
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
3030Please respect copyright.PENANAjClGCGDQcO
3030Please respect copyright.PENANAxO5c6l5gU5
3030Please respect copyright.PENANAkHDn4x8E78
------------------------
Chapter 8: Bukan di kasur, di sofa3030Please respect copyright.PENANASkD2k6hWYL
Cahaya pagi yang cerah membanjiri ruang tamu kecil Nisa, sinar matahari menyelinap melalui jendela, menerangi sofa kayu tempat Pak RT duduk dengan senyum penuh nafsu, pukul 09:30 di desa yang masih sepi. Nisa berdiri di depannya, lingerie renda merahnya memamerkan lekuk tubuh sintal, membuat Pak RT tak bisa menahan diri. “Nisa sayang, ayo ke kamar, kita mulai latihan ngentot, biar suamimu ini ajarin yang lebih nikmat,” rayunya dengan suara serak, tangannya meraih pinggul Nisa, jari-jarinya mengelus renda jaring, matanya berkilat penuh hasrat. Nisa tertawa genit, menggeleng pelan, “Ih, mas sayang, di sofa sini aja, lebih seru, kayak suami istri yang lagi mesra di ruang tamu,” katanya manja, lalu dengan sigap duduk di pangkuan Pak RT, kakinya mengangkang, payudaranya menempel di dada pria itu, aroma parfumnya memenuhi udara.
Pak RT, yang sudah melepas kausnya, kini hanya mengenakan celana dalam hitam, otot dadanya yang berbulu terasa hangat saat bersentuhan dengan tubuh Nisa. “Sayangku, kamu nakal banget, sofa gini bikin mas tambah gila,” katanya, tangannya merangkul pinggang Nisa, menariknya erat hingga memeknya yang terbalut renda bergesek dengan kontolnya yang mulai tegang. Nisa tersenyum, “Mas sayang, Nisa pengen mesra kayak gini, kayak istri beneran,” desahnya, lalu menunduk, melumat bibir Pak RT dengan ciuman lembut yang cepat berubah intens, bunyi “smeck… slurpp” menggema, lidah mereka saling menari, ludah bercampur, seolah mereka pasangan suami istri sah yang tenggelam dalam gairah pagi. Tangannya mengelus leher Pak RT, jari-jarinya mencengkeram rambut, menambah kedalaman ciuman itu.
Ciuman mereka semakin buas, Nisa menggigit bibir bawah Pak RT, lalu menjilatnya dengan lidah, bunyi “slik” pelan bercampur desahan, “Mas… Nisa kangen ciuman mas, bikin Nisa lumer,” katanya di sela ciuman, matanya penuh nafsu, payudaranya bergesek di dada Pak RT, renda jaring memperkuat sensasi. Pak RT mendesah, “Istriku manis, bibirmu ini bikin suamimu nggak bisa mikir, pengen ngentot kamu sekarang,” balasnya, tangannya turun, meremas bokong Nisa, lalu menyelip ke celana dalam renda, menyentuh memek yang sudah basah, membuat Nisa menggeliat, “Mmh… mas sayang, ajarin Nisa di sofa ini, genjot yang kenceng ya,” katanya genit, ciumannya beralih ke leher Pak RT, meninggalkan jejak basah.
Mereka seperti pasangan yang telah menikah bertahun-tahun, ciuman dan sentuhan mereka penuh keakraban mesum, sofa kayu itu berderit pelan di bawah gerakan mereka. Nisa menggesek memeknya ke kontol Pak RT yang kini keras di balik celana dalam, bunyi “sret” dari renda bercampur napas mereka yang memburu, “Mas, Nisa pengen ngerasa mas dalam-dalam, kayak kemarin,” desahnya, tangannya menarik pinggang Pak RT, mendorongnya untuk bergerak bersamanya. Pak RT melumat bibir Nisa lagi, lidahnya menyapu ludah wanita itu, “Sayangku, sofa ini bakal jadi saksi betapa nikmatnya istriku dientot,” katanya serak, tangannya mencubit puting Nisa melalui renda, membuatnya mendesah keras, “Ahh… mas, sekarang, Nisa mau mas sekarang!” Ciuman mereka tak berhenti, intensitasnya seperti badai, menandakan “latihan” ngentot di sofa akan segera dimulai.
