
Malam itu, meja makan di ruang belakang ruko Tokoh Jaya terasa seperti dunia yang berbeda dari kehangatan yang biasanya kami nikmati. Saya, Jimmy, duduk di ujung meja, menatap piring berisi nasi, ikan goreng, dan sayur kol yang sudah tak lagi menggugah selera. Cahaya lampu neon di atas kepala memancarkan sinar pucat, mempertegas suasana muram yang menyelimuti kami. Evelyn, istri saya, duduk di seberang, wajahnya pucat dan matanya menghindari kontak dengan saya, seolah tak sanggup menghadapi kenyataan hari ini. Agnes, putri kami yang berusia 17 tahun, duduk di sampingnya, mengaduk makanannya dengan garpu tanpa semangat, tak menyadari betapa beratnya beban yang kami pikul. Saya menarik napas pelan, mencoba menahan rasa sesak di dada, tapi setiap detik di meja ini hanya mengingatkan saya pada kejadian pagi tadi, ketika Evelyn dipaksa duduk di pangkuan ketua preman itu. Hati saya terasa seperti dihimpit batu besar, dan rasa gagal sebagai suami terus menggerogoti.
Evelyn hampir tak berbicara sepanjang makan malam, hanya menjawab pertanyaan Agnes dengan kata-kata singkat dan suara yang parau. Biasanya, dia adalah pusat keceriaan di meja ini, bercanda tentang pelanggan ruko yang lucu atau menggoda Agnes soal teman-teman sekolahnya. Kini, dia hanya menunduk, tangannya memainkan sendok tanpa benar-benar makan. Saya tahu dia berusaha menyembunyikan luka hatinya dari Agnes, tapi setiap gerakannya—dari cara dia menghela napas hingga bahunya yang sedikit membungkuk—mencerminkan kepedihan yang tak bisa disembunyikan. Saya ingin meraih tangannya, memberi tahu dia bahwa saya akan memperbaiki semuanya, tapi kata-kata itu terasa hampa di pikiran saya. Rasa malu karena tak bisa melindunginya pagi ini membuat saya hanya bisa diam, menatap piring dengan perasaan kosong.
Agnes, yang tak tahu apa yang terjadi di ruko pagi tadi, mencoba memecah keheningan dengan cerita tentang ujian sekolahnya, tapi suaranya tak secerah biasanya. “Guru matematika aku bilang aku bisa dapat nilai bagus kalau terus latihan,” katanya, tapi matanya melirik ke arah Evelyn, seolah mencari respons yang tak kunjung datang. Saya memaksakan senyum, mengangguk, dan berkata, “Bagus, Nak. Terus belajar ya.” Tapi suara saya terdengar lemah, dan Agnes sepertinya merasakan ada yang salah, karena dia kembali diam, fokus pada makanannya. Saya bersyukur dia tak tahu tentang ketua Ormas Bintang Timur dan apa yang dia lakukan pada ibunya, tapi kelegaan itu bercampur rasa bersalah karena menyembunyikan kebenaran darinya. Dia masih anak kami yang penuh harapan, dan saya tak ingin bayang-bayang ketakutan ini menghancurkan dunianya.
Biasanya, makan malam di ruko ini penuh tawa dan cerita. Evelyn akan bercerita tentang pelanggan yang lupa bayar atau saya akan menggoda Agnes soal pacarnya, meski dia selalu memprotes dengan wajah merah. Meja kecil ini adalah tempat kami berbagi mimpi, merencanakan liburan sederhana, atau sekadar menikmati kebersamaan sebagai keluarga. Tapi malam ini, suasana riang itu hilang, diganti oleh keheningan yang mencekik. Saya bisa merasakan bahwa malam-malam berikutnya mungkin akan sama kelamnya, selama ancaman preman itu masih menggantung di atas kami. Pikiran itu membuat perut saya mual, dan saya menatap makanan di piring, tak sanggup menelannya. Ruko yang selama ini jadi kebanggaan keluarga kini terasa seperti kandang yang menjebak kami.
