Kota M, dengan sawahnya yang hijau dan jalan-jalan berdebu, adalah rumah kami. Aku, Ardi, 34 tahun, seorang karyawan kantor biasa yang tiap hari berjibaku dengan tumpukan laporan demi keluarga kecilku. Di sampingku ada Fitri, istriku, wanita yang sampai hari ini masih membuat jantungku berdegup kencang setiap kali ia tersenyum. Kami sudah delapan tahun menikah, dan dari cinta kami lahir Fahri, anak laki-laki kami yang kini berusia lima tahun, lincah dan selalu jadi penutup hari kami dengan tawa riangnya di usia TK. Rumah sederhana kami di pinggir kota M mungkin tak mewah, tapi penuh kehangatan, terutama karena ada Fitri di dalamnya.
Fitri bukan sekadar cantik—ia seperti lukisan hidup yang tak pernah pudar. Rambutnya hitam panjang, selalu tergerai rapi di balik jilbab sederhana yang ia kenakan, dan matanya, ya Tuhan, seperti bintang yang menyala lembut, penuh kehangatan. Kulitnya cerah, dengan pipi yang selalu merona saat ia tertawa, dan senyumnya—senyum itu bisa melelehkan dinding es sekalipun. Di kota M, banyak yang bilang Fitri adalah wanita tercantik, dan aku setuju seribu persen. Tak ada wanita lain yang bisa menandingi pesonanya, bukan cuma karena wajahnya, tapi karena hatinya yang lembut, penuh kasih, dan selalu tahu cara membuatku merasa utuh.
Malam ini, seperti biasa, kami duduk di ruang tamu setelah Fahri tertidur. Aku memandang Fitri yang sedang menjahit baju anak kami, jari-jarinya lincah menggerakkan jarum. Cahaya lampu bohlam tua di ruangan itu seolah memeluk wajahnya, membuatnya tampak lebih memesona. Aku tak tahan untuk tak bicara.
“Fit,” panggilku pelan, bersandar di sofa dengan senyum yang tak bisa kuhapus. “Kamu tahu nggak, tiap lihat kamu gini, aku merasa kayak orang paling beruntung di dunia.”
Fitri mendongak, matanya menyipit penuh tawa. “Hiii, Mas Ardi, kok tiba-tiba gombal? Lagi kangen, ya?” Suaranya lembut, tapi ada nada genit yang selalu berhasil membuatku tersipu.
“Bukan kangen, sayang. Cuma... ya ampun, lihat deh wajahmu itu. Aku nggak habis pikir, kok bisa ya aku dapetin kamu? Fahri aja kalah ganteng sama ibunya,” candaku, menggeser dudukku lebih dekat ke arahnya.
Fitri tertawa, suaranya seperti lonceng kecil yang berdenting. “Mas, udah deh, nanti aku ge-er. Lagian, aku yang beruntung punya suami kayak kamu. Sabun apa sih yang kamu pake, kok tiap hari makin manis gini?” Ia meletakkan jahitannya, lalu menatapku dengan mata yang penuh cinta.
Aku meraih tangannya, memegangnya erat. “Fit, serius. Aku nggak pernah nyesal satu detik pun nikah sama kamu. Kamu bikin hidupku lengkap. Aku cuma pengen kamu tahu, aku sayang banget sama kamu, sama Fahri, sama keluarga kecil kita ini.” Suaraku sedikit serak, entah kenapa malam ini aku merasa begitu emosional.
Fitri memandangku, matanya berkaca-kaca. “Mas, aku juga sayang sama kamu. Kamu nggak cuma suami, kamu sahabatku, rumahku. Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu di sisiku.” Ia meremas tanganku balik, dan untuk sesaat, dunia seolah hanya milik kami berdua.
Kami terdiam, menikmati kehangatan malam itu. Di luar, suara jangkrik dan angin sepoi-sepoi seolah merestui cinta kami. Fitri kembali menjahit, tapi aku tak bisa berhenti memandangnya. Wanita ini, dengan kecantikan yang tak hanya di wajah tapi juga di hati, adalah alasan aku bangun setiap pagi. Dan aku bersumpah, tak ada apa pun di dunia ini yang bisa menggoyahkan cinta kami—setidaknya, begitulah yang aku pikir saat itu.