Pagi yang cerah di luar kontras dengan dosa yang memenuhi ruang tamu, sinar matahari menerangi lingerie merah Nisa, membuatnya tampak seperti dewi yang menyerahkan diri pada Pak RT. Mereka terus berciuman, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… plop” bercampur desahan, tangan Nisa mengelus kontol Pak RT melalui celana dalam, sementara tangan pria itu menjelajahi memeknya, cairan kenikmatan sudah membasahi renda. “Mas sayang, Nisa cuma milik mas, ngentot Nisa tiap hari ya,” kata Nisa manja, ciumannya penuh rindu, seolah Anto tak pernah ada. Pak RT tersenyum, “Istriku, mas bakal genjot kamu sampe nggak bisa jalan,” janjinya, sofa itu berderit lebih keras, siap menjadi panggung zina mereka, sementara desa di luar tetap hening, tak tahu rahasia kotor yang terjadi di rumah kecil Nisa.
-----------------------
Nisa, mengenakan lingerie renda merah yang tembus pandang, duduk di pangkuan Pak RT, payudaranya yang semok menempel pada dada pria itu yang hanya memakai celana dalam hitam, ciuman mereka liar, bunyi “slurpp… smeck” memenuhi ruangan, lidah mereka beradu, ludah bercampur. Di sela ciuman, Pak RT menarik wajahnya, napasnya memburu, “Sayangku, latihan apa yang Nisa mau hari ini? Suamimu siap kasih yang terbaik,” rayunya dengan suara serak, tangannya mengelus paha Nisa, merasakan renda halus. Nisa menggigit bibir, matanya penuh nafsu, “Mas sayang, Nisa pengen gaya duduk, biar Nisa ngerasa mas deket banget,” katanya genit, lalu menjilat sudut bibir Pak RT, bunyi “slik” pelan menambah panas suasana.
Pak RT tersenyum lebar, “Gaya duduk? Pilihan istriku cerdas, itu intim banget, kontol mas bisa mentok ke rahim kamu, sayang,” katanya mesum, tangannya mencengkeram pinggul Nisa, menariknya lebih erat hingga memeknya bergesek dengan kontolnya yang keras di balik celana dalam. Nisa mendesah, “Mmh… mas, Nisa suka kalau intim gitu, ajarin Nisa ya,” katanya manja, tangannya menyelip ke celana dalam Pak RT, menariknya turun, membebaskan kontol yang tegang dan berurat. Tanpa melepas lingerie merahnya, Nisa menggeser celana dalam renda ke samping, memasukkan kontol Pak RT ke memeknya yang sudah basah, masih di pangkuan pria itu, bunyi “slik” lembut terdengar saat kontol masuk, membuat keduanya mendesah serentak, “Ahh… mas sayang…” desah Nisa, tubuhnya menggeliat, merasakan kenikmatan yang langsung menjalar.
Nisa mulai menggerakkan pinggulnya, naik-turun pelan, kontol Pak RT terbenam dalam, setiap dorongan membuatnya merasa penuh, rahimnya seperti disentuh, sensasi yang membuatnya lupa segalanya. “Mas… enak banget, Nisa suka gini sama mas sayang,” katanya, suaranya penuh kenikmatan, tangannya merangkul leher Pak RT, menariknya untuk ciuman lagi, bibir mereka bertemu dengan bunyi “smeck… slurpp,” lidah mereka saling menyapu, ciuman itu penuh hasrat, seolah mereka suami istri yang sah. Pikiran Nisa sudah bukan tentang “latihan” untuk memuaskan Anto, suaminya, melainkan kebutuhannya sendiri—belaian hangat, kasih sayang mesum, dan genjotan laki-laki yang membuatnya merasa diinginkan, sesuatu yang Pak RT berikan dengan penuh, tak seperti Anto yang dingin dan lelah.
Pak RT memegang pinggul Nisa, membantunya bergerak, setiap dorongan membuat kontolnya mentok lebih dalam, bunyi “plap… slik” dari memek Nisa yang basah mengiringi ritme mereka, sofa kayu berderit pelan. “Sayangku, memekmu ini bikin suamimu gila, genjot gini tiap hari ya,” katanya serak, lalu menjilat leher Nisa, bunyi “slik” basah membuat wanita itu mendesah, “Mas… Nisa cuma pengen genjotan mas, kasih Nisa yang banyak,” balasnya, pinggulnya bergerak lebih cepat, payudaranya bergoyang di balik renda, putingnya terlihat mengeras, menggoda Pak RT yang meremasnya, “Nisa, kamu istriku yang paling manis, mas bakal kasih lendir kenikmatan sampe puas,” janjinya, ciumannya kembali buas, lidah mereka bertarung, intensitasnya seperti badai.