Saya menatap Evelyn dari sudut mata, memperhatikan kulit mulusnya yang biasanya bersinar di bawah lampu, tapi kini terlihat pucat. Kecantikannya—tubuh berlekuk, wajah yang selalu memikat—adalah sesuatu yang selalu membuat saya bangga, tapi pagi tadi, kecantikan itu justru jadi senjata yang digunakan untuk mempermalukan kami. Saya masih bisa melihat bayangan pria itu, bau alkohol dari mulutnya, dan tangannya yang merangkul pinggang Evelyn dengan penuh kuasa. Setiap kali ingatan itu muncul, kemarahan dan rasa tak berdaya bercampur di dada saya, membuat saya ingin berteriak. Tapi saya tahu teriakan tak akan menyelesaikan apa-apa, dan itu hanya mempertegas betapa saya gagal sebagai laki-laki, sebagai suami yang seharusnya melindungi keluarganya.
Selesai makan, Agnes membantu membersihkan meja dengan gerakan mekanis, lalu pamit ke kamarnya di lantai atas untuk mengerjakan PR. “Jangan tidur terlalu malam, ya,” kata Evelyn, suaranya lembut tapi tanpa kehangatan. Agnes mengangguk, melirik kami berdua dengan ekspresi bingung, seolah ingin bertanya tapi tak tahu apa. Saya memaksakan senyum lagi, berharap dia tak mencium ketegangan di udara, tapi hatiku berat mengetahui bahwa kami menyembunyikan sesuatu darinya. Setelah Agnes naik, saya dan Evelyn membersihkan sisa piring dalam diam, hanya suara piring yang berdenting dan air keran yang memecah keheningan. Saya ingin bicara, ingin meminta maaf, tapi setiap kali saya membuka mulut, kata-kata itu lenyap, tertelan oleh rasa bersalah yang semakin dalam.
Evelyn selesai mencuci piring dan berjalan ke ruang tengah, duduk di sofa tua dengan pandangan kosong. Saya mengikutinya, berdiri di ambang pintu, tak tahu harus berkata apa. “Evelyn,” panggil saya pelan, tapi dia hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. Saya bisa melihat bahunya sedikit bergetar, dan itu seperti pisau yang menusuk hati saya. Saya ingin mendekatinya, memeluknya, dan bilang bahwa saya akan mencari jalan keluar, tapi kenyataan bahwa saya tak punya solusi membuat saya hanya berdiri mematung. Ruko yang biasanya terasa hangat kini seperti ruang asing, penuh dengan bayang-bayang ancaman yang tak bisa saya usir. Saya menunduk, merasa seperti laki-laki yang tak layak disebut suami.
Malam semakin larut, dan saya naik ke kamar kami di lantai atas, berharap bisa berbicara dengan Evelyn. Tapi saat saya membuka pintu, dia sudah berada di tempat tidur, membelakangi saya, tubuhnya meringkuk di bawah selimut tipis. Cahaya lampu meja yang redup menyinari rambut panjangnya, dan saya mendengar isakan pelan yang dia coba sembunyikan. Tanpa sengaja, saya mengintip dari sudut pintu, melihat Evelyn menangis sesenggukan, tangannya menutup mulut agar suaranya tak terdengar. Pemandangan itu menghancurkan saya; istri saya, wanita yang selalu kuat di sisi saya, kini terlihat begitu rapuh, seolah tak lagi merasa dilindungi oleh suaminya. Saya menutup pintu pelan, tak sanggup masuk, karena rasa bersalah itu terlalu berat untuk ditanggung.
Saya duduk di tangga menuju kamar, kepala saya bersandar ke dinding, menatap kegelapan. Ingatan tentang pagi tadi terus berputar di kepala saya—suara pria itu, bau alkoholnya, dan kata-katanya yang seperti racun: “Istrimu bakal melayani saya setiap hari.” Saya memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan itu, tapi tak bisa. Saya tahu Evelyn menangis bukan hanya karena takut, tapi karena merasa dikhianati oleh saya, suami yang tak bisa berdiri di depannya saat dia dipermalukan. Rasa gagal itu seperti belati yang terus menusuk, dan saya bertanya-tanya apakah dia menyesal menikahi pria lemah seperti saya. Malam itu, ruko terasa lebih dingin dari biasanya, dan saya tahu kehangatan keluarga kami mungkin tak akan kembali dalam waktu dekat.
