiap lekuk tubuhnya, napasnya memburu karena tubuh bugil Nisa di bawahnya. Nisa mendesah pelan, “Mas… Nisa suka gini, deket sama mas sayang…” katanya, suaranya penuh kenikmatan, matanya menatap Pak RT dengan penuh gairah, menunjukkan betapa ia tenggelam dalam permainan ini. Petir menggelegar, kilat menerangi tubuh mereka yang telanjang, seperti sorotan pada dosa yang mereka nikmati.
Nisa, dengan keberanian barunya, menggeser pinggulnya sedikit, memeknya yang tembem menyentuh kontol Pak RT yang tegang, tanpa gesekan kain kali ini, sensasinya lebih kuat, membuat keduanya tersentak, bunyi napas mereka bercampur dengan deru hujan. “Mas sayang, Nisa mau latihan lagi, tapi gini, biar lebih mesra,” katanya dengan tawa genit, tangannya mencengkeram pundak Pak RT, mendorongnya untuk bergerak bersamanya. Pak RT tertawa kecil, “Istriku nakal, suamimu nggak akan nolak, kamu bikin aku jatuh cinta tiap detik,” katanya, lalu mencium bibir Nisa dengan bunyi “smeck” yang dalam, tubuhnya mulai bergerak pelan, mengikuti keinginan Nisa. Hujan di luar terus mengguyur, petir bersahutan, seolah tak peduli dengan Nisa yang kini bangga atas tubuh bugilnya dan permainan zina yang ia kendalikan.
Momen itu seperti puncak kemenangan bagi Pak RT, yang dalam hati merayakan keberhasilannya mengubah Nisa menjadi wanita yang tak lagi mengenal malu, sementara Nisa merasa dihargai seperti tak pernah ia rasakan bersama Anto. “Nisa, kamu bikin suamimu merasa kayak raja, istriku sempurna,” katanya lagi, tangannya mengelus leher Nisa, lalu turun ke dadanya, merasakan detak jantungnya yang cepat, ciumannya kini beralih ke leher Nisa dengan bunyi “slup” yang lembut. Nisa mendesah, “Mas sayang, Nisa cuma milik mas, ajarin Nisa terus ya…” katanya, suaranya penuh kepasrahan dan nafsu, tubuh mereka yang bugil terus bersentuhan, siap melanjutkan “latihan” yang kian dalam.
393Please respect copyright.PENANAdZz4zmr1Sm
-------------------------------
393Please respect copyright.PENANAiKLVss4MrN
Pak RT, tanpa berpikir panjang, langsung melanjutkan “latihan,” tubuhnya menindih Nisa dalam posisi misionaris, kontolnya yang keras dan berurat kini menggesek klitoris Nisa tanpa penghalang kain, kulit mereka bersentuhan langsung, menghasilkan panas yang membakar. Ia tahu ini zina, dosa besar yang tak terampuni, namun kenikmatan merebut istri orang telah membutakan mata dan hatinya, setiap gesekan membuatnya semakin tenggelam dalam nafsu. Bunyi napas mereka bercampur dengan gesekan kulit yang lembut, “shrr… plap,” mengisi ruangan dengan ritme terlarang.
Nisa, yang kini bugil dan penuh hasrat, menerima setiap gesekan dengan penuh semangat, tubuhnya bergetar setiap kali kontol Pak RT menyentuh klitorisnya yang sensitif, sensasi itu seperti listrik yang mengalir di seluruh tubuhnya. Pak RT, sambil terus menggesek dengan ritme yang terjaga, menatap wajah Nisa yang memerah, lalu bertanya dengan suara serak penuh godaan, “Kamu lebih suka kontol aku atau kontol Anto, sayang?” Tangannya mencengkeram pinggul Nisa, menahan tubuhnya agar gesekan itu semakin dalam, matanya menuntut jawaban, penuh harap akan kemenangan atas suami sah Nisa. Kilat dari luar menerangi wajah mereka, menyoroti ekspresi Nisa yang penuh kenikmatan namun juga keraguan.
Nisa tak langsung menjawab, bibirnya mengerucut, matanya berkaca-kaca, namun tangannya justru merangkul Pak RT lebih erat, lengannya melingkari leher pria itu seperti koala memeluk tangkai pohon, tubuh mereka menempel begitu rapat hingga tak ada ruang di antara mereka. Dadanya yang telanjang menekan dada Pak RT yang berbulu, napas mereka bercampur panas, kulit mereka lengket karena keringat dan kelembapan hujan. “Mas sayang…” desahnya pelan, suaranya penuh kepasrahan, tubuhnya tanpa sadar menggesekkan klitorisnya lebih kasar ke kontol Pak RT, mencari kenikmatan yang kian kuat. Hujan di luar terus menderu, seolah menyamarkan desahan Nisa yang kini lebih lantang.