Ruang tamu kecil itu menjadi saksi zina yang kian brutal, sinar matahari pagi menerangi lingerie merah Nisa, membuat tubuhnya tampak seperti dewi dalam dosa, memeknya menelan kontol Pak RT dengan rakus, bunyi “plap… plap” bercampur desahan mereka, “Ahh… mas sayang, Nisa mau terus sama mas,” desah Nisa, pikirannya penuh dengan kebutuhan akan perhatian dan kenikmatan yang Anto tak pernah penuhi. Pak RT memeluknya erat, “Istriku, mas nggak akan ninggalin kamu, kita ngentot gini selamanya,” katanya, tangannya mencengkeram bokong Nisa, mendorongnya lebih keras, sofa berderit keras, menandakan puncak “latihan” yang tak lagi tentang Anto, melainkan tentang Nisa yang menyerahkan diri pada nafsu dan kasih sayang dari Pak RT.
------------------------------
Pagi yang cerah memenuhi ruang tamu kecil Nisa, sinar matahari menerobos jendela, menerangi sofa kayu yang berderit di bawah gerakan liar Nisa dan Pak RT, pukul 10:00 di desa yang masih hening. Nisa, dalam lingerie renda merah yang tembus pandang, duduk di pangkuan Pak RT dalam posisi ngentot gaya duduk, memeknya menelan kontol pria itu yang mentok ke rahim, bunyi “plap… slik” dari cairan kenikmatan mengiringi ritme mereka. Ciuman mereka buas, lidah saling melilit, bunyi “slurpp… smeck” bercampur desahan, tangan Nisa mencengkeram pundak Pak RT, sementara pria itu, hanya mengenakan celana dalam yang sudah melorot, mendorong pinggulnya dengan penuh tenaga. Di tengah ngentot yang semakin liar, Pak RT menarik wajahnya, napasnya tersengal, “Nisa sayang, angkat tanganmu, taruh di belakang kepala, biar suamimu nikmatin kamu lebih dalam,” katanya serak, matanya penuh nafsu menatap payudara Nisa yang bergoyang.
Nisa, tanpa banyak tanya, menuruti perintah dengan senyum genit, “Iya, mas sayang,” desahnya, mengangkat kedua tangannya, jari-jarinya saling mengait di belakang kepala, posisi itu membuat payudaranya yang semok, menyerupai pepaya matang, terangkat dan semakin menonjol di balik renda merah. Pak RT mendesah kagum, “Ya Tuhan, sayang, kamu sempurna banget,” katanya, tangannya langsung meraih kedua payudara itu, meremas dengan penuh nafsu, jari-jarinya memainkan puting yang mengeras, memelintir pelan hingga Nisa menggeliat, “Ahh… mas, enak…” desahnya, pinggulnya terus bergerak, memeknya menggenggam kontol Pak RT lebih erat, bunyi “plap… plap” semakin keras. Sofa berderit, sinar matahari pagi menerangi kulit Nisa yang berkilau keringat, membuatnya tampak seperti dewi dalam dosa.
Pak RT terus memainkan payudara Nisa, jari-jarinya menari di puting, sesekali mencubit hingga wanita itu mendesah lebih lantang, “Nisa pintar ya, kamu wanita yang penurut, istri idaman suamimu ini,” pujinya dengan suara mesum, senyum licik menghiasi wajahnya, kontolnya menyodok lebih dalam, merasakan rahim Nisa yang hangat. Nisa tersenyum, wajahnya memerah karena pujian, “Mas sayang, Nisa cuma pengen bikin mas senang,” katanya manja, matanya berkilat, posisi tangannya tetap di belakang kepala, menambah kesan patuh yang membuat Pak RT semakin bergairah. “Mas juga gagah banget, Nisa suka banget lihat mas kayak gini,” balasnya, suaranya penuh kekaguman, tangannya ingin meraih Pak RT tapi ia menahan diri, menikmati permainan ini, memeknya terus menggoyang kontol dengan ritme liar.
Pak RT tertawa serak, “Gagah, ya? Memang Anto, suami sah kamu, nggak gagah, sayang?” tanyanya dengan nada menggoda, tangannya masih memelintir puting Nisa, matanya menuntut jawaban, ingin mendengar kemenangannya atas Anto. Nisa, tanpa ragu, menjawab dengan nada genit, “Dia culun, mas, nggak gagah, gampang keluar baru digoyang berapa kali, beda sama mas sayang yang kuat, kekar, perkasa, Nisa lumer tiap sama mas,” katanya, suaranya penuh hasrat, pinggulnya menggoyang lebih keras, memeknya seperti menghisap kontol Pak RT, bunyi “slik… plap” semakin basah. Pak RT tersenyum puas, “Itu baru istriku, Nisa, kamu cuma buat suamimu ini,” katanya, lalu menarik wajah Nisa, melumat bibirnya dengan ciuman buas, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… plop” mengisi ruang tamu.
