
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
------------------------
Cahaya tengah hari yang lembut menyelinap melalui celah jendela kamar kecil Pak RT, menerangi kasur dengan sprei biru yang basah oleh keringat dan noda kenikmatan, di desa yang masih hening. Nisa dan Pak RT terengah-engah dalam pelukan, tubuh bugil mereka menempel erat, aroma peju dan lendir kenikmatan memenuhi kamar setelah genjotan zina yang liar. Peju Pak RT, kental, putih, dan amis, membanjiri memek Nisa, memek yang haram baginya, beberapa tetes meluap, menetes ke sprei dan paha Nisa, bunyi “plip” pelan terdengar. Pak RT, tiba-tiba diliputi kepanikan, wajahnya memucat, “Nisa, peju mas banyak banget… kamu nggak bakal hamil, kan?” tanyanya, suaranya serak bercampur ketakutan, jantungnya kaku memikirkan konsekuensi dosa mereka, tangannya masih memeluk pinggang Nisa, tapi kini gemetar.
Nisa, yang masih tenggelam dalam kenikmatan, mata berkilat penuh nafsu, justru tersenyum genit, “Mas sayang, panik gitu sih? Biarin aja, Nisa suka kok peju mas di dalem,” katanya manja, suaranya lembut, memeknya berkedut merasakan hangatnya peju yang membanjiri rahimnya, tak ada sedikit pun kekhawatiran di wajahnya. Ia menggeser posisi, masih dalam pelukan Pak RT, tangannya turun ke memeknya, jari-jarinya menangkap tetesan peju yang meluap, lalu dengan binal memasukkan kembali lendir haram itu ke dalam lubang kenikmatannya, bunyi “slik” kecil terdengar, “Nggak boleh keluar, ini kan punya mas sayang,” desahnya, matanya menatap Pak RT dengan penuh godaan, kasur berderit pelan di bawah gerakan mereka, sprei biru semakin basah.
Pak RT, meski panik, tak bisa menahan kagum melihat aksi Nisa, nafsunya kembali tersulut, “Nisa, kamu… ya Tuhan, binal banget,” katanya, suaranya bercampur kagum dan gugup, tangannya mengelus paha Nisa, tapi pikirannya masih dihantui pertanyaan, “Tapi serius, sayang, kalau hamil gimana? Anto bakal curiga,” tambahnya, keringat dingin menetes di dahinya, memikirkan Anto yang tidur pulas di rumah dan Bu RT yang mungkin sedang di warung. Nisa tertawa kecil, “Mas, jangan mikir jauh, Nisa nggak peduli, yang penting Nisa bahagia sama mas,” katanya, tangannya masih bermain di memeknya, memastikan setiap tetes peju tetap di dalam, jari-jarinya licin, memeknya berkedut, menikmati sensasi lendir haram itu.
Nisa menunduk, mencium bibir Pak RT dengan lembut, bunyi “smeck” pelan mengiringi, “Mas sayang, peju mas enak, Nisa pengen simpen di dalem selamanya,” katanya, lidahnya menyapu sudut bibir pria itu, tangannya mengelus dada Pak RT, mencoba menenangkan kepanikan pria itu. Pak RT mendesah, “Sayangku, kamu bikin mas nggak bisa mikir, tapi… kita harus hati-hati,” katanya, tapi ciuman Nisa membuatnya luluh, tangannya kembali merangkul pinggang wanita itu, meski hatinya masih kaku memikirkan risiko kehamilan, kontolnya yang lemas mulai berdenyut lagi melihat aksi binal Nisa. Kasur kecil itu berderit saat Nisa menggeser posisi, memeknya masih menjepit sisa peju, sprei biru penuh noda, kamar panas oleh zina yang tak kunjung usai.