---------------
Malam itu, setelah menatap kegelapan dari tangga, saya akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar kami di lantai atas ruko Tokoh Jaya. Kamar kecil itu, dengan kasur sederhana dan lampu meja yang redup, biasanya adalah tempat perlindungan kami, tempat saya dan Evelyn berbagi tawa dan mimpi. Tapi malam ini, ruangan itu terasa asing, seperti sarang yang penuh luka yang tak terucap. Saya melangkah pelan, pintu berderit saat saya membukanya, dan melihat Evelyn masih meringkuk di bawah selimut, isakannya yang pelan kini terdengar lebih jelas. Saya tak punya pilihan lain selain menghadapinya, meski rasa bersalah dan ketakutan membuat kaki saya terasa berat. Saya menutup pintu di belakang saya, berharap bisa menemukan kata-kata yang tepat, tapi hati saya tahu bahwa tak ada yang bisa memperbaiki apa yang telah hancur sore tadi.
Saya mendekati kasur, berdiri di samping Evelyn, dan dengan hati-hati menyentuh bahunya yang bergetar. “Evelyn,” panggil saya pelan, suara saya serak karena beban emosi yang menumpuk. “Maafkan aku atas kejadian tadi. Aku… aku nggak tahu harus ngapain.” Kata-kata itu terasa lemah, seperti hembusan angin yang tak mampu mengusir badai. Saya ingin mengatakan lebih banyak, ingin meyakinkannya bahwa saya akan melindunginya, tapi kenyataan bahwa saya membiarkan pria itu mempermalukannya di depan mata saya membuat saya tak punya hak untuk berjanji. Bahunya terasa dingin di bawah sentuhan saya, dan saya tahu dia bukan hanya menangis karena takut, tapi juga karena kecewa pada saya, suaminya yang tak bisa berdiri tegak.
Isakan Evelyn tiba-tiba membesar, menjadi tangisan yang keras dan penuh luka. Dia menoleh, wajahnya yang biasanya cantik dan penuh pesona kini basah oleh air mata, matanya merah dan penuh kepedihan. “Jimmy, aku merasa kotor!” katanya, suaranya pecah, setiap kata seperti pisau yang menusuk dada saya. “Laki-laki itu… dia jijik, dia kotor, dan aku harus duduk di pangkuannya, di depanmu! Dan kamu… kamu cuma diam, seolah menikmati aku dilecehkan!” Tuduhannya menghantam saya seperti palu, dan saya hanya bisa menunduk, tak mampu menatap matanya. Saya tahu dia sedang meluapkan rasa sakitnya, tapi setiap katanya terasa benar, mengoyak harga diri saya sebagai suami. Saya ingin membela diri, tapi apa yang bisa saya katakan ketika saya memang tak melakukan apa-apa sore tadi?
Pertengkaran dimulai, meski saya tak ingin memperburuk keadaan. Evelyn bangkit dari kasur, berdiri dengan tangan gemetar, rambut panjangnya yang biasanya terurai indah kini kusut, mencerminkan kekacauan di hatinya. “Kamu laki-laki culun, Jimmy!” teriaknya, nadanya penuh kemarahan dan kekecewaan. “Kamu cuma berdiri di sana, nggak ngelindungin aku, nggak ngomong apa-apa! Aku merasa sendirian, seolah aku bukan istrimu!” Kata-kata itu seperti cambuk, dan saya hanya bisa menunduk, tangan saya mencengkeram tepi kasur. Saya tahu dia marah karena merasa dikhianati, dan saya tak bisa menyangkal bahwa kelemahan saya membuatnya harus menanggung penghinaan itu. Setiap tuduhannya adalah cermin dari kegagalan saya, dan saya tak punya alasan untuk membantah.