Ciuman mereka intens, Nisa masih dengan tangan di belakang kepala, payudaranya dimainkan Pak RT tanpa henti, putingnya merah karena cubitan, namun ia menikmati setiap detik, “Mmh… mas sayang, cium Nisa terus, Nisa cuma punya mas,” desahnya di sela ciuman, lidahnya menjilat bibir Pak RT, ludah bercampur, matanya penuhakan. Pak RT membalas, “Sayangku, bibirmu bikin mas gila, ngentot gini tiap pagi ya,” katanya, kontolnya menyodok lebih cepat, mentok ke rahim Nisa, membuat wanita itu melengkung, “Ahh… mas, genjot kenceng, Nisa mau ngerasa mas sayang!” desahnya, ciumannya semakin rakus, seperti ingin menelan Pak RT. Sofa berderit keras, lingerie renda merah berkilau di bawah sinar matahari, menambah kesan mesum dari zina mereka.
Nisa tenggelam dalam kenikmatan, pujian Pak RT dan genjotan yang kuat membuatnya merasa diinginkan, sesuatu yang Anto tak pernah berikan, pikirannya hanya tentang nafsu dan kasih sayang palsu dari pria ini. “Mas sayang, Nisa suka banget kalau mas puji gitu, ajarin Nisa terus ya,” katanya, suaranya manja, ciumannya beralih ke leher Pak RT, jilatannya meninggalkan jejak basah, bunyi “slik” bercampur desahan. Pak RT meremas payudara Nisa lebih keras, “Istriku penurut, mas bakal genjot kamu sampe puas, lendir kita banjir lagi,” katanya, kontolnya terus menyodok, bunyi “plap… plap” semakin brutal, menandakan puncak ngentot yang kian dekat, sofa nyaris ambruk di bawah mereka, namun mereka tak peduli, tenggelam dalam dosa yang terasa seperti cinta.
Pagi yang cerah di luar tak peduli dengan zina di ruang tamu, sinar matahari menerangi tubuh Nisa yang berkeringat, lingerie merahnya basah oleh cairan kenikmatan, payudaranya masih dimainkan, putingnya merah karena pelintiran Pak RT. “Mas sayang, Nisa cuma milik mas, genjot Nisa selamanya,” desah Nisa, ciumannya kembali ke bibir Pak RT, lidah mereka saling menyapu, bunyi “slurpp” bercampur napas yang memburu, tangannya tetap di belakang kepala, menunjukkan ketaatannya. Pak RT memeluknya erat, “Nisa, kamu istriku sejati, mas bakal kasih semua yang kamu mau,” katanya, kontolnya menyodok lebih dalam, sofa berderit keras, menandakan zina mereka semakin liar, sementara Anto, di tempat kerjanya, tak tahu bahwa istrinya telah menyerahkan tubuh dan hatinya pada Pak RT, memuji pria itu sebagai laki-laki gagah yang menggantikan culunnya suami sahnya.
-------------------------------
Nisa, mengenakan lingerie renda merah yang tembus pandang, tetap duduk di pangkuan Pak RT dalam posisi ngentot gaya duduk, memeknya menelan kontol pria itu yang mentok ke rahim, bunyi “slik… plap” dari cairan kenikmatan mengisi udara. Pak RT, kini hanya memakai celana dalam yang melorot, tak lagi aktif menggenjot, napasnya tersengal, membiarkan Nisa mengambil alih. Memek Nisa aktif menjepit dan melepas kontolnya yang kekar dan berurat, jauh lebih besar dari milik Anto, suami sahnya, sensasi itu membuat Pak RT mendesah keras, “Mmh… sayang…” Kenikmatan haram ini terasa indah baginya, seperti menikmati buah terlarang yang begitu memabukkan, tangannya mencengkeram pinggul Nisa, menikmati setiap jepitan.
Nisa, dengan tangan masih terangkat dan terjalin di belakang kepala, membuat payudaranya yang semok terlihat lebih menonjol, renda merah berkilau di bawah sinar matahari, tubuhnya berkeringat, menambah kesan binal yang memikat. Ia menggerakkan pinggulnya dengan ritme teratur, memeknya menjepit kontol Pak RT erat, lalu melepas perlahan, menciptakan sensasi yang membuat pria itu menggeliat, “Ya Tuhan, Nisa, kamu…” desahnya, tak mampu menyelesaikan kalimat. Nisa tersenyum genit, matanya penuh godaan, lalu berbisik manja, “Mas sayang, Nisa cantik nggak kalau kayak gini?” Suaranya lembut namun mesum, memeknya terus menjepit kontol yang tegang, lebih kuat dari milik Anto, sensasi itu membuatnya bangga, seperti wanita yang menguasai permainan zina ini, payudaranya bergoyang mengikuti gerakan pinggulnya.