Dengan pelukan yang semakin erat, Nisa mendekatkan wajahnya ke telinga Pak RT, bibirnya menyentuh cuping telinganya, lalu berbisik dengan suara yang penuh nafsu, “Kontol mas lebih nikmat…” Kata-kata itu seperti ledakan di hati Pak RT, membuatnya tersenyum lebar, rasa kemenangannya atas Anto begitu nyata, nafsunya melonjak tak terkendali. Ia mempercepat gesekannya, kontolnya yang keras menyodok klitoris Nisa dengan lebih agresif, setiap gerakan menghasilkan bunyi “plap… plap” yang keras karena kulit mereka bertemu tanpa hambatan. “Sayangku, kamu bikin suamimu merasa paling hebat di dunia,” pujinya, suaranya serak, tangannya mengelus punggung Nisa, merasakan setiap getaran tubuhnya.
Gesekan itu kian liar, Nisa mengimbangi dengan menggerakkan pinggulnya, klitorisnya bergesekan dengan kontol Pak RT dalam ritme yang brutal, tubuh mereka seperti menyatu dalam tarian dosa, pelukan mereka begitu erat hingga keringat mereka bercampur. “Mas… Nisa suka banget gini…” desah Nisa, suaranya penuh kenikmatan, matanya menatap Pak RT dengan penuh hasrat, tak lagi peduli pada rasa bersalah yang dulu menghantuinya. Pak RT mendesah keras, “Nisa, istriku, kamu bikin suamimu nggak kuat…” katanya, namun tanpa ia sadari, kenikmatan itu terlalu kuat, dan pejunya tiba-tiba muncrat, cairan putih hangat membasahi bagian atas memek Nisa, mengotori jembut tipisnya yang kini berkilau karena noda haram itu. Petir menggelegar, seolah menandai puncak dosa mereka.
Nisa tersentak, merasakan kehangatan peju itu di kulitnya, wajahnya memerah, namun pelukannya tak kendur, matanya masih menatap Pak RT dengan campuran keterkejutan dan kenikmatan. Pak RT, yang juga terkejut, tersenyum canggung, “Sayang, suamimu kelepasan, kamu terlalu nikmat,” katanya dengan tawa kecil, tangannya mengelus pipi Nisa, mencoba meredakan situasi, meski dalam hati ia merayakan kemenangan totalnya. Nisa hanya mendesah pelan, “Mas sayang… ini… beda banget…” katanya, suaranya penuh kepasrahan, tubuhnya masih menempel erat, seperti tak ingin melepaskan momen itu. Hujan di luar, tanpa mereka sadari, mulai reda, suara petir perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang kontras dengan napas mereka yang masih memburu.
Mereka saling bertatapan, mata Pak RT penuh kemenangan dan nafsu, sementara mata Nisa berkaca-kaca, penuh kenikmatan namun juga kebingungan atas apa yang baru terjadi. “Nisa, kamu istri paling sempurna yang pernah suamimu punya,” kata Pak RT dengan suara lembut, tangannya mengelus kepala Nisa, jari-jarinya menyisir rambut basahnya, seolah ingin menegaskan kendalinya atas wanita itu. Nisa tersenyum tipis, “Mas sayang, Nisa cuma pengen bikin mas bahagia…” katanya, suaranya pelan, pelukannya masih erat, tubuh mereka yang bugil tetap menempel seperti tak ingin berpisah. Kilat terakhir menerangi kamar, memperlihatkan jembut Nisa yang ternoda peju, tanda zina yang tak bisa mereka hapus.
Hening sesaat menyelimuti kamar, hanya suara tetesan air hujan yang tersisa di luar, seolah dunia kembali bernapas setelah badai. Pak RT membatin, hatinya penuh rasa kemenangan, ciuman dan kontolnya telah mengubah Nisa, istri orang, menjadi wanita yang tak lagi mengenal batas, sepenuhnya jatuh ke pelukannya. “Sayangku, kita bikin memori yang nggak akan suamimu lupain,” katanya, mencium kening Nisa dengan bunyi “smeck” yang lembut, sementara Nisa hanya mengangguk, “Iya, mas sayang, Nisa… milik mas sekarang…” desahnya, suaranya penuh kepasrahan, terjebak dalam dosa yang kini terasa seperti cinta, tubuh mereka masih berpelukan erat, seperti koala yang tak ingin lepas dari pohonnya, di tengah kamar yang menyimpan rahasia mereka.
--------------------
Cahaya senja yang redup menyelinap melalui jendela, hujan telah reda, hanya suara tetesan air tersisa di luar, menciptakan keheningan yang kontras dengan dosa yang baru saja terjadi di kamar kecil itu. Nisa dan Pak RT masih bugil, tubuh mereka menempel erat dalam posisi misionaris, napas mereka perlahan tenang setelah kenikmatan zina yang intens, peju Pak RT membasahi jembut tipis Nisa dan bagian atas memeknya. Dengan penuh hasrat, mereka saling berciuman, bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut namun penuh sisa nafsu, bunyi “smeck… slurpp” pelan mengisi ruangan, lidah mereka saling menyapu dengan penuh kasih sayang palsu. Nisa mendesah, “Mas sayang, ciumanmu selalu bikin Nisa lupa diri,” katanya, tangannya mengelus leher Pak RT, matanya berkilat penuh kepuasan.