Saya mencoba berbicara, suara saya pelan dan penuh penyesalan. “Evelyn, aku takut… aku nggak tahu caranya ngelawan orang kayak gitu,” kataku, tapi suara saya tenggelam di tengah isakannya. “Aku cuma mau kita aman, kamu dan Agnes.” Tapi kata-kata itu terdengar kosong, bahkan di telinga saya sendiri. Evelyn menggeleng, air matanya mengalir lebih deras, dan dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aman? Kamu bilang aman? Aku dipermalukan di depan pelanggan, di depanmu, dan kamu bilang aman?” Nada suaranya penuh keputusasaan, dan saya tahu dia bukan hanya marah pada saya, tapi juga pada situasi yang membuat kami terjebak. Saya memejamkan mata, berharap bisa menghilang dari momen ini, tapi kenyataan terus menampar saya.
Evelyn melangkah ke sudut kamar, bersandar ke dinding, tubuhnya gemetar karena tangisan yang tak kunjung berhenti. “Aku nggak nyangka bakal ngerasa begini, Jimmy,” katanya, suaranya kini lebih pelan tapi penuh luka. “Aku pikir kamu akan selalu ada buat aku, buat lindungin aku. Tapi tadi… aku ngerasa sendirian.” Saya ingin bangkit, memeluknya, dan bilang bahwa saya akan memperbaiki semuanya, tapi kaki saya terasa seperti terpaku di lantai. Saya tahu kata-katanya benar; saya telah membiarkannya menghadapi penghinaan itu sendirian, dan itu adalah kegagalan yang tak bisa saya maafkan dari diri sendiri. Ruko yang selama ini jadi kebanggaan kami kini terasa seperti penjara, dan saya adalah sipir yang tak mampu menjaga pintunya.
Saya hanya diam, tak mampu menjawab tuduhan Evelyn, karena apa yang dia katakan adalah kebenaran yang pahit. Saya adalah laki-laki culun, pria yang tak bisa melawan ketika istrinya dipermalukan di depan matanya sendiri. Saya menatap lantai, mencoba mencari kata-kata yang bisa meredakan kemarahannya, tapi tak ada yang terlintas. Ingatan tentang pria itu—bau alkoholnya, tangannya yang merangkul Evelyn, dan ancamannya yang seperti racun—terus berputar di kepala saya, membuat saya semakin tenggelam dalam rasa bersalah. Saya ingin berjanji bahwa saya akan melawan, tapi bagaimana caranya? Saya hanyalah pedagang kelontong, bukan pahlawan yang bisa menghadapi preman seperti di film. Dan Evelyn tahu itu, itulah mengapa kata-katanya begitu tajam.
Evelyn akhirnya kembali ke kasur, duduk dengan punggung membelakangi saya, tangannya memeluk lutut. “Aku nggak tahu berapa lama aku bisa tahan begini, Jimmy,” katanya, suaranya kini hampir seperti bisikan, penuh keputusasaan. “Aku nggak mau Agnes tahu, tapi aku juga nggak tahu gimana caranya kita lanjutin hidup kayak gini.” Kata-kata itu seperti pukulan terakhir, membuat saya merasa seperti laki-laki yang tak hanya gagal melindungi istrinya, tapi juga menghancurkan harapan keluarganya. Saya ingin bilang bahwa saya akan mencari jalan keluar, tapi mulut saya terkunci, karena saya sendiri tak yakin ada jalan keluar dari mimpi buruk ini. Saya hanya menatap punggungnya, merasa jarak di antara kami semakin lebar.