Nisa, dengan payudara semok bergoyang pelan, menatap Pak RT dengan mata penuh cinta terlarang, “Mas, kalau Nisa udah serasa sama, biar peju, biar hamil, pokoknya Nisa cuma mau sama mas,” katanya, suaranya penuh keyakinan mesum, jari-jarinya kembali menangkap tetesan peju yang menetes di pahanya, memasukkannya lagi ke memeknya, “Ini punya mas, nggak boleh sia-sia,” tambahnya, senyum nakalnya membuat Pak RT menelan ludah. “Nisa, kamu… bikin mas takut sekaligus pengen lagi,” balas Pak RT, suaranya serak, tangannya meremas bokong Nisa, nafsunya perlahan mengalahkan kepanikan, meski bayang-bayang Anto dan Bu RT masih mengintai di pikirannya, kamar kecil itu seperti dunia mereka sendiri.
Ciuman mereka berlanjut, Nisa melumat bibir Pak RT dengan penuh hasrat, bunyi “slurpp… plop” bercampur desahan, lidah mereka bertarung, ludah bercampur, “Mmh… mas sayang, cium Nisa, biar nggak panik,” desahnya, tangannya mencengkeram rambut pria itu, memeknya masih berkedut, menahan peju di dalam, sensasi hangat itu membuatnya haus akan lebih. Pak RT membalas, “Sayangku, bibirmu ini racun, mas nggak bisa nolak,” katanya, tangannya naik, meremas payudara Nisa, jari-jarinya memelintir puting yang mengeras, membuat wanita itu mendesah, “Ahh… mas, terusin…” Kasur berderit pelan, sprei biru basah oleh tetesan peju yang tak tertahan, zina mereka terasa indah meski penuh risiko.
Nisa menggesek memeknya pelan ke paha Pak RT, memastikan peju tetap di dalam, “Mas, Nisa suka ngerasa peju mas gini, kayak punya mas beneran,” katanya manja, ciumannya turun ke leher pria itu, jilatannya meninggalkan jejak basah, bunyi “slik” pelan mengiringi. Pak RT menggeliat, “Nisa, kamu istriku binal, tapi… kita harus pikirin akibatnya,” katanya, suaranya bercampur nafsu dan kekhawatiran, tapi aksi Nisa yang memasukkan kembali tetesan peju membuatnya tak bisa fokus, kontolnya mulai mengeras lagi, meski baru saja muncrat. Kamar kecil itu dipenuhi aroma amis peju, sprei biru seperti kanvas dosa mereka, Nisa tenggelam dalam kenikmatan, lupa pada Anto, lupa pada Bu RT, hanya ingin Pak RT.
Pak RT memeluk Nisa lebih erat, mencoba mengendalikan kepanikan, “Sayang, kalau kamu hamil, mas yang tanggung jawab, tapi… Anto nggak boleh tahu,” katanya, suaranya serius, tangannya mengelus punggung Nisa, merasakan kulit yang basah keringat. Nisa tertawa kecil, “Mas sayang, jangan mikir Anto, Nisa cuma mikirin mas, peju ini Nisa simpen buat mas,” katanya, jari-jarinya kembali menyapu tetesan peju di sprei, memasukkannya ke memeknya, “Liat, mas, Nisa sayang banget sama peju mas,” tambahnya binal, matanya penuh godaan, memeknya berkedut, menahan lendir haram itu dengan penuh nafsu. Kasur berderit saat Nisa menggeser posisi, sprei biru penuh noda baru, kamar panas oleh zina yang tak kunjung reda.
Nisa menatap Pak RT dengan mata penuh cinta terlarang, “Mas sayang, Nisa nggak takut hamil, yang penting Nisa bahagia sama mas,” katanya, suaranya penuh keyakinan, ciumannya kembali mendarat di bibir pria itu, bunyi “smeck” lembut mengiringi, tangannya mengelus dada Pak RT, rindu akan belaian yang membuatnya hidup. Pak RT mendesah, “Sayangku, kamu bikin mas luluh, tapi… kita harus hati-hati besok,” katanya, tangannya mencubit pinggul Nisa, nafsunya kembali membara meski pikirannya masih kacau, peju yang membanjiri memek Nisa seperti tanda dosa yang tak bisa dihapus. Kamar kecil itu seperti surga terlarang, sprei biru basah total, Nisa dan Pak RT terpeluk erat, tenggelam dalam zina yang indah namun berbahaya.
