
Ustad Cabul
123Please respect copyright.PENANA11oNzsASIU
Di sebuah daerah di Pulau Jawa yang dikenal akan kuatnya tradisi keagamaan, kehidupan masyarakat berputar di sekitar pengajian-pengajian dan pesantren-pesantren yang tumbuh di berbagai pelosok. Dari lembaga-lembaga inilah lahir para ustad dan santri yang dianggap suci, pewaris ilmu agama, dan pembimbing umat. Di balik kesalehan itu, tersimpan kisah yang tak terduga—kisah yang bermula dari sebuah desa kecil di pinggiran kota besar.
123Please respect copyright.PENANArs1bNLE9Lw
Desa itu tenang, masyarakatnya hidup rukun, bahkan hubungan antarumat beragama begitu harmonis. Namun, di balik kedamaian itu, tampak jelas jurang kesenjangan sosial yang memisahkan antara muslim dan non-muslim. Mayoritas warga muslim hidup dalam kekurangan. Pandemi yang baru berlalu, disusul musim paceklik yang melanda sawah dan ladang, memaksa banyak kepala keluarga untuk merantau mencari nafkah ke luar daerah. Sementara itu, warga non-muslim justru tampak lebih mapan, karena rata-rata usaha mereka berdiri di luar desa, bahkan di kota besar.
123Please respect copyright.PENANADoIA7L4WMS
Suatu hari, datanglah dua musafir dari sebuah pesantren ternama. Mereka adalah ustad muda yang tengah berdakwah berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika tiba di desa itu dan melihat kondisi umat muslim yang terpuruk, mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Mereka ingin menetap dan membantu memulihkan kesejahteraan umat.
123Please respect copyright.PENANA3RdjAUiioO
Kebaikan hati menyambut mereka. Pak Togar, sang kepala desa yang beragama non-muslim dan dikenal bijak serta dermawan, mengizinkan keduanya tinggal di rumahnya. Ia telah lama menduda sejak istrinya meninggal sepuluh tahun lalu. Di rumah itu, ia tinggal bersama anaknya, Sitor, yang berusia 25 tahun, dan menantunya, Lina, yang telah lima tahun menikah namun belum juga diberi keturunan.
123Please respect copyright.PENANAgY44dl680I
Namun keajaiban terjadi—Lina akhirnya hamil setelah meminum air yang telah dibacakan doa oleh seorang ustad yang pernah singgah sebentar di desa itu. Sejak saat itu, Pak Togar menaruh rasa hormat yang tinggi kepada para ustad, dan saat Ustad Karim dan Ustad Ijal memutuskan tinggal, ia menyambut mereka dengan tangan terbuka—tak tahu bahwa dari rumah itulah, kisah kelam akan bermula.
Yang tak diketahui oleh warga desa—dan bahkan oleh Lina, sang menantu—adalah bahwa Ustad Karim dan Ustad Ijal bukanlah pendakwah sejati. Mereka adalah buronan, pelarian dari kasus perampokan dan pemerkosaan di luar daerah. Dulu, mereka sempat mondok di sebuah pesantren kecil dan hanya mempelajari agama sebatas untuk menipu. Mereka paham cara bicara lembut, membaca ayat suci dengan tartil, dan menyusun nasihat penuh hikmah. Semua itu hanyalah topeng.
123Please respect copyright.PENANAgfrim7wl8N
Kedatangan mereka ke desa itu bukan karena belas kasihan, melainkan karena panggilan dari seseorang yang telah lama menjadi bagian dari jaringan gelap mereka: Pak Togar—kepala desa yang selama ini dikenal bijak dan toleran.
123Please respect copyright.PENANANVZLWT3lUi
Di mata warga, Pak Togar hanyalah lelaki tua yang hidup tenang bersama anak dan menantunya. Istrinya sudah lama meninggal, dan ia disegani sebagai sosok netral yang mengayomi semua golongan. Tapi di balik keramahan dan wajah tenangnya, Pak Togar menyimpan masa lalu yang kelam dan keinginan yang lebih gelap dari siapa pun di desa itu.
123Please respect copyright.PENANAYQbM5hAYRS
Dulu, saat masih muda, Togar adalah bagian dari lingkaran gelap yang berkedok dakwah. Ia mengenal Karim dan Ijal sebagai rekan satu jalan—orang-orang yang tahu cara menyembunyikan dosa di balik ayat dan sorban. Bertahun-tahun mereka tak bersua, hingga suatu hari, dua sahabat lamanya itu menghubungi dari tempat pelarian mereka. Tanpa ragu, Pak Togar menyambut mereka, bahkan menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal.
123Please respect copyright.PENANA2YIPlbHe7r
Namun niatnya bukan sekadar menolong.
123Please respect copyright.PENANA6RsrFz9xPJ
Sejak lama, Togar menaruh nafsu pada istri tetangganya—perempuan muda bersuami lemah yang kerap datang untuk meminjam alat atau minta bantuan. Tapi yang paling membuat hatinya gelisah adalah Lina, menantunya sendiri. Sudah lima tahun tinggal serumah, Lina belum juga diberi anak. Dalam pandangan Togar, tubuh Lina adalah godaan yang selalu hadir tiap hari—berjalan di rumahnya, menyajikan makanan, menunduk dengan patuh.
123Please respect copyright.PENANAYs8XnP6bli
Togar tahu, keinginannya terlarang. Tapi kini, dengan kedatangan Karim dan Ijal, semua bisa diatur. Bersama mereka, ia mulai menyusun rencana. Mereka akan membungkus hawa nafsu dengan topeng agama: membuka pengajian, menyebarkan air doa, dan memberikan "ruqyah" kepada perempuan-perempuan yang membutuhkan ketenangan. Warga akan percaya, dan para perempuan akan datang sendiri.