Pertengkaran kami mereda, bukan karena ada penyelesaian, tapi karena kami berdua terlalu lelah untuk melanjutkan. Evelyn berbaring, menarik selimut hingga menutupi wajahnya, seolah ingin menyembunyikan diri dari dunia, dari saya. Saya tetap duduk di tepi kasur, menatap dinding yang mulai retak, mencerminkan retakan dalam hubungan kami. Saya tahu dia merasa kotor, bukan hanya karena sentuhan pria itu, tapi karena saya tak melakukan apa-apa untuk menghentikannya. Rasa bersalah itu seperti beban yang menekan dada saya, membuat napas saya terasa berat. Saya ingin meminta maaf lagi, tapi apa gunanya? Kata-kata tak akan menghapus luka yang sudah tertoreh di hati Evelyn.
Saya akhirnya berbaring di sampingnya, menjaga jarak karena tak berani menyentuhnya. Biasanya, kami akan berpelukan, tubuh Evelyn yang hangat menempel pada saya, dan kami akan berbicara tentang hari esok atau mimpi untuk Agnes. Tapi malam ini, kasur ini terasa dingin, dan keheningan di antara kami lebih keras dari teriakan. Saya menatap plafon, mendengar napas Evelyn yang masih bergetar, dan tahu bahwa dia belum tidur, mungkin masih menangis dalam diam. Saya ingin mengatakan sesuatu, apa saja, untuk mengembalikan kepercayaannya, tapi saya tahu kata-kata saya tak lagi berarti. Ruko ini, yang dulu jadi simbol kebanggaan keluarga, kini terasa seperti penutup peti mati yang perlahan menutup.
Di luar, suara jangkrik dan kendaraan yang lewat di kejauhan terdengar samar, tapi di dalam kamar ini, hanya ada keheningan yang menyesakkan. Saya memikirkan Agnes, yang tidur di kamar sebelah, tak tahu bahwa ibunya telah dipermalukan dan ayahnya tak berdaya. Saya selalu bermimpi dia akan meneruskan warisan keluarga ini, atau bahkan meraih lebih jauh, tapi kini mimpi itu terasa seperti ilusi yang rapuh. Ancaman preman itu bukan hanya soal uang, tapi soal martabat kami yang diinjak-injak, dan saya tak tahu bagaimana cara mengembalikannya. Saya menutup mata, berharap bisa menemukan keberanian di dalam mimpi, tapi yang ada hanya kegelapan yang mencerminkan hati saya.
Malam itu berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Saya tahu besok pagi kami harus membuka ruko lagi, menghadapi dunia yang kini penuh ancaman. Saya memikirkan kata-kata Evelyn, bahwa saya laki-laki culun, dan saya tak bisa menyangkalnya. Saya memang gagal, dan luka di hati Evelyn adalah bukti nyata dari kelemahan saya. Saya berjanji dalam hati untuk mencari cara melawan, meski saya tak tahu dari mana memulainya. Tapi di lubuk hati, saya takut bahwa apa yang akan datang bisa lebih buruk, dan saya tak yakin apakah saya cukup kuat untuk menghadapinya.
Saya melirik siluet Evelyn sekali lagi, tubuhnya yang biasanya memberi saya kekuatan kini hanya mengingatkan saya pada kegagalan saya. Saya tahu dia merasa tak dilindungi, dan itu adalah luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Malam itu, saya tidur dengan hati yang berat, ditemani rasa bersalah yang tak kunjung reda. Saya tahu kami harus menghadapi hari esok, tapi saya juga tahu bahwa kehangatan keluarga kami telah retak
-----------------
Di dalam hati saya, sebuah pikiran aneh mulai merayap, seperti racun yang perlahan menyebar. Saya membayangkan Evelyn, dengan kecantikannya yang memikat—kulit mulus khas Tionghoa, tubuh berlekuk yang selalu membuat saya bangga—berpaling dari saya. Bayangan itu begitu jelas: dia tak lagi melihat saya sebagai suaminya, melainkan terpikat oleh pria kasar berkulit hitam itu, ketua preman dengan tato burung garuda dan logat Maluku yang kental. Saya membayangkan matanya yang dulu penuh cinta untuk saya kini berbinar untuk pria itu, seolah dia menemukan sesuatu yang tak pernah saya berikan—keberanian, kekuatan, atau kejantanan yang saya tahu saya kurang. Pikiran ini membuat dada saya sesak, tapi anehnya, ada perasaan lain yang muncul, sesuatu yang asing dan membingungkan, yang membuat saya merasa jijik pada diri sendiri. Saya mengepalkan tangan, mencoba mengusir bayangan itu, tapi ia terus kembali, seperti mimpi buruk yang tak bisa saya hindari.