Tengah hari berlalu, desa tetap hening, tak tahu bahwa Nisa, kini memastikan peju Pak RT tetap di memeknya yang haram, telah menyerahkan tubuh dan hatinya di kasur yang seharusnya suci, aroma peju amis memenuhi kamar, tanda dosa yang kian dalam. “Mas sayang, Nisa cuma pengen sama mas, tiap hari gini ya,” desah Nisa, ciumannya beralih ke leher Pak RT, jilatannya meninggalkan jejak basah, bunyi “slik” mengiringi, tangannya mengelus kontol yang mulai keras lagi. Pak RT memeluknya, “Sayangku, mas janji kasih kamu semua, tapi… kita harus rapihkan ini,” katanya, suaranya bercampur nafsu dan kekhawatiran, sprei biru penuh noda, kasur menjadi saksi zina mereka, sementara Bu RT di warung dan Anto tidur pulas tak tahu bahwa Nisa telah menikmati peju haram Pak RT, memastikan lendir itu tetap di dalam memeknya, tenggelam dalam dosa yang terasa seperti cinta sejati
----------------------
Sinar tengah hari menyelinap melalui celah jendela kamar kecil Pak RT, menerangi kasur dengan sprei biru yang basah dan kusut, penuh noda kenikmatan dari zina Nisa dan Pak RT. Kamar itu dipenuhi aroma keringat mereka, bau peju amis Pak RT, dan lendir squirting Nisa, menciptakan suasana mesum yang kini harus segera dirapikan. Pak RT, dengan wajah masih memerah usai klimaks, tiba-tiba tersentak oleh kesadaran risiko, “Nisa, cepet, kita rapikan kasur, kalau Bu RT pulang dan cium bau ini, gawat!” katanya, suaranya serak bercampur panik, buru-buru bangkit dari pelukan Nisa. Ia menarik sprei basah itu dengan cepat, tangannya sedikit gemetar, tahu istrinya bisa curiga jika mencium bau asing di kasur yang seharusnya suci. Nisa, masih lemas dari kenikmatan, mengangguk, “Iya, mas, Nisa bantu,” desahnya, tubuh bugilnya bergerak membantu, meski memeknya masih lumer, peju Pak RT terasa hangat di rahimnya.
Pak RT bergerak gesit, melempar sprei basah ke sudut kamar, aroma peju dan squirting semakin menyengat saat kain itu digerakkan, membuatnya makin panik, “Ya Tuhan, bau banget, harus cepet diganti,” gumamnya, mengambil sprei bersih dari lemari kayu, warna putih polos yang kontras dengan dosa mereka. Nisa membantu menarik ujung sprei, payudaranya bergoyang pelan, kulitnya berkilau keringat, “Mas sayang, tenang, Bu RT kan masih di warung, kita aman,” katanya, suaranya manja, mencoba menenangkan, tapi matanya berkilat nakal, masih haus belaian. Mereka bekerja cepat, merapikan kasur dengan sprei baru, bunyi “sret” kain mengisi kamar, noda basah di matras sedikit tersamarkan, tapi aroma keringat dan peju masih samar di udara, membuat Pak RT menghela napas, “Harus buka jendela nanti,” pikirnya.
Selesai merapikan kasur, kamar terlihat lebih rapi, sprei putih memberikan ilusi kemurnian, tapi Nisa dan Pak RT tahu rahasia kotor di baliknya. Pak RT menarik Nisa ke pelukannya, “Sayangku, hampir mati mas tadi, untung kamu bantu,” katanya, suaranya lembut, tangannya mengelus punggung Nisa, merasakan kulit yang masih hangat. Nisa tersenyum genit, “Mas sayang, Nisa kan istri penurut,” godanya, menempelkan tubuh bugilnya ke dada Pak RT, payudaranya menekan kulit pria itu, memeknya masih berkedut, peju di dalamnya seperti trofi zina. Mereka berpelukan erat, kasur di bawah mereka kini bersih, tapi kenikmatan tadi masih terasa, membuat mereka tak bisa menahan kemesraan, ciuman lembut mendarat, bunyi “smeck” pelan mengiringi, seolah tak pernah cukup.
Kemesraan mereka kembali menyulut, Nisa mencipoki leher Pak RT, “Mas, Nisa kangen ciuman mas, satu lagi,” desahnya, lidahnya menyapu kulit pria itu, bunyi “slik” basah menggoda. Pak RT mendesah, “Sayangku, kamu bikin mas nggak bisa tahan,” balasnya, tangannya meremas bokong Nisa, menariknya lebih dekat, nafsu yang tadi sempat reda kini bangkit lagi. Ciuman mereka menjadi lebih hot, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… plop” bercampur napas memburu, ludah bercampur, Nisa tangannya mencengkeram rambut Pak RT, “Mmh… mas sayang, Nisa cuma pengen sama mas,” katanya, payudaranya bergesek di dada pria itu, kamar kecil itu kembali panas, meski sprei sudah bersih.
Mereka berhenti sejenak, menyadari mereka harus berpakaian sebelum Bu RT pulang. Pak RT mengambil kaus ketat dan celana jeans dari lantai, “Sayang, kita pake baju dulu, nanti keburu ketahuan,” katanya, suaranya bercampur tawa, tapi ada nada waswas. Nisa mengangguk, meraih daster biru dan lingerie renda merah yang tergeletak, “Iya, mas, tapi Nisa masih pengen cium mas lagi,” katanya genit, memakai lingerie dengan gerakan menggoda, renda menempel ketat di kulitnya, memeknya masih menahan peju Pak RT. Pak RT memakai celana, matanya tak lepas dari tubuh Nisa, “Nisa, kamu bidadari binal, mas pengen ngentot lagi kalau gini,” godanya, lalu menarik Nisa untuk ciuman panas lagi, bunyi “slurpp… smeck” menggema, lidah mereka saling menyapu, nafsu tak kunjung padam.
Ciuman mereka semakin liar, Nisa melumat bibir Pak RT dengan rakus, “Mas sayang, cium Nisa kenceng, biar Nisa bawa pulang rasa mas,” desahnya, tangannya mengelus dada pria itu, memeknya berkedut, peju amis di rahimnya terasa seperti ikatan mesum mereka. Pak RT membalas, “Sayangku, bibirmu ini racun, mas nggak rela kamu pulang,” katanya, tangannya meremas payudara Nisa melalui daster, putingnya mengeras di balik renda, membuat wanita itu mendesah, “Mmh… mas, besok lagi ya.” Mereka akhirnya melepaskan ciuman, napas tersengal, tahu Nisa harus pulang sebelum Anto bangun atau Bu RT kembali, kamar kecil itu kini rapi, tapi aroma kenikmatan masih samar, seperti rahasia yang tersembunyi di sprei putih.
Nisa melangkah ke pintu kamar, daster birunya berkibar pelan, lingerie renda merah di bawahnya basah oleh peju dan lendir, “Mas sayang, Nisa pulang dulu, besok ketemu lagi,” katanya, menoleh dengan senyum nakal, tangannya memegang gagang pintu. Pak RT mengangguk, “Sayangku, hati-hati, mas nunggu kamu besok,” balasnya, suaranya penuh janji mesum, lalu berjalan ke jendela, membuka celah kecil untuk memantau Nisa yang keluar dari rumahnya. Ia berdiri waswas, tangan menekan bingkai jendela, matanya mengikuti langkah Nisa yang ringan di gang sempit, takut tetangga melihat atau Bu RT tiba-tiba pulang, “Jangan ketahuan, sayang,” gumamnya, jantungnya berdegup kencang, tahu peju amisnya kini ada di rahim Nisa.
Nisa berjalan cepat di gang, kepala menunduk, udara segar menyapa wajahnya, tapi peju Pak RT di memeknya terasa hangat, membuatnya tersenyum kecil, “Mas sayangku, Nisa bawa pulang ini buat kenangan,” pikirnya, langkahnya ringan meski penuh risiko. Daster birunya sederhana, menyembunyikan lingerie renda yang basah, memeknya menjepit peju, tak ingin tetes pun keluar, seperti ingin menjaga ikatan zina mereka. Ia melirik ke belakang, memastikan tak ada tetangga, desa sepi, hanya suara burung dan angin, tapi jantungnya berdegup, tahu Anto bisa bangun kapan saja, “Mas Anto pasti masih tidur, nggak bakal curiga,” pikirnya, meyakinkan diri, tapi kenikmatan tadi dengan Pak RT membuatnya rindu untuk kembali.
Pak RT masih di jendela, matanya tak lepas dari sosok Nisa yang menjauh, daster birunya berkibar di gang, “Sayangku, hati-hati, jangan sampe Anto tahu,” gumamnya, tangannya mencengkeram bingkai jendela, waswas bercampur nafsu, teringat memek Nisa yang menjepit pejunya tadi. Ia menarik napas panjang, menutup jendela pelan, lalu memeriksa kamar sekali lagi, sprei putih terlihat bersih, tapi aroma keringat dan peju masih samar, “Harus nyanyi parfum nanti,” pikirnya, tahu Bu RT bisa pulang kapan saja. Kamar kecil itu kini hening, tapi noda zina tersimpan di sprei basah yang disembunyikan, Pak RT tersenyum kecil, “Nisa, kamu istriku binal,” gumamnya, rindu ciuman panas tadi.
Nisa sampai di ujung gang, rumahnya sudah terlihat, pintu depan masih tertutup, tanda Anto mungkin masih tidur pulas. Ia membuka pintu pelan, bunyi “krek” kecil terdengar, masuk dengan hati-hati, “Mas, kamu di mana?” panggilnya pelan, memastikan suaminya tak bangun. Dengkuran samar dari kamar menenangkannya, “Untung masih tidur,” pikirnya, lega, tapi peju Pak RT di rahimnya terasa seperti rahasia yang membakar, memeknya masih lumer, lingerie renda basah menempel di kulitnya. Ia berjalan ke dapur, mengambil kain lap, pura-pura membersihkan meja, tapi pikirannya melayang ke Pak RT, “Mas sayang, besok Nisa dateng lagi,” gumamnya, senyum nakal muncul, hasratnya tak padam, peju amis itu seperti ikatan cinta terlarang.
Di rumah Pak RT, pria itu duduk di kasur yang baru dirapikan, sprei putih kontras dengan kenangan zina tadi, tangannya mengelus dagu, “Nisa, kamu bikin mas ketagihan,” pikirnya, matanya melirik ke sprei basah di sudut, tahu ia harus mencucinya sebelum Bu RT pulang. Ia bangkit, membuka jendela lebar, berharap aroma keringat dan peju hilang, tapi ciuman panas Nisa masih terasa di bibirnya, “Besok mas genjot kamu lagi, sayang,” gumamnya, tersenyum licik, tahu zina ini akan berlanjut. Desa di luar tetap hening, tak tahu bahwa Nisa, dengan peju Pak RT di rahimnya, telah pulang, membawa rahasia kotor dari kamar kecil itu, sementara Anto tidur pulas, tak curiga, dan Bu RT di warung, tak sadar kasurnya telah dinodai.
Nisa berdiri di dapur, tangannya memegang kain lap, tapi pikirannya penuh dengan Pak RT—ciumannya, genjotannya, peju yang kini ia simpan di memeknya. “Mas sayang, Nisa kangen udah,” gumamnya, wajahnya bersemu, lingerie renda di bawah daster terasa seperti pengingat dosa yang nikmat, memeknya berkedut, menahan peju dengan penuh nafsu. Ia melirik ke kamar, dengkuran Anto masih terdengar, “Mas nggak bakal tahu, Nisa cuma butuh mas sayang,” pikirnya, rasa bersalah samar, tapi hasrat pada Pak RT lebih kuat, membuatnya menanti “besok” dengan jantung berdegup. Rumahnya hening, tapi rahasia zina di rahimnya seperti api yang tak padam, menunggu momen berikutnya dengan Pak RT.
