
BUNDLE CERPEN PDF HEMAT
Jadi Selingkuhan Umma (1-10)
Syakirah SI Succubus Berhijab (Tamat)
Tautan di bio
41Please respect copyright.PENANAytkRviKDqH
41Please respect copyright.PENANAE8qNhhl0QM
41Please respect copyright.PENANA9xwUp8OzzL
Hari Minggu pagi, sinar matahari menyelinap lembut ke kamar kosanku, tapi aku masih terlelap di kasur, badan lelah setelah seminggu penuh kuliah dan drama dengan Amelia.
Dia melayang di sampingku, wajah cantiknya yang pucat bercahaya dekat sekali dengan wajahku, kemejaku yang longgar di tubuhnya tergeser hingga memperlihatkan belahan payudaranya yang seperti pepaya matang, putingnya samar menonjol di balik kain tipis.
“Firman, bangun! Aku kira hari ini kamu ke kampus lagi!” katanya, suaranya genit bercampur polos, lalu sengaja menggesekkan payudaranya yang ranum ke lengan dan pipiku, kelembutannya bikin aku tersentak bangun dengan jantungan. Mataku nggak bisa lepas dari payudaranya yang bergoyang lembut, aroma melatinya memenuhi udara, membawa sensasi seperti belaian gaib yang membangkitkan hasrat. Aku menelan ludah, wajahku memerah, berusaha mengalihkan pandangan tapi gagal total.Aku bangkit dengan wajah panas, mataku masih terseret ke putingnya yang mancung di balik kemeja, bikin jantungku berdegup seperti drum.
“Hari Minggu, Amelia, aku libur, nggak ke kampus,” kataku, suaraku serak, berusaha fokus ke dinding sambil menggosok mata.
Dia cekikikan, “Ooh, libur? Makanya kamu tidur lama banget!” katanya, tangannya memainkan rambut panjangnya, membuat kemeja terbuka lebih lebar, payudaranya yang menggoda dan putingnya yang samar terlihat bikin aku harus menahan napas. “Aku mau sarapan dulu,” gumamku, berharap aktivitas bisa mengalihkan pikiranku dari tubuhnya yang bikin salah fokus. Aku buru-buru berdiri, menuju dapur kecil, tapi bayangan payudaranya masih menghantui kepalaku.
Di dapur kosan, aku mengeluarkan roti tawar dan teflon, berniat bikin roti panggang sederhana dengan teh manis. Amelia melayang di sampingku, kemejaku yang dia pakai sedikit terangkat saat dia mencoba membantu, memperlihatkan pinggulnya yang semok dan sedikit lagi payudaranya yang ranum, putingnya yang mancung bikin mataku terseret meski aku berusaha fokus ke roti.
“Firman, aku bantu, ya! Aku pengen coba masak kayak manusia!” katanya, suaranya riang, tangannya mengambil roti, gerakan itu bikin kemeja bergoyang dan payudaranya menari-nari di depanku. “Iya, bantu aja, tapi… hati-hati, jangan kebakar,” kataku, suaraku canggung, mataku berkali-kali mencuri pandang ke putingnya yang menonjol. Aku buru-buru menyalakan kompor, berharap panas teflon bisa mendinginkan pikiranku yang kacau.
Amelia, dengan polosnya, mencoba memanaskan teflon, tapi gerakannya yang anggun malah bikin kemeja terbuka lebih lebar, payudaranya hampir sepenuhnya terekspos, putingnya yang mancung bikin aku menelan ludah keras seperti tersedak. “Firman, ini gimana caranya? Panas, ya?” tanyanya, matanya polos, tapi senyumnya genit, seolah tahu aku terpaku pada dadanya lagi. “Ehm, tinggal taruh roti di teflon, panggang sebentar,” kataku, berusaha menjelaskan sambil menunduk, tapi pandanganku selalu kembali ke payudaranya yang bergoyang, putingnya seperti magnet yang bikin kepalaku pening.
Aku buru-buru membalik roti, tanganku gemetar, merasa seperti tokoh dalam mimpi erotis yang tak bisa lepas dari pesona hantu seksi ini.Kami akhirnya duduk lesehan di lantai, aku dengan piring roti panggang dan segelas teh manis, sementara Amelia melayang di depanku, kemejanya basah karena tumpahan teh tadi, kain menempel di payudaranya, putingnya jelas terlihat, bikin aku tersedak roti. “Firman, aku mau coba makan ini, boleh?” tanyanya, tangannya mengambil sepotong roti, gerakan itu bikin kemeja bergesek dengan putingnya, bikin jantungku hampir copot.
“Iya, coba aja, tapi… kamu kan nggak butuh makan, ya?” kataku, suaraku serak, mataku nggak bisa lepas dari payudaranya yang basah, putingnya seperti mengundang imajinasi nakal. Dia cekikikan, “Nggak butuh, tapi pengen nyobain kayak manusia!” katanya, lalu menggigit roti dengan ekspresi polos yang bikin dia tambah menggemaskan.
Roti panggang itu dia kunyah perlahan, wajahnya menunjukkan kagum, tapi aku cuma bisa bengong ke payudaranya yang menonjol di balik kemeja basah, putingnya yang mancung bikin pikiranku melayang ke fantasi yang bikin wajahku memerah. “Enak, Firman! Makanan manusia enak, ya!” katanya, cekikikan, sisa remah roti menