Di kota M, sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang dipeluk sawah dan jalan berdebu, aku, Ardi, hidup sederhana bersama istriku, Fitri. Aku adalah karyawan kantor yang bekerja keras, sementara Fitri, wanita lembut yang selalu ceria, menemukan semangat baru lewat pengajian mingguan. Kota M dikenal karena penghormatan warganya pada Hamza, seorang ustaz muda keturunan Arab yang kata-katanya dianggap petuah suci, terutama oleh warga miskin yang melihatnya sebagai pencerah di tengah hidup yang keras.
Pengajian Hamza di lapangan sepakbola tua adalah peristiwa meriah, bagai konser penuh arak-arakan, tempat kuli, petani, dan supir berkumpul untuk silaturahmi dan hiburan. Namun, di balik semangat Fitri mengikuti pengajian, aku mulai merasakan cemburu yang menggerogoti. Perhatian Fitri pada nasihat-nasihat Hamza membuatku bertanya-tanya, apakah aku masih menjadi tempat utama di hatinya, atau apakah pesona Hamza perlahan menggeser posisiku sebagai suami.