Pak RT, terengah-engah karena kenikmatan yang luar biasa, menatap Nisa dengan mata penuh kagum, wajahnya memerah, keringat menetes di dahinya, “Kamu cantik banget, sayang, selain cantik… nakal juga ya,” katanya serak, tangannya meraih payudara Nisa, meremas lembut melalui renda, jari-jarinya memainkan puting yang mengeras, membuat Nisa mendesah, “Mmh… mas…” Sensasi memek Nisa yang menjepit dan melepas kontolnya terasa seperti siksaan nikmat, jauh lebih indah dari apa yang pernah ia rasakan, zina ini seperti karya seni yang mereka ciptakan bersama di sofa. Nisa tertawa kecil, “Cuma cantik sama nakal, mas sayang? Apa lagi Nisa buat mas?” tanyanya genit, memeknya menjepit lebih erat, sengaja, pinggulnya bergerak lebih lambat untuk memancing jawaban, sofa berderit pelan.
Pak RT, nyaris tak kuat menahan kenikmatan, napasnya semakin memburu, kontolnya terasa seperti disedot oleh memek Nisa yang binal, “Kamu… binal banget, Nisa, ya Tuhan, istriku ini bikin gila!” katanya terengah, tangannya mencengkeram pinggul Nisa lebih keras, mencoba menahan diri agar tak langsung. Mendengar pujian itu, Nisa seperti tersulut, wajahnya berseri, “Mas sayang, Nisa suka kalau dipuji gitu, makanya Nisa genjernya kenceng!” katanya, lalu menggenjot memeknya dengan keras, pinggulnya naik-turun brutal, memeknya menjepit kontol Pak RT seperti kunci, bunyi “plap… plap” menjadi lebih cepat, cairan kenikmatan membasahi pangkuan pria itu, sofa nyaris ambruk di bawah tekanan. Payudaranya bergoyang liar, tangannya tetap di belakang kepala, menunjukkan ketaatan yang membuat Pak RT semakin tergila-gila.
Nisa tenggelam dalam kenikmatan, pujian Pak RT—“cantik, nakal, binal”—membuatnya merasa diinginkan, sesuatu yang Anto tak pernah berikan, zina ini bukan lagi tentang latihan, melainkan kebutuhan pribadinya akan perhatian dan kenikmatan. “Mas sayang, Nisa cuma pengen bikin mas bahagia, genjot Nisa terus ya,” desahnya, suaranya manja, lalu menunduk, melumat bibir Pak RT dengan ciuman buas, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… smeck” bercampur napas yang memburu, ludah mereka bercampur, ciuman itu penuh hasrat. Memeknya terus menjepit dan melepas kontol dengan ritme yang semakin liar, sensasi itu membuat Pak RT mendesah di sela ciuman, “Sayangku, kamu bikin suamimu nggak kuat, memekmu ini… aduh, nikmat banget,” katanya, tangannya kembali meremas payudara Nisa, putingnya dipelintir pelan, menambah desahan wanita itu.
Ciuman mereka tak berhenti, Nisa seperti ingin menelan Pak RT, lidahnya menyapu ludah pria itu, tangannya tetap di belakang kepala, payudaranya bergesek di dada pria itu, renda merah basah oleh keringat dan cairan kenikmatan. “Mas sayang, Nisa binal cuma buat mas, genjot Nisa sampe puas,” katanya di sela ciuman, pinggulnya menggenjot lebih keras, memeknya menjepit kontol dengan penuh tenaga, bunyi “plap… slik” semakin basah, sofa berderit keras, menandakan zina yang kian brutal. Pak RT, terengah-engah, memeluk Nisa erat, “Nisa, istriku binal, mas bakal kasih lendir kenikmatan yang banyak buat kamu,” katanya, kontolnya terasa seperti akan meledak di dalam memek Nisa, kenikmatan haram ini terlalu indah untuk ditolak, mereka seperti pasangan yang terikat oleh dosa, lupa pada dunia di luar.