Desa tetap tenang, sinar tengah hari membalut gang-gang sempit, tak ada yang tahu tentang kasur Pak RT yang baru dirapikan, sprei basah yang disembunyikan, atau peju amis yang kini ada di rahim Nisa. Pak RT di kamarnya, menarik napas panjang, “Nisa, kamu bikin hidup mas beda,” pikirnya, lalu bangkit untuk menyemprotkan parfum, berharap menyamarkan sisa aroma dosa. Nisa, di rumahnya, berjalan ke kamar mandi, pura-pura mau cuci muka, tapi sebenarnya ingin merasakan peju Pak RT lebih lama, “Mas sayang, ini punya kita,” gumamnya, tangannya menyentuh daster, memeknya masih menjepit lendir haram itu. Zina mereka, meski selesai untuk hari ini, meninggalkan jejak yang tak terhapus, ikatan mesum yang akan membawa mereka kembali ke pelukan besok, di balik ketidaktahuan Anto dan Bu RT, dalam desa yang tak pernah curiga.
------------------------
Langkah Nisa hati-hati, memeknya menjepit erat untuk menahan sperma yang masih hangat di rahimnya, “Jangan sampe netes, Nisa,” gumamnya sendiri, wajahnya memerah, pikirannya penuh dengan ciuman panas dan genjotan Pak RT tadi, tapi juga waswas takut ketahuan Anto di rumah. Ia menunduk, berharap tak bertemu tetangga, tapi tiba-tiba sosok Bu RT muncul di ujung gang, membawa kantong plastik berisi bumbu dapur, matanya langsung tertuju pada Nisa, alisnya terangkat, “Nisa? Dari mana kok dari arah rumah saya?” tanyanya, nada suaranya ramah tapi ada rasa heran yang terselip.
Nisa tersentak, jantungnya berdegup kencang, wajahnya memucat, “Eh, Bu RT, saya… cuma lewat, Bu, mau ke warung tadi,” katanya tergagap, suaranya gugup, tangannya memegang ujung daster, berusaha tampak wajar, tapi langkahnya kikuk, memeknya menjepit lebih erat, takut sperma Pak RT menetes dan meninggalkan jejak di jalan. Bu RT mengangguk pelan, tapi matanya menjelajahi Nisa, memperhatikan daster yang sedikit kusut, wajah yang memerah, dan langkah yang aneh, “Oh, gitu, warung Mbok Sari ya? Kok nggak bawa apa-apa?” tanyanya lagi, senyumnya ramah, tapi bibit curiga mulai tumbuh di benaknya, tahu suaminya, Pak RT, laki-laki genit dan mesum yang tak bisa dipercaya dekat perempuan cantik seperti Nisa. Nisa menelan ludah, “Eh, iya, Bu, tadi cuma nanya-nanya, nggak jadi beli,” balasnya, suaranya semakin kacau, keringat dingin menetes di lehernya.
Bu RT mengangguk lagi, tapi tatapannya tak lepas dari Nisa, pikirannya mulai mengaitkan hal-hal, “Nisa ini polos, cantik, semok, suka bersolek, Pak RT pasti suka ngeliatin,” pikirnya, mengingat tatapan suaminya yang sering liar saat melihat Nisa di acara RT. “Ya udah, Nis, hati-hati jalannya, kok kayak susah gitu,” katanya, nadanya masih ramah, tapi ada nada menggoda, membuat Nisa semakin panik, “Iya, Bu, makasih, saya buru-buru, Anto nunggu di rumah,” katanya cepat, pamit dengan senyum dipaksakan, lalu berbalik, langkahnya makin kikuk, memeknya menjepit sperma dengan penuh usaha, takut tetesan kecil pun jatuh di jalan berdebu. Bu RT memandang punggung Nisa yang menjauh, alisnya mengerut, “Dari rumah saya? Apa bener cuma lewat?” gumamnya, curiganya mengendap, tapi belum cukup untuk bertanya lebih jauh, ia melanjutkan langkah ke rumah, kantong bumbu berderit di tangannya.
Nisa berjalan dengan napas tersengal, jantungnya masih berdegup kencang, “Ya Tuhan, hampir ketahuan Bu RT, untung nggak nanya banyak,” pikirnya, keringat membasahi dahinya, daster birunya menempel di kulitnya, lingerie renda di bawahnya terasa panas, peju Pak RT di memeknya seperti rahasia yang membakar. Langkahnya tetap kikuk, setiap langkah dihitung, memeknya menjepit erat, “Jangan netes, Nisa, sampe rumah dulu,” gumamnya lagi, wajahnya memerah, teringat ciuman panas Pak RT di kamar tadi, genjotan yang membuatnya squirting, dan peju yang kini ia simpan seperti trofi zina. Ia melirik ke belakang, memastikan Bu RT sudah tak terlihat, gang sepi, hanya suara ayam berkokok samar, tapi ketakutannya masih ada, tahu curiga Bu RT bisa berbahaya kalau sampai terbukti.