-----------------------
Hari ini, suasana sedikit lebih ramai karena poster-poster berwarna cerah bertebaran di tiang listrik dan tembok-tembok sepanjang jalan. Semuanya mengumumkan pengajian akbar Habib Hamza besok malam di lapangan alun-alun, lengkap dengan tulisan besar: “Menyemai Iman, Menuai Harapan.” Warga berbisik penuh semangat, seperti menyambut pesta besar. Aku, Ardi, melihat poster itu sepulang kerja, dan entah kenapa, ada rasa penasaran yang menggelitik di dadaku.
Malam itu, setelah Fahri tertidur dengan buku ceritanya yang penuh coretan, aku duduk di beranda bersama Fitri. Ia sedang menyortir mainan Fahri, wajahnya masih memancarkan kelembutan yang selalu membuatku jatuh cinta berulang kali. Aku membuka percakapan, tanganku memainkan gelas kopi yang sudah dingin. “Fit, kamu lihat poster pengajian Habib Hamza, kan? Besok di alun-alun, katanya bakal ramai banget.”
Fitri mengangguk, matanya berbinar. “Iya, Mas. Aku dengar dari Mbak Sari di pasar, katanya Habib Hamza itu ceramahnya bikin hati adem. Aku pikir, kita ikut, yuk? Biar kita tambah ilmu, tambah takwa. Lagian, kapan lagi kita bisa ke pengajian bareng gitu?” Suaranya penuh antusias, dan aku tak bisa menahan senyum melihat semangatnya.
“Setuju, sayang,” jawabku, memandangnya dengan penuh kasih. “Kita kan selalu bilang pengen lebih dekat sama Allah bareng-bareng. Ini kayak kesempatan buat kita, apalagi katanya acara ini kayak pesta silaturahmi. Aku juga pengen tahu, sih, apa bener Habib Hamza sebagus yang orang-orang omongin.” Aku tertawa kecil, berusaha menutupi rasa ingin tahu yang mulai tumbuh tentang sosok yang begitu diagungkan ini.
Fitri meraih tanganku, jari-jarinya hangat di kulitku. “Pasti seru, Mas. Kita ajak Fahri juga, biar dia mulai kenal suasana pengajian. Aku yakin, kita bakal pulang dengan hati yang lebih tenang.” Ia tersenyum, dan senyum itu, seperti biasa, membuat dunia seolah berhenti sejenak.
Aku mengangguk, membayangkan kami bertiga duduk di lapangan alun-alun, dikelilingi ribuan warga, mendengar ceramah yang katanya bisa menggetarkan hati. “Oke, Fit. Besok kita siap-siap, bawa tikar sama termos kopi biar betah,” candaku, dan kami tertawa bersama. Malam itu, kami merencanakan kehadiran kami di pengajian dengan hati penuh harap, ingin memperkuat iman dan kebersamaan kami sebagai keluarga. Tapi di sudut hatiku, ada sedikit bisik yang tak bisa kuabaikan—entah apa yang menanti kami di lapangan alun-alun besok malam.
---------------------
Kantorku di kota M, sebuah gedung dua lantai dengan cat yang mulai mengelupas, selalu riuh di jam makan siang. Aku, Ardi, duduk di sudut ruang makan karyawan, dikelilingi tawa dan obrolan rekan-rekanku yang sedang menyantap bekal atau mi instan dari warung depan. Meja-meja penuh piring plastik dan gelas teh manis yang berkeringat. Tiba-tiba, ponselku berget.ConcurrentHashMap, dan nama “Fitri Sayang” muncul di layar. Aku tersenyum kecil, sudah bisa menebak apa yang akan ia katakan.
“Mas, kamu lagi makan apa?” Suara Fitri di ujung telepon lembut tapi ceria, seperti selalu. “Aku barusan jemput Fahri dari TK, terus mampir pasar beli ikan. Malam ini aku masak ikan goreng sama sambal terasi, kesukaan kita. Pulang cepat, ya, biar kita makan bareng!” Ada nada antusias dalam suaranya, seolah ikan goreng itu adalah hidangan pesta.
Aku tertawa pelan, merasa hangat di dada. “Wah, sayang, kamu tahu banget caranya bikin aku ngiler. Aku selesai jam lima, langsung gas pulang, deh. Makasih, ya, udah masak spesial gitu.” Aku membayangkan Fitri di dapur, dengan celemek sederhananya, tersenyum sambil menggoreng ikan, dan tiba-tiba rindu rumah terasa begitu kuat.