--------------------------------------
Nisa, dalam lingerie renda merah yang basah oleh keringat, duduk di pangkuan Pak RT, memeknya menjepit erat kontol pria itu dalam posisi ngentot gaya duduk, bunyi “plap… slik” dari cairan kenikmatan mengiringi ritme brutal mereka. Pak RT, dengan celana dalam melorot, napasnya tersengal, tiba-tiba memperlambat gerakan, lalu dengan hati-hati melepas kontolnya dari jepitan memek Nisa yang hangat dan basah, cairan kenikmatan menetes di pangkuannya. “Sayangku manisku, aku haus,” katanya serak, wajahnya memerah, keringat menetes di dahinya, tangannya masih mencengkeram pinggul Nisa, matanya penuh nafsu namun lelah.
Nisa, dengan tangan masih terjalin di belakang kepala, payudaranya yang semok bergoyang di balik renda, tersenyum genit, matanya berkilat penuh hasrat, “Iya, mas sayang, tapi sebelum minum, kita crot dulu yuk,” katanya manja, suaranya penuh godaan, tak ingin momen itu terhenti. Tanpa menunggu jawaban, ia meraih kontol Pak RT yang licin dan masih tegang, memasukkannya kembali ke memeknya dengan gerakan cepat, bunyi “slik” lembut terdengar saat kontol masuk, membuat keduanya mendesah serentak, “Mmh… mas…” Nisa langsung menggenjot pinggulnya lagi, memeknya menjepit erat kontol yang kekar dan berurat, lebih perkasa dari milik Anto, suaminya, sensasi itu seperti api yang membakar kebutuhannya akan kenikmatan laki-laki selain suami.
Genjotan Nisa semakin liar, memeknya menjepit dan melepas kontol Pak RT dengan ritme yang brutal, bunyi “plap… plap” bercampur cairan kenikmatan yang membasahi sofa, payudaranya bergoyang, renda merah berkilau di bawah sinar matahari. “Mas sayang, Nisa pengen ngerasa mas crot di dalem, kasih Nisa lendir mas,” desahnya, suaranya penuh nafsu, tangannya tetap di belakang kepala, menambah kesan binal yang membuat Pak RT tak kuat menahan. “Sayangku, kamu… aduh, memekmu ini bikin gila,” balas Pak RT, napasnya memburu, tangannya meremas payudara Nisa, mencubit puting melalui renda, sofa berderit keras, menandakan puncak yang kian dekat. Nisa terus menggenjot, memeknya seperti menghisap kontol, mengejar kenikmatan yang kini menjadi kebutuhan pribadinya, bukan lagi untuk Anto.
Tiba-tiba, Pak RT menegang, kontolnya berdenyut kuat di dalam memek Nisa, “Ya Allah, nikmatnya!” teriaknya, lalu crot, splurt, splurt, peju amis, bau, putih, dan kental menyemprot deras ke dalam memek Nisa, membanjir hingga terasa hangat di rahimnya, bunyi “splat” pelan dari cairan itu mengisi ruangan. Nisa mendesah keras, “Ahh… mas sayang, pejumu…” katanya, tapi ia tak berhenti menggenjot, pinggulnya terus bergerak, memeknya menjepit kontol yang masih menyemprot, memeras setiap tetes peju. Sensasi peju hangat itu mendorongnya ke puncak, lubang memeknya berkedut-kedut hebat, lalu ia ejakulasi, menyemprotkan squirting lendir kenikmatan yang deras, membasahi pangkuan Pak RT dan sofa, bunyi “splosh” mengiringi cairan yang berceceran, tanda kebahagiaan sebagai wanita yang ia dapatkan dari laki-laki selain suami.
Nisa terengah-engah, tubuhnya lemas, keringat membanjiri dahi dan lehernya, lingerie renda merah basah oleh cairan kenikmatan, payudaranya naik-turun mengikuti napasnya yang memburu. “Mas sayang… Nisa puas banget…” desahnya, tangannya akhirnya turun, memeluk leher Pak RT, wajahnya bersemu, matanya penuh kepuasan. Pak RT, juga lelah, memeluk Nisa erat, “Sayangku, kamu bikin suamimu nggak bisa mikir, nikmatnya nggak ketulungan,” katanya, ciumannya mendarat di pipi Nisa dengan bunyi “smeck” lembut, tangannya mengelus punggung wanita itu, merasakan renda yang basah. Sofa dipenuhi bercak cairan, bukti zina yang brutal, namun mereka tak peduli, tenggelam dalam kenikmatan haram yang terasa seperti cinta.
