"tunggu sekejap, nak minum air" kata Lyana
Selang beberapa ketika Lyana masuk kedalam bilik bersama Uncle Narden. Uncle menunduk, mengucup dahi Lyana yang sudah terbaring lemah tapi menggelisah. Tangannya membelai perlahan sisi wajahnya, turun ke leher, lalu mengusap perlahan perut rata gadis itu. Jari-jarinya bermain di kulit licin, seperti membaca jalan menuju ke dalam jiwa.
"Sayang… kau cantik sangat malam ni," bisiknya.
Lyana hanya angguk perlahan, sambil menarik nafas dalam. Matanya kabur oleh perasaan yang makin menebal. Setiap sentuhan lelaki di hadapannya seperti mencucuh bara, tapi bukan terbakar lebih kepada mekar, hidup.
Uncle mencium lehernya, kemudian turun perlahan ke bahu, ke dada, dan berhenti seketika di situ bukan untuk mengambil, tapi untuk menikmati. Dia menghisap nafas Lyana, mencium kulitnya perlahan seolah-olah itu adalah kali terakhir dia akan rasa hangat itu.
Pergerakan mereka mula sebati. Tiada suara kecuali keluhan perlahan, desahan yang datang secara naluri bukan dibuat-buat. Setiap gerakan pinggul, setiap rintihan kecil, seperti bait dalam lagu rahsia yang hanya mereka berdua tahu iramanya.
Uncle membimbing Lyana duduk atas ribanya. Mereka saling memandang mata bertentang mata, penuh gelora dan pengertian. Tangan Lyana melingkar di leher lelaki itu, sambil pinggulnya perlahan-lahan bergerak, mencari ritma mereka sendiri.
Posisi itu intim dan berseni, seperti dalam lukisan klasik memperlihatkan kesatuan dua tubuh, tapi lebih dari itu… kesatuan dua rasa yang sedang menyatu dalam diam.
Lyana menggoyang pinggulnya perlahan. Uncle menahan nafas. Tangan mereka saling berpegangan erat, wajah mereka hampir bersentuhan.273Please respect copyright.PENANAKZDEm8FE81
"Macam ni okay?" tanya Lyana perlahan.
"Ya… teruskan…" jawab Uncle dengan nada penuh kekaguman.
Pergerakan itu berterusan. Sekejap perlahan, sekejap deras. Setiap posisi ditukar dengan penuh berhati-hati dan saling memahami. Dari pangkuan ke posisi baring sisi, kemudian kembali ke posisi duduk seperti koreografi yang tidak dirancang, tapi sempurna.
Masa berjalan, tapi mereka tidak peduli.
Uncle memandang Lyana dengan senyum yang penuh pengertian. Waktu ini, ia bukan hanya soal kenikmatan tubuh, tetapi juga soal bagaimana mereka bergerak bersama dalam irama yang hanya mereka fahami.
Lyana masih di atas ribanya, tubuh mereka bersatu dalam kedudukan yang lebih rapat. Perlahan, Uncle menarik Lyana, mengalihkan posisi mereka. Dia meletakkan tangan di punggung Lyana, menggerakkannya untuk berbaring terlentang di atas katil. Uncle kemudian berpindah ke atasnya, dengan tubuhnya menindih tubuh Lyana, tetapi masih memberi ruang untuk mereka berdua bernafas.
Dia memulakan pergerakan perlahan, penuh kontrol, sambil Lyana membiarkan tubuhnya mengikut alur yang ditentukan oleh Uncle. Posisi ini, seperti dalam Kamasutra, digelar Missionary tetapi dengan sentuhan berbeza lebih intim, dengan tubuh mereka hampir sepenuhnya rapat.
Lyana merasakan setiap desahan, setiap gerakan, dalam setiap sentuhan. Jari-jarinya meramas punggung Uncle, meresapkan kenikmatan yang datang sedikit demi sedikit.
"Ahhh... lebih dalam lagi..." bisiknya, mata separuh terpejam, tangannya merengkuh tubuh Uncle lebih dekat.