“Ya pokoknya jangan telat, Mas! Fahri udah nanya-nanya, ‘Bapak kapan pulang?’” Fitri terkekeh, lalu menutup telepon dengan ucapan singkat, “Aku tunggu, ya.” Aku masih tersenyum sambil menyimpan ponsel, tapi tiba-tiba suara Budi, temanku yang duduk di seberang meja, memecah lamunanku. “Wah, Ardi, enak banget, sih, punya istri kayak Fitri. Cantiknya nggak main-main, masak ikan goreng pula. Masih available nggak, tuh, adiknya?” Ia mengedipkan mata, disambut tawa keras dari yang lain.
“Eh, eh, jangan ngarep, Bud. Fitri cuma buat Ardi!” sahut Rina, staf akuntansi yang selalu ikut nimbrung. “Tapi, serius, Ardi, Fitri itu posesif banget, ya? Tiap hari nelpon, kayak takut kamu kabur.” Nada Rina bercanda, tapi ada sedikit sindiran di situ. Aku cuma nyengir, tak tahu harus jawab apa.
“Posesif apa, sih,” bela Dedi, yang sedang menyendok nasi. “Itu namanya perhatian, bro. Ardi mah tinggal selonjor, semua udah diurus Fitri. Aku aja iri, istriku cuma nyuruh aku bawa pulang martabak.” Tawa meledak lagi, dan aku ikut tertawa, tapi pikiranku melayang. Benar juga, ya. Fitri selalu begitu—nelpon tiap jam makan siang, ngingetin aku bawa jas hujan kalau mendung, atau sekadar nanya kabar. Aku baru sadar, betapa perhatiannya dia sebagai istri, dan betapa aku kadang menganggap itu biasa saja.
Aku menatap sisa nasi di piringku, tiba-tiba merasa bersyukur luar biasa. Fitri, dengan semua kecantikan dan kelembutannya, memilihku sebagai suaminya, dan setiap hari ia menunjukkan cinta itu lewat hal-hal kecil seperti ikan goreng dan sambal terasi. Di tengah tawa teman-temanku yang masih menggodaku, aku cuma bisa berjanji dalam hati: aku akan pulang cepat malam ini, untuk Fitri, untuk Fahri, untuk keluarga kecil kami yang sederhana tapi penuh cinta.
---------------------------
Sore di kota M selalu punya cara untuk menenangkan hati. Aku, Ardi, mengendarai motor bebekku yang sudah tua, melaju pelan melewati jalan-jalan berdebu yang diterangi sinar jingga matahari terbenam. Bau sawah dan suara adzan Maghrib dari masjid kecil di ujung kampung menyapa, membuatku semakin tak sabar sampai rumah. Setelah hari yang panjang di kantor, pikiranku hanya tertuju pada Fitri, Fahri, dan aroma ikan goreng yang Fitri janjikan siang tadi.
Begitu sampai di depan rumah sederhana kami, aku memarkir motor di bawah pohon mangga yang rindang. Pintu depan sudah terbuka, dan aroma wangi sabun bayi bercampur sambal terasi menyambutku. Fitri berdiri di ambang pintu, wajahnya cerah seperti bulan purnama. Ia mengenakan daster biru sederhana yang longgar, rambut hitamnya tergerai bebas setelah melepas hijab—tampak begitu cantik, seperti bidadari yang turun ke bumi. Wangi sabun dan sedikit parfum bunga yang ia pakai membuatku tersenyum tanpa sadar. Di belakangnya, Fahri, yang baru selesai dimandikan, berlarian dengan kaus bola kesayangannya, wajahnya basah dan ceria.
“Mas, akhirnya pulang!” seru Fitri, suaranya lembut tapi penuh kehangatan. Ia melangkah mendekat, mengambil tas kerjaku dengan tangan yang lincah. “Ayo masuk, rumah udah rapi, Fahri juga udah bersih. Ikan gorengnya tinggal disajikan.” Ia tersenyum, dan senyum itu, seperti biasa, membuat hatiku luluh.
Aku masuk, masih terpukau melihatnya. Fitri berlutut sebentar, membantu membuka sepatuku dengan gerakan yang begitu alami, lalu menarik kaus kakiku yang sedikit basah karena keringat. “Mas Sayang, mau minum teh dulu apa langsung makan?” tanyanya, berdiri sambil memandangku dengan mata yang penuh perhatian. Rambutnya yang sedikit bergoyang saat ia bergerak membuatku ingin memeluknya saat itu juga.