Nisa masih di pangkuan Pak RT, memeknya perlahan melepas kontol yang kini lemas, peju dan lendir kenikmatan menetes di paha mereka, aroma amis memenuhi ruang tamu. “Mas sayang, Nisa cuma pengen gini sama mas, tiap hari,” katanya manja, ciumannya beralih ke bibir Pak RT, lidah mereka bertemu lagi, bunyi “slurpp” pelan mengakhiri momen panas itu, meski penuh kelembutan. Pak RT tersenyum, “Istriku binal, mas janji kasih gini tiap pagi, asal kamu penurut sama suamimu ini,” katanya, tangannya mencubit pinggul Nisa, membuat wanita itu tertawa kecil, “Iya, mas, Nisa cuma buat mas sayang,” balasnya, matanya penuh janji mesum. Sinar matahari pagi terus menyinari mereka, lingerie merah berkilau, menandakan dosa yang kian dalam, sofa menjadi saksi bisu kebahagiaan Nisa yang ditemukan dalam pelukan Pak RT.
Ruang tamu kecil itu kini dipenuhi aroma peju dan lendir kenikmatan, sofa basah, namun Nisa dan Pak RT tetap berpelukan, seperti pasangan yang tak ingin berpisah, lupa pada dunia di luar. “Mas sayang, Nisa bahagia banget sama mas, Anto nggak pernah gini,” desah Nisa, suaranya penuh kepuasan, ciumannya kembali mendarat di leher Pak RT, bunyi “slik” lembut mengiringi jilatannya. Pak RT memeluknya lebih erat, “Nisa, kamu istriku sejati, mas bakal kasih semua yang kamu butuhin,” katanya, janjinya penuh manipulasi, namun Nisa tak peduli, kebutuhannya akan belaian dan genjotan laki-laki telah terpenuhi. Pagi berlalu, desa tetap hening, tak tahu bahwa Nisa telah menyerahkan tubuh dan hatinya pada Pak RT, menemukan kebahagiaan wanita dalam zina yang brutal
--------------------------------------
Nisa, masih mengenakan lingerie renda merah yang basah keringat dan lendir, duduk di pangkuan Pak RT, napasnya tersengal setelah orgasme hebat, memeknya perlahan melepas kontol pria itu dari genggaman kenikmatan haram, bunyi “slik” pelan terdengar saat kontol yang licin keluar, peju kental dan amis menetes dari lubang memeknya. Ia menunduk, mencipoki bibir Pak RT dengan penuh kelembutan, laki-laki yang beberapa hari lalu ia anggap menjijikkan kini terasa seperti kekasih, “Mas sayang haus ya? Nisa ambil air dulu ya,” katanya manja, lalu menciumnya sekali lagi, bunyi “smeck” lembut mengakhiri ciuman, wajahnya bersemu, penuh kepuasan. Pak RT tersenyum, “Iya, sayangku, cepet ya,” balasnya serak, tangannya mengelus paha Nisa.
Nisa bangkit dari pangkuan Pak RT, lingerie renda merahnya menempel di kulitnya yang berkilau, langkahnya pelan menuju dapur, namun setiap langkah meninggalkan tetesan peju kental dan amis dari memeknya, cairan putih itu jatuh ke lantai kayu dengan bunyi “plip” kecil, meninggalkan jejak mengilap. Pak RT, masih duduk di sofa, tertawa kecil, “Nisa sayang, pejunya netes tuh, nanti kamu kepeleset,” katanya dengan nada menggoda, matanya mengikuti setiap gerakan Nisa, menikmati pemandangan lingerie yang memperlihatkan bokong bulatnya. Nisa menoleh, wajahnya memerah, “Wah, maaf mas, nanti Nisa bersihin, hihi,” katanya genit, tertawa kecil, lalu melanjutkan langkah, tetesan peju terus jatuh, aroma amis samar memenuhi ruang tamu, bukti zina brutal yang baru saja mereka nikmati.
Di dapur, Nisa mengambil segelas air dingin dari teko plastik, tangannya sedikit gemetar karena kelelahan, pikirannya dipenuhi kenikmatan yang ia rasakan bersama Pak RT, kontras dengan Anto yang tak pernah membuatnya merasa begitu hidup. Ia kembali ke ruang tamu, lingerie renda merahnya bergoyang mengikuti langkah, tetesan peju masih menetes di lantai, jejaknya kini lebih jelas di bawah sinar matahari. “Ini airnya, mas sayang,” katanya lembut, menyerahkan gelas pada Pak RT yang menerimanya dengan senyum, “Makasih, istriku manis,” balasnya, meneguk air dengan cepat, matanya tak lepas dari tubuh Nisa. Tiba-tiba, Nisa berjongkok, matanya tertuju pada tetesan peju di lantai, lalu dengan binal ia menyeruput setiap tetes dengan bibirnya, bunyi “slik… slurpp” pelan terdengar, wajahnya penuh konsentrasi, seperti menikmati sesuatu yang berharga.
