
Bab 2: Ceramah, Pantai, dan Nafsu yang Tertinggal
311Please respect copyright.PENANAldpuqTG0ey
Setelah malam itu di tabligh akbar, namaku mulai bergaung.
"Habib Amir dari Hadhramaut."
Orang-orang menyebutnya dengan suara penuh getar, seakan tiap huruf mengandung berkah. Padahal satu-satunya pasir yang pernah aku injak ya di lapangan bola kampung waktu kemarau panjang.
311Please respect copyright.PENANAbnzIgTSaS6
Tapi hidup harus terus berjalan, apalagi kalau berjalan di atas panggung—pakai sorban, suara mendayu, dan mata yang sedikit sendu. Itu cukup untuk membuat para jemaah percaya, apapun yang keluar dari mulutku adalah sabda.
311Please respect copyright.PENANAkuWVTxdIXB
Sampai akhirnya, sebuah undangan datang dari Pangandaran.
311Please respect copyright.PENANA8FSVgG6SuS
311Please respect copyright.PENANAwUPDJJsB5c
---
311Please respect copyright.PENANAoLipkReV3S
Aku diundang sebagai pembicara tamu dalam majelis kecil di sebuah wisma pinggir pantai milik keluarga seorang dermawan. Katanya, mereka rutin mengundang habib muda untuk “menyegarkan rohani” para ibu-ibu yang mengelola koperasi nelayan dan bisnis pariwisata lokal.
311Please respect copyright.PENANAC7GbTalw25
Aku mengiyakan. Bukan karena dakwah—tapi karena sudah lama aku ingin kabur sebentar dari kota dan segala tatapan curiga ustaz-ustaz asli yang mulai bertanya-tanya kenapa aku tak pernah bawa sanad nasab. Pangandaran terdengar cukup jauh... dan cukup aman.
311Please respect copyright.PENANAhyIqu09c7r
Sesampainya di sana, aku disambut oleh Deden, lelaki paruh baya yang katanya dulunya mantan aktivis rohis yang gagal jadi guru ngaji, lalu banting setir jadi pengelola kebun sekaligus penjaga toko bangunan.
311Please respect copyright.PENANARQVEjqYlqS
Orangnya santai, humoris, dan langsung cocok denganku setelah ngobrol beberapa menit.
311Please respect copyright.PENANAd5FxhocsxK
“Nginep aja di rumah saya, Bib. Gak usah repot bayar hotel,” katanya.
Rumahnya sederhana tapi rapi. Ada pohon belimbing di halaman dan angin laut yang selalu datang tiap sore. Sesuatu yang tak bisa kau beli dengan infak dari jamaah.
311Please respect copyright.PENANA0Znm7pnhT0
Deden ternyata lebih dari sekadar orang lokal ramah.
Di malam kedua, saat kami duduk di teras sambil minum kopi jahe, ia mulai membuka lembar masa lalunya.
311Please respect copyright.PENANAxy4Ov2qksC
“Gua duda, Bib.”
Kalimat itu diucapkannya datar.
311Please respect copyright.PENANAzdMnu6Evhs
“Cerai... gara-gara gak kuat ngimbangin nafsu bini gua. Satu-dua ronde gak cukup. Harus tiap malam. Lama. Kadang pagi juga minta. Katanya biar semangat masak.” Deden menghela napas.
Aku diam. Sedikit tertawa dalam hati, karena rasa lelahnya terdengar seperti doa yang tak dikabulkan.
311Please respect copyright.PENANAmz9Qv8Knic
“Wajah dia gimana?” tanyaku akhirnya.
311Please respect copyright.PENANAruoOUenkmd
“Manis. Cantik banget malah. Tapi lebih manis kalo udah minta sesuatu di kamar. Badannya... aduh. Pokoknya tiap suaminya pasti kewalahan. Tiga kali nikah, semua cerai.”
Aku makin penasaran.
311Please respect copyright.PENANA5vFkfiFzlM
“Apa sekarang dia udah kawin lagi?”
311Please respect copyright.PENANAmLMZGeGv2l
“Nggak. Tapi dia bantuin kakaknya jaga wisma deket pantai. Namanya Anissa.”
311Please respect copyright.PENANAXNMq9xq772
Nama itu seperti alunan rebana yang terlalu lembut tapi meninju dada.