123Please respect copyright.PENANAVRVUJ2m8Hk
Tak butuh waktu lama. Kharisma palsu Ustad Karim dan kelembutan suara Ustad Ijal membuat para ibu dan gadis desa tertarik. Mereka datang untuk meminta doa, meminta nasihat rumah tangga, dan membawa anak-anak mereka untuk belajar mengaji. Semua berjalan sesuai rencana.
123Please respect copyright.PENANA4HQspc4RdQ
Dan dari rumah itulah, dosa mulai tumbuh dalam diam. Dibalut sorban dan doa, tapi berakar dari nafsu dan tipu daya yang sudah dirancang sejak lama.
Berikut revisi obrolan awal dengan menyesuaikan bahwa Pak Togar adalah non-muslim, dan salah satu ustad gadungan bahkan belum disunat—menekankan betapa palsu dan manipulatifnya para tokoh ini, serta betapa liciknya rencana mereka dibungkus dengan jubah agama:
Malam itu, ruang tengah rumah Pak Togar hanya diterangi lampu minyak yang berkelap-kelip. Hujan baru saja reda, menyisakan bau tanah basah yang meresap ke dalam rumah kayu tua itu. Togar, lelaki paruh baya yang dikenal ramah dan moderat, duduk bersila dengan sebatang rokok kretek di tangan. Di hadapannya, dua tamu barunya—Karim dan Ijal—menyesap kopi sambil melirik satu sama lain.
Togar membuka obrolan lebih dulu, suaranya berat dan datar.
“Jadi… kalian ngaku ustad sekarang?”
Karim tersenyum lebar, cengengesan. “Orang sini gampang percaya, Pak. Asal hafal dua-tiga surat, bisa doa sedikit, udah dianggap wali.”
123Please respect copyright.PENANAXSsKPjKl6w
Ijal ikut tertawa kecil, lalu menyahut, “Padahal saya aja belum disunat, Pak. Tapi kalau udah pakai baju koko, langsung dipanggil ‘kyai muda’.”
123Please respect copyright.PENANAkIdB1fb7dE
Togar ikut tertawa, lalu mengangguk puas. “Itu dia alasan saya undang kalian ke sini. Saya tahu kalian dua ini bukan ustad beneran. Tapi kalian ngerti cara mainnya.”
123Please respect copyright.PENANA29Rd94KGOt
“Main gimana, Pak?” tanya Karim sambil mencondongkan badan, mulai serius.
123Please respect copyright.PENANAayI6khgEFZ
Togar menghembuskan asap rokoknya, matanya menyipit. “Aku ini orang kafir buat mereka. Tapi karena anakku masuk Islam, ya aku ikut toleran. Nah... aku punya masalah. Ada istri tetanggaku. Namanya Rini. Masih muda, suaminya sakit-sakitan. Perempuan itu... tiap kali dia datang ke sini, minta air, minta bantuin benerin genteng... aku pengen, paham?”
123Please respect copyright.PENANA6RtTwlOJDU
Karim mengangguk, tatapannya mulai tajam. “Mau kita bantu ‘ruqyah’ dia, Pak?”
123Please respect copyright.PENANAEFYqtCup4h
“Ruqyah, pengajian, doa-doa... apa aja lah. Yang penting dia nurut. Masuk rumah ini, terus kalian atur. Setelah itu tinggal aku selesaikan.”
123Please respect copyright.PENANAJyBGAmFaAT
Ijal tertawa pendek. “Wah, gampang. Tinggal pasang wajah suci, bawa Al-Qur’an kecil, terus bilang dia kerasukan jin birahi.”
123Please respect copyright.PENANAv3ZqIciN3t
Togar menyeringai puas. Tapi belum selesai.
123Please respect copyright.PENANAD4Qk7rYpym
“Dan satu lagi,” bisiknya pelan. “Lina. Menantu gue. Masih muda, cakep. Lima tahun nikah sama anakku, belum punya anak. Tiap pagi dia bikin kopi, bersihin rumah. Kadang pakai daster longgar… Astaga.”
123Please respect copyright.PENANAz8Texr4QbD
Kedua “ustad” itu berpandangan dan tertawa pelan.
123Please respect copyright.PENANALjCPVzqESd
Karim menepuk pundak Togar. “Pak… buat orang kafir, nafsu Bapak ini Islami sekali.”
123Please respect copyright.PENANA0gAkFWdaoq
“Makanya saya butuh kalian,” Togar menyahut cepat. “Kalau berhasil, kalian tinggal aja di sini seumur hidup. Saya urus semuanya. Di mata orang-orang, kalian bakal jadi wali kampung ini.”
123Please respect copyright.PENANATfW8eld9kj
Ijal menyeringai. “Gampang. Urusan syahwat yang dibungkus syariat… itu spesialisasi kami, Pak.”
123Please respect copyright.PENANAfP6KZvK5yX
Dan malam itu, di balik canda dan asap rokok, tiga lelaki dengan niat bejat mulai menyusun rencana. Sebuah drama kotor yang dibalut sorban dan doa-doa palsu—siap menjerat perempuan-perempuan lugu yang mencari pertolongan dalam nama agama.
Keesokan harinya, pagi di desa itu seperti biasa—kabut tipis menggantung di antara ladang, dan suara ayam bersahut-sahutan. Tak ada yang menyangka bahwa dari rumah Pak Togar, rencana bejat tengah bergerak pelan, menyaru dalam wujud kesalehan.
ns216.73.216.24da2