Pak RT, yang sedang minum, terkejut, hampir tersedak, “Nisa, itu kan kotor, sayang, ngapain diseruput?” tanyanya heran, alisnya terangkat, namun matanya tak bisa berpaling dari pemandangan Nisa yang nungging, lingerie renda memperlihatkan lubang memeknya yang masih lumer, meneteskan peju amis, dan lubang anusnya yang cokelat, menggoda di bawah sinar pagi. Nisa, di sela seruputan, menoleh dengan senyum nakal, “Ini kan peju suamiku sayang, harus Nisa minum, enak loh, mas,” katanya genit, lalu kembali menyeruput tetesan peju, lidahnya menyapu lantai dengan bunyi “slik,” posisi nunggingnya sengaja dipertahankan, memamerkan memek dan anusnya, cairan kental itu terasa hangat di lidahnya, tanda kebahagiaan mesum yang ia temukan dari Pak RT, bukan Anto.
Pak RT, terpana oleh aksi binal Nisa, mendesah, “Nisa sayang, lubang pantat kamu indah ya, kayak bunga merekah,” katanya mesum, matanya terkunci pada anus cokelat Nisa yang terlihat menggoda, tangannya menggenggam gelas kosong, napasnya memburu. Nisa kaget, wajahnya memerah, buru-buru menutup lubang anusnya dengan tangan, “Ih, mas, nakal banget, nggak boleh ngomong gitu!” katanya dengan nada malu-malu, tertawa kecil, tapi ia tak benar-benar marah, malah merasa tersanjung oleh pujian mesum itu. Ia kembali menyeruput sisa peju di lantai, bunyi “slurpp” terdengar jelas, posisi nunggingnya masih menggoda, memeknya meneteskan peju yang bercampur lendir kenikmatan, lingerie renda merah basah total, menempel di kulitnya seperti kulit kedua, sinar matahari pagi membuatnya tampak seperti dewi dalam dosa.
Nisa akhirnya selesai membersihkan tetesan peju, lidahnya menjilat bibir, menikmati sisa rasa amis yang kini terasa seperti trofi zina mereka, lalu ia bangkit, duduk di samping Pak RT di sofa, kakinya menyentuh paha pria itu. “Mas sayang, Nisa bersihkan semua biar nggak licin, hihi,” katanya genit, tangannya mengelus lengan Pak RT, wajahnya penuh kepuasan, aroma peju masih samar di udara. Pak RT memeluk pinggang Nisa, “Sayangku, kamu binalnya nggak ada duanya, suamimu ini nggak bakal lupa pagi ini,” katanya, ciumannya mendarat di pipi Nisa dengan bunyi “smeck,” matanya penuh kagum pada wanita yang kini menyerahkan segalanya untuknya. Nisa tersenyum, “Mas sayang, Nisa cuma pengen bikin mas bahagia, besok lagi ya,” katanya manja, bersandar di dada Pak RT, lupa pada Anto yang tak tahu rumahnya telah menjadi panggung zina brutal.
Pagi berlalu, ruang tamu dipenuhi aroma peju dan keringat, sofa basah oleh cairan kenikmatan, lingerie renda merah Nisa berkilau di bawah sinar matahari, tanda dosa yang kian dalam. Nisa dan Pak RT berpelukan di sofa, seperti pasangan yang tak ingin berpisah, ciuman sesekali mendarat, bunyi “smeck” lembut mengisi keheningan, tetesan peju di lantai kini hilang, diseruput Nisa dengan penuh nafsu. “Mas sayang, Nisa suka banget gini sama mas, Anto nggak pernah bikin Nisa begini,” katanya, suaranya penuh rindu, tangannya mengelus dada Pak RT. Pria itu tersenyum licik, “Istriku, mas bakal kasih kamu semua yang kamu mau, tiap pagi gini ya,” katanya, janjinya penuh manipulasi, sementara desa di luar tetap hening, tak menyadari bahwa Nisa telah menemukan kebahagiaan mesum dalam pelukan Pak RT, meninggalkan kesetiaan pada Anto di lantai yang kini bersih dari peju, tapi penuh noda zina di hatinya.
3030Please respect copyright.PENANAMxZ7AWHkz2
TO BE CONTINUED
3030Please respect copyright.PENANAxfU9QAmqym
3030Please respect copyright.PENANAPUVuCYScaO
3030Please respect copyright.PENANAspV44sdsZd
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
3030Please respect copyright.PENANA4BvEqI6Inx