Rumah Nisa sudah terlihat di ujung gang, pintu depan masih tertutup, tanda Anto mungkin masih tidur pulas karena pusingnya tadi. Ia mempercepat langkah, meski tetap kikuk, memeknya menahan sperma dengan susah payah, “Mas Anto nggak boleh tahu, Nisa harus normal,” pikirnya, mencoba menenangkan diri, tapi kenikmatan tadi dengan Pak RT membuatnya tersenyum kecil, “Mas sayangku, pejumu masih di Nisa,” gumamnya, nafsunya bercampur rasa bersalah, lingerie renda basah menempel di kulitnya, daster biru menyembunyikan dosa yang ia bawa pulang. Ia membuka pintu pelan, bunyi “krek” kecil terdengar, masuk dengan hati-hati, napasnya lega saat mendengar dengkuran Anto dari kamar, “Aman, mas masih tidur,” pikirnya, tapi jantungnya masih berdegup, tahu pertemuan dengan Bu RT tadi bisa jadi masalah.
Nisa berjalan ke dapur, mengambil segelas air, tangannya sedikit gemetar, wajahnya masih memerah, “Bu RT curiga nggak ya? Dia tanya aneh tadi,” pikirnya, meneguk air cepat, berusaha menenangkan diri, tapi peju Pak RT di memeknya terasa seperti pengingat zina yang nikmat, memeknya berkedut, rindu genjotan tadi. Ia melirik ke kamar, dengkuran Anto masih teratur, “Mas nggak bakal curiga, nggak mungkin tahu,” gumamnya, meyakinkan diri, tapi bayang-bayang tatapan Bu RT membuatnya waswas, tahu sifat genit Pak RT bukan rahasia di desa, dan tubuhnya yang semok sering jadi perhatian. Nisa menghela napas, “Besok harus hati-hati, nggak boleh ketemu Bu RT lagi,” pikirnya, tapi hasratnya pada Pak RT tak padam, malah membayangkan ciuman berikutnya, peju yang akan kembali membanjiri memeknya.
Di rumah Pak RT, pria itu tak tahu Nisa berpapasan dengan istrinya, ia masih di kamar, memeriksa sprei putih yang baru dipasang, menyemprotkan parfum untuk menyamarkan bau peju dan keringat, “Aman, Bu RT nggak bakal curiga,” pikirnya, tersenyum licik, teringat memek Nisa yang menjepit kontolnya tadi. Desa tetap hening, gang-gang sepi, tak ada yang tahu bibit curiga yang mulai tumbuh di benak Bu RT, dipicu oleh pertemuan tak sengaja dengan Nisa yang polos, cantik, dan semok, tapi kini menyimpan peju suaminya di rahimnya. Nisa, di dapur rumahnya, memegang gelas kosong, wajahnya campur lega dan waswas, langkah kikuknya tadi masih terbayang, sperma Pak RT masih di memeknya, tanda zina yang ia bawa pulang, rahasia yang kini terancam oleh tatapan heran Bu RT, tapi hasratnya untuk kembali ke pelukan Pak RT tetap membara, menanti momen berikutnya di balik ketidaktahuan Anto dan kecurigaan yang mulai muncul di hati Bu RT.
538Please respect copyright.PENANAG1Il8zG2tG
538Please respect copyright.PENANAdzdhrxqARR
TO BE CONTINUED
538Please respect copyright.PENANA54dMlSMbcG
538Please respect copyright.PENANARpw4C1La3X
538Please respect copyright.PENANACYml8xkZyi
538Please respect copyright.PENANAfT7Bjgs7xP
538Please respect copyright.PENANAoGVOy9S150
538Please respect copyright.PENANATLd6neeAAc
538Please respect copyright.PENANAJDYQR55MQG