“Teh dulu, Fit, biar adem dikit,” jawabku, suaraku pelan karena entah kenapa, melihatnya begini membuatku sedikit grogi, seperti pertama kali kami pacaran. Aku duduk di kursi kayu di ruang tamu, memperhatikan rumah yang kini rapi—lantai mengilap, meja makan sudah tertata, dan mainan Fahri tersusun di sudut. Fitri memang selalu punya cara membuat rumah ini terasa seperti surga kecil.
Fahri tiba-tiba meloncat ke pangkuanku, mencium pipiku dengan semangat. “Bapak! Ibu masak ikan besar, lho!” ceritanya, matanya berbinar. Fitri kembali dari dapur dengan segelas teh hangat, meletakkannya di depanku sambil tersenyum. “Fahri, jangan ganggu Bapak, kasih Bapak istirahat dulu,” katanya lembut, lalu menatapku. “Mas, istirahat dulu, ya. Nanti kita makan bareng, aku panasin sambalnya.”
Aku memegang tangannya sebentar, merasakan kelembutan kulitnya. “Fit, makasih, ya. Kamu bikin pulang kerja itu kayak hadiah terindah setiap hari,” kataku, tulus dari hati. Fitri cuma tersenyum, pipinya merona, lalu berbalik ke dapur dengan langkah ringan. Malam itu, dengan Fitri yang begitu cantik dan penuh perhatian, dan Fahri yang berceloteh di sampingku, aku merasa hidup ini sudah lebih dari cukup.
--------------------------
Malam di rumah kami terasa hangat, dengan aroma ikan goreng dan sambal terasi yang masih menari di udara. Aku, Ardi, duduk di meja makan sederhana kami, ditemani Fitri dan Fahri yang sedang asyik mengunyah nasi. Meja kayu kecil itu penuh dengan piring seng dan gelas plastik, tapi kebersamaan kami membuatnya terasa seperti pesta. Fitri, dengan daster birunya yang masih membuatnya tampak memukau, sesekali menyuapi Fahri sambil tersenyum padaku. Fahri, dengan wajah belepotan sambal, bercerita tentang teman TK-nya yang jatuh dari ayunan, membuat kami tertawa hingga perutku terasa penuh bukan cuma karena makanan.
Di luar, suara riuh warga terdengar samar, bercampur dengan deru motor dan teriakan anak-anak. Aku melirik ke jendela, melihat arak-arakan warga yang sedang mempersiapkan pengajian akbar Habib Hamza besok di lapangan alun-alun. Lampu-lampu sementara dipasang, spanduk dikibarkan, dan beberapa pemuda membawa bambu untuk panggung. Kota M seperti bersiap menyambut perayaan besar, penuh semangat dan harapan. Aku menoleh ke Fitri, yang juga memperhatikan keramaian itu dengan mata berbinar.
“Fit, lihat tuh, kayak pasar malam, ya,” kataku, mengangguk ke arah jendela. “Besok pasti ramai banget pengajiannya. Aku dengar dari Dedi di kantor, orang-orang dari kampung sebelah juga pada datang.”
Fitri mengangguk antusias, tangannya masih memegang sendok. “Iya, Mas! Aku tadi ngobrol sama Mbak Sari, katanya Habib Hamza selalu bikin orang pulang dengan hati tenang. Pasti seru, apalagi di alun-alun, kayak konser rohani gitu.” Ia terkekeh, lalu menambahkan, “Aku nggak sabar, Mas. Kita bawa tikar besar, ya, biar nyaman buat Fahri juga.”
Aku tersenyum, membayangkan kami bertiga duduk di tengah keramaian, mendengar ceramah di bawah langit malam. “Pasti, sayang. Aku juga penasaran, apa sih yang bikin semua orang segitu kagum sama Habib Hamza. Yang penting, kita bisa nambah ilmu bareng, nambah takwa.” Aku mengedipkan mata, dan Fitri membalas dengan senyum yang membuat hatiku hangat.
Fahri tiba-tiba menyela, “Bapak, Ibu, besok kita lihat apa di pengajian? Ada balon nggak?” Aku dan Fitri tertawa, dan Fitri mengusap kepala Fahri dengan lembut. “Bukan balon, Nak, tapi ilmu yang bikin hati senang,” jawabnya. Malam itu, sambil menikmati sisa ikan goreng, kami terus mengobrol tentang pengajian besok, penuh antusiasme dan harapan. Di luar, arak-arakan warga semakin riuh, seperti detak jantung kota M yang tak sabar menyambut malam istimewa itu.
2538Please respect copyright.PENANAQr4SW6y02d
2538Please respect copyright.PENANANWUNq4IK1H
TO BE CONTINUED
ns3.146.206.173da2