Tiba-tiba, Nisa menarik wajahnya, senyum genit muncul di bibirnya, matanya menatap Pak RT dengan nada menggoda, “Masa Pak RT yang crot duluan? Kan harusnya mas yang ngajarin aku tahan lama?” katanya dengan tawa kecil, jari-jarinya menelusuri dada Pak RT, suaranya penuh ejekan manja. Pak RT tersipu, wajahnya sedikit memerah, malu karena kenyataan bahwa ia tak bisa menahan pejunya di hadapan kenikmatan Nisa. “Eh, sayang, kamu terlalu nikmat, suamimu ini sampai lupa diri,” katanya dengan tawa canggung, tangannya mengelus pipi Nisa, mencoba menutupi rasa malunya dengan pujian, lalu mencium keningnya dengan bunyi “smeck” yang lembut.
Nisa tertawa, namun tatapannya tiba-tiba berubah, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore—waktu Anto, suami sahnya, biasanya pulang dari kerja. “Mas sayang, udah sore, Anto bentar lagi pulang,” katanya pelan, suaranya bercampur panik namun masih ada nada genit, tangannya masih mencengkeram lengan Pak RT, seolah tak ingin momen itu berakhir. Pak RT mengangguk cepat, “Iya, sayang, suamimu ini nggak mau bikin ribet,” katanya, segera bangkit dari kasur, tubuh bugilnya bergerak lincah mencari kolor dan bajunya yang tercecer. Hujan yang telah reda membuat suasana kamar terasa lebih hening, seolah dunia kembali normal, kontras dengan dosa yang masih hangat di antara mereka.
Sebelum berpakaian, Pak RT mengambil kain lap dari sudut kamar, berlutut di depan Nisa yang masih terlentang, dan dengan penuh perhatian mengelap peju yang membasahi perut dan memeknya, gerakannya lembut namun penuh maksud. Setelah peju bersih, ia menunduk, mencium memek Nisa dengan bunyi “smeck” yang pelan, membuat Nisa tersentak dan mendesah, “Mas… nakal banget…” katanya dengan tawa kecil, wajahnya memerah. Pak RT tersenyum, “Ini buat istriku yang cantik, biar selalu ingat suamimu,” katanya, lalu berdiri, memakai kolor dan kausnya dengan cepat, matanya tak lepas dari tubuh bugil Nisa yang berkilau di bawah cahaya senja.
Pak RT kembali mendekati Nisa, tangannya mengelus kepala wanita itu dengan penuh kasih sayang palsu, jari-jarinya menyisir rambut basahnya, “Besok kita lanjut lagi latihannya ya, cantik, pas suami kamu kerja lagi,” katanya dengan suara lembut, penuh janji mesum. “Nanti mas janji bikin kamu crot, biar adil,” tambahnya, matanya berkilat, senyumnya penuh kemenangan karena telah menjerat Nisa. Nisa menatapnya dengan mata penuh hasrat, “Janji ya, mas sayang, Nisa nunggu besok,” katanya, lalu menarik wajah Pak RT, mencium bibirnya dengan bunyi “smeck” yang dalam, ciuman singkat namun penuh gairah, seperti segel untuk janji terlarang mereka.
Pak RT mengangguk, “Janji, istriku manis, suamimu nggak akan ninggalin kamu,” katanya, lalu berbalik, mengambil langkah cepat menuju pintu, meninggalkan kamar kecil itu dengan senyum kemenangan di wajahnya. Nisa masih terlentang di kasur, tubuhnya bugil, wajahnya memerah karena kenikmatan dan godaan yang baru saja ia alami, hatinya terombang-ambing antara kepuasan dan rasa bersalah yang kian samar. Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit, berbisik pada dirinya sendiri, “Mas sayang… Nisa salah, tapi kenapa enak banget…” katanya pelan, suaranya penuh kebingungan, jari-jarinya menyentuh bibirnya yang masih basah dari ciuman. Cahaya senja perlahan memudar, menyisakan kamar dalam penumbra, seolah menyembunyikan dosa yang baru saja terjadi.
Di luar, udara terasa segar setelah hujan reda, langkah Pak RT cepat menuju rumahnya, hatinya penuh rasa kemenangan karena telah mengubah Nisa, istri orang, menjadi wanita yang tergila-gila padanya. Ia membatin, “Ciumanku, kontolku, semuanya bikin dia lupa Anto, Nisa sekarang milikku,” pikirnya, senyum licik muncul di wajahnya. Sementara itu, di kamar, Nisa bangkit perlahan, mengambil pakaiannya dengan tangan gemetar, bersiap menyambut Anto yang sebentar lagi pulang, namun pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Pak RT dan janji “latihan” besok.
393Please respect copyright.PENANAsvScP50DyF
393Please respect copyright.PENANAJBBEWKq56G
TO BE CONTINUED
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di https://lynk.id/finalfantasy (lebih mudah dan lebih murah)393Please respect copyright.PENANARbprFQnjfo