Bayangan itu semakin liar, membawa saya ke fantasi yang lebih gelap, yang membuat saya gemetar karena malu dan bingung. Saya melihat Evelyn, dalam imajinasi saya, bercinta dengan pria itu—tubuhnya yang indah dipeluk oleh lengan kekar penuh tato, sementara dia menatap saya dengan ejekan. Dalam fantasi itu, dia mengulang kata-kata yang dia ucapkan saat bertengkar: “culun, cupu, laki-laki lemah.” Suaranya dalam imajinasi itu penuh cemooh, tapi juga penuh gairah, seolah dia menikmati keberadaan pria yang lebih jantan daripada saya. Saya merasa jantungan saya berdegup kencang, bukan hanya karena kemarahan, tapi karena sesuatu yang lain—perasaan aneh yang membuat saya merasa kotor. Saya menutup mata lebih erat, berharap bisa menghapus gambar itu dari pikiran saya, tapi semakin saya melawan, semakin jelas bayangan itu menjadi, seperti film yang diputar berulang-ulang di kepala saya.
Saya menangis dalam diam, air mata mengalir pelan di pipi, tapi saya tak berani mengeluarkan suara, takut Evelyn mendengar. Rasa bersalah karena fantasi ini terasa seperti pengkhianatan, tapi saya tak bisa menghentikannya. Bagian dari diri saya membenci pria itu, membenci caranya mempermalukan Evelyn, tapi bagian lain—bagian yang membuat saya jijik pada diri sendiri—seolah ingin melihat Evelyn bahagia, bahkan jika itu berarti bersama laki-laki yang lebih kuat, lebih berani daripada saya. Saya tahu ini bukan cinta, bukan keinginan sejati, melainkan cerminan dari rasa rendah diri yang kini menguasai saya. Saya menggigit bibir, mencoba menahan isakan, tapi perasaan itu terus berputar, seperti pusaran yang menarik saya ke dalam kegelapan. Saya merasa seperti laki-laki yang telah kehilangan segalanya, bahkan harga dirinya sendiri.
Saya melirik siluet Evelyn di samping saya, tubuhnya yang biasanya memberi kenyamanan kini terasa jauh, seperti orang asing. Saya ingin merangkulnya, meminta maaf lagi, tapi kata-kata Evelyn tadi malam—culun, cupu, lemah—membuat saya tak berani menyentuhnya. Saya takut dia akan menolak saya, atau lebih buruk, menatap saya dengan kekecewaan yang sama seperti sore tadi. Fantasi gelap itu kembali muncul, membuat saya membayangkan dia dalam pelukan pria itu, tertawa dengan cara yang dulu dia tujukan untuk saya. Saya menutup wajah dengan tangan, mencoba menghapus gambar itu, tapi perasaan aneh itu tetap ada, seperti duri yang tertancap di hati. Saya bertanya-tanya apakah ini hukuman atas kegagalan saya, atau apakah saya benar-benar telah kehilangan akal sehat.
Kamar kecil itu terasa semakin sempit, dinding-dindingnya seolah merapat, menekan saya dengan beratnya pikiran saya sendiri. Saya teringat ruko di lantai bawah, tempat yang dulu penuh tawa dan harapan, tempat saya membangun mimpi bersama Evelyn dan Agnes. Kini, ruko itu terasa seperti jebakan, dan saya adalah laki-laki yang tak bisa melindungi keluarganya dari ancaman yang datang. Fantasi itu kembali, lebih jelas: Evelyn dengan pria itu, matanya penuh gairah, sementara saya berdiri di sudut, tak berdaya, hanya menonton. Saya menangis lagi, air mata mengalir lebih deras, tapi ada bagian dari diri saya yang merasa anehnya terangsang oleh pikiran itu, dan itu membuat saya semakin membenci diri sendiri. Saya menggenggam selimut, berharap bisa mengubur perasaan itu bersama kegelapan malam.