Aku pura-pura tidak tertarik, tapi pikiranku mulai main jauh.
311Please respect copyright.PENANAkrDskioUL1
“Boleh dikenalin?” tanyaku sambil memainkan tasbih plastik yang kini kubawa ke mana-mana.
“Siapa tahu bisa dakwah sambil silaturahmi.”
311Please respect copyright.PENANA5Ngrf4ILjS
Deden tertawa. “Tapi hati-hati Bib... yang ini bisa bikin orang bertobat sambil nahan jeritan.”
311Please respect copyright.PENANAilH2ddWZ64
311Please respect copyright.PENANA5RPay71w1H
---
311Please respect copyright.PENANA4Yb2eTwiIN
Keesokan harinya, aku mampir ke wisma tempat Anissa bekerja. Ia sedang menyapu halaman. Langit mendung, pantai sepi, dan hanya ada suara burung camar dan desiran ombak.
311Please respect copyright.PENANA6m12cAS5Ui
Anissa... bukan sekadar cantik. Ia punya aura tenang, semacam gabungan antara wanita yang terlalu sering disakiti dan terlalu terbiasa mengendalikan situasi. Sorot matanya tajam, tapi hangat. Bibirnya kecil dan penuh. Gerakannya tenang, tapi terukur.
311Please respect copyright.PENANA6qGEv7GGFY
Waktu dia melihatku, dia hanya tersenyum singkat.
311Please respect copyright.PENANAdhvFcxL4z5
“Habib dari kota, ya?”
Suaranya bening. Tidak dibuat-buat.
311Please respect copyright.PENANA5nAgSgf7JY
“Panggil Amir aja,” jawabku sambil menunduk, gaya andalan tiap bertemu perempuan—menunduk tapi lirikan mata tetap bekerja.
311Please respect copyright.PENANA347J8vFksv
Kami ngobrol sebentar. Tidak lama, tapi cukup untuk tahu bahwa Anissa bukan tipe perempuan mudah kagum pada gelar atau sorban. Itu membuatku makin tertarik.
311Please respect copyright.PENANAjYClplPQFk
311Please respect copyright.PENANAiZu6ZBHhoW
---
311Please respect copyright.PENANA24JRfLEfdz
Di malam harinya, aku mengisi pengajian kecil di aula wisma. Para ibu duduk manis, beberapa membawa buah tangan, satu-dua mengedip saat aku mulai ceramah tentang cinta Nabi dan Sayyidah Khadijah—tema andalanku.
311Please respect copyright.PENANAqP4YhTHSYL
Di sudut aula, Anissa berdiri sambil menyeduh teh. Tak banyak bicara, tapi sesekali menatapku lama. Bukan seperti jemaah lain. Tatapannya berbeda. Seperti... menguliti kebohongan dari balik jubah.
311Please respect copyright.PENANAFsmHMuNlKe
Aku tahu perempuan seperti itu tidak bisa ditaklukkan dengan kutipan hadis semata. Tapi justru itu yang membuatku ingin mencoba.
311Please respect copyright.PENANAIhTjIXGoo9
311Please respect copyright.PENANAWreE6GJ5pC
---
311Please respect copyright.PENANA4kWD1awfsT
Di kamar malam itu, aku membuka jendela. Angin pantai membawa aroma garam dan gairah yang tak bisa dijelaskan.
311Please respect copyright.PENANAnrIrIjzL4y
Dan di antara suara ombak yang menabrak karang, aku menyadari sesuatu:
Di Pangandaran, bukan cuma dakwah yang diuji. Tapi juga nyali.
311Please respect copyright.PENANAfgBehowVvy
Anissa bukan jemaah biasa.
Dia adalah godaan yang menunggu...
Menguji sejauh mana seorang "Habib palsu" mampu menyembunyikan nafsu asli.
Bagi yang butuh akses mudah tanpa CreditCard bisa ke
https://victie.com/novels/menyesatkan_keluarga_sakinah
Cek koleksi cerita lainnya dari suhu suhu saya di
https://t.me/+3OoiCK8fS5swZjY9
Jangan Lupa Follow dan Bookmark di sana ya
Matur Thankyou
ns216.73.216.25da2