Kemudian, Uncle perlahan-lahan mengubah posisi mereka. Dari atas, dia menurunkan tubuhnya, menjauhkan diri sedikit. Dengan satu tangan di pinggul Lyana, dia mengangkat kaki Lyana ke atas bahunya, meletakkan dirinya dalam posisi Indrani yang klasik dalam Kamasutra.
Lyana menjerit kecil. Posisi ini memberi kedalaman yang lebih, ruang yang lebih besar untuk mereka berdua bergerak. Setiap tusukan terasa lebih dalam, lebih penuh. Lyana menggigit bibir, menikmati intensiti itu, nafasnya semakin tidak teratur.
"Uncle... teruskan... lebih cepat," desah Lyana, tangannya menggenggam erat sprei katil.
Uncle menuruti. Posisi ini membolehkan pergerakan yang lebih dalam, dan mereka bergerak lebih pantas, tubuh mereka menyatu dalam satu irama yang memuaskan.
Tidak puas dengan hanya satu posisi, Uncle berhenti sebentar, memandang Lyana yang sudah terengah-engah. "Kita tukar lagi," katanya, matanya menyiratkan keinginan yang semakin membara.
Lyana mengangguk, matanya bercahaya. Mereka bergerak lagi, kali ini dalam posisi Cowgirl, di mana Lyana mengambil alih kendali. Tubuhnya menghadap Uncle, dan dia mula bergerak perlahan, merasai perbezaan kedalaman ketika dia mengendalikan irama. Setiap gerakan membolehkan mereka berdua merasakan kenikmatan yang lebih besar.
"Ini lebih menggoda…" kata Lyana dengan nafas terengah, sambil memimpin gerakan ke atas dan ke bawah.
Uncle memegang pinggangnya, merangsang pergerakan dengan lembut, sesekali menariknya lebih dekat. Sentuhan tangan Lyana di dadanya, menambah intensiti setiap gerakan.
Kemudian, dengan gerakan yang penuh nafsu, mereka bergerak lagi. Uncle membawa Lyana ke posisi Doggy Style, namun kali ini, dia menundukkan tubuh Lyana ke hadapan sedikit lebih dalam. Posisi ini membolehkan mereka bergerak dengan lebih bebas, lebih bebas berhubungan, memberi ruang kepada mereka untuk melibatkan seluruh tubuh dalam permainan kenikmatan.
"Tak sangka kita sampai sini, kan?" kata Uncle dengan suara yang sedikit serak, sambil meramas punggung Lyana.
Lyana hanya mengangguk, menggigit bibirnya, menahan getaran yang datang. "Ini baru permulaan…" jawabnya dengan senyuman nakal.
Mereka terus hanyut dalam kebersamaan itu, tanpa perlu tergesa. Setiap sentuhan jadi bahasa, setiap pandangan jadi janji yang tak perlu diucap.
Uncle menyelak rambut Lyana ke tepi, lalu membisik di telinganya, “Kadang-kadang… Uncle rasa macam bermimpi.”
Lyana tersenyum, jari-jarinya perlahan menyentuh tangan Uncle yang melingkari pinggangnya. “Kalau ini mimpi… jangan kejutkan kita.”
Mereka diam seketika, hanya bunyi nafas dan degupan jantung yang mengisi ruang. Suasana itu bukan lagi sekadar keinginan fizikal ia bertukar menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih jujur. Dalam kehangatan malam itu, ada rasa yang tak mampu diungkap sepenuhnya dengan kata-kata.
“Lyana…” Uncle menyebut namanya perlahan, seperti nama itu sendiri cukup untuk menenangkan kekacauan dalam dirinya.
Lyana menoleh, matanya memandang dengan lembut. “Ya?”
“Kalau esok semuanya berubah… malam ni tetap Uncle simpan.”
Dia hanya mengangguk, membiarkan kata-kata itu tenggelam bersama rasa yang menyatu dalam diam.