Saya mencoba memikirkan Agnes, putri kami yang sedang tidur di kamar sebelah, tak tahu tentang luka yang kini merobek keluarga kami. Saya selalu bermimpi dia akan meneruskan warisan ruko ini, atau bahkan meraih lebih jauh, tapi kini mimpi itu terasa seperti lelucon pahit. Bagaimana saya bisa berharap dia bangga pada ayahnya, ketika saya sendiri merasa seperti laki-laki yang tak layak? Fantasi itu kembali menyelinap, membuat saya membayangkan Evelyn memilih pria itu karena dia bisa melindungi kami, sesuatu yang saya gagal lakukan. Saya menggeleng, mencoba mengusir pikiran itu, tapi perasaan aneh itu terus ada, seperti bayang-bayang yang mengikuti saya ke mana pun saya pergi. Saya menutup mata, berdoa agar pikiran ini lenyap, tapi mereka terus menari-nari di kepala saya.
Saya teringat kata-kata pria itu, ancamannya bahwa Evelyn akan “melayani” dia jika saya tak bisa membayar tiga juta rupiah. Bau alkohol dari mulutnya, tatonya yang menakutkan, dan senyumnya yang penuh kuasa masih terbayang jelas. Dalam fantasi saya, dia bukan hanya mengambil Evelyn, tapi juga menghina saya, menyebut saya lemah di depan istri saya, dan Evelyn setuju dengannya. Saya merasa perut saya mual, tapi anehnya, ada bagian dari diri saya yang seolah ingin melihatnya terjadi, ingin melihat Evelyn bahagia dengan laki-laki yang lebih jantan. Saya menangis lebih keras, menutup mulut dengan tangan agar suara saya tak membangunkan Evelyn. Perasaan ini terasa seperti pengkhianatan terhadap cinta kami, tapi saya tak bisa menghentikannya, seperti kereta yang melaju tanpa rem.
Saya memikirkan masa lalu, ketika Evelyn dan saya pertama kali bertemu, ketika dia tersenyum pad saya dengan mata penuh cinta. Saya bukan laki-laki yang gagah atau berani, tapi dia memilih saya karena kebaikan hati saya, karena kerja keras saya untuk keluarga. Kini, saya merasa semua itu tak cukup, bahwa saya tak layak untuknya. Fantasi itu kembali, lebih gelap: Evelyn dalam pelukan pria itu, tertawa sambil mengata-ngatai saya, dan saya hanya berdiri di sudut, menangis tapi juga merasa anehnya terpikat. Saya menggigit bibir hingga terasa sakit, mencoba menghentikan pikiran itu, tapi mereka terus datang, seperti gelombang yang tak bisa saya lawan. Saya merasa seperti laki-laki yang telah kehilangan akal, terperangkap dalam pikiran yang kotor dan menyakitkan.
Saya menatap plafon lagi, mencoba mengalihkan pikiran ke masa-masa bahagia, tapi bayangan itu terus kembali. Saya membayangkan Evelyn, dengan hotpants dan tanktop yang dia kenakan sore tadi, bergerak dengan penuh gairah bersama pria itu, sementara saya hanya menonton, tak berdaya. Kata-kata “culun, cupu, lemah” bergema di kepala saya, dan dalam fantasi itu, Evelyn mengucapkannya dengan senyum, seolah dia telah menemukan kebahagiaan yang tak pernah saya berikan. Saya menangis lagi, air mata membasahi bantal, tapi perasaan aneh itu tetap ada, seperti nyala api kecil yang tak bisa saya padamkan. Saya tahu ini salah, tahu ini bukan saya, tapi pikiran itu terus menguasai saya, membuat saya merasa seperti orang asing dalam tubuh saya sendiri.
Saya mencoba memikirkan solusi, cara untuk melawan preman itu, untuk mengembalikan martabat keluarga kami. Tapi setiap kali saya mencoba, fantasi itu menyelinap kembali, membuat saya membayangkan Evelyn memilih pria itu karena dia lebih kuat, lebih berani. Saya merasa jijik pada diri sendiri, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa ada bagian dari saya yang seolah ingin melihatnya terjadi, ingin melihat Evelyn bahagia meski itu berarti kehilangan dia. Saya menggenggam selimut lebih erat, mencoba menahan diri dari pikiran yang semakin liar. Saya tahu saya harus kuat, harus melindungi keluarga saya, tapi malam itu, saya hanya merasa seperti laki-laki yang telah tersesat dalam kegelapan pikirannya sendiri.
Saya memikirkan ruko di lantai bawah, tempat yang dulu jadi simbol kebanggaan keluarga. Kini, setiap sudutnya mengingatkan saya pada kejadian sore tadi, pada tangan pria itu di pinggang Evelyn, pada ketidakberdayaan saya. Fantasi itu kembali, lebih jelas: Evelyn tertawa bersama pria itu, menyebut saya lemah, dan saya hanya menonton, menangis tapi juga merasa anehnya terpikat. Saya menutup wajah dengan tangan, mencoba menghentikan air mata, tapi perasaan itu terus ada, seperti luka yang terus berdarah. Saya tahu ini bukan cinta, bukan keinginan sejati, melainkan cerminan dari rasa rendah diri yang kini menguasai saya. Saya berdoa agar pikiran ini lenyap, tapi mereka terus ada, seperti bayang-bayang yang tak pernah pergi.
Saya akhirnya menyerah pada kelelahan, tubuh saya terasa berat, tapi pikiran saya masih berputar. Fantasi itu terus berulang, seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai: Evelyn dengan pria itu, saya di sudut, dan kata-kata hinaan yang terus bergema. Saya menangis dalam diam, air mata membasahi bantal, tapi ada perasaan aneh yang membuat saya merasa hidup, seolah bagian dari diri saya ingin melihat Evelyn bahagia, bahkan jika itu berarti saya kehilangan segalanya. Saya tahu ini salah, tahu ini akan menghancurkan saya, tapi saya tak bisa menghentikannya. Saya memejamkan mata, berharap tidur bisa membawa saya keluar dari kegelapan ini, tapi saya tahu besok pagi, saya akan bangun dengan luka yang sama.
Saya tidur dengan fantasi itu, pikiran yang kotor dan menyakitkan yang terus berputar di kepala saya. Saya melihat Evelyn, dalam imajinasi saya, memilih pria itu, tertawa dengan gairah yang dulu dia berikan untuk saya. Saya menangis dalam tidur, tapi ada bagian dari diri saya yang seolah menikmati penderitaan itu, dan itu membuat saya semakin takut pada diri sendiri. Saya tahu saya harus bangkit, harus melawan, tapi malam itu, saya hanya tenggelam dalam bayang-bayang yang saya ciptakan sendiri. Ruko Tokoh Jaya, yang dulu jadi kebanggaan, kini terasa seperti penjara, dan saya adalah tahanan yang terperangkap dalam pikiran saya sendiri.
Malam itu berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Saya tahu besok pagi saya harus menghadapi Evelyn, menghadapi ruko, dan mungkin menghadapi preman itu lagi. Tapi fantasi itu, seolah menjadi bagian dari diri saya, membuat saya merasa seperti laki-laki yang telah kehilangan segalanya—martabat, cinta, dan bahkan kewarasan. Saya memejamkan mata, berdoa agar besok membawa keberanian yang saya butuhkan, tapi di lubuk hati, saya takut bahwa saya akan terus tersesat dalam bayang-bayang ini, tak mampu melindungi keluarga saya, tak mampu menjadi laki-laki yang Evelyn dan Agnes harapkan.
195Please respect copyright.PENANASL2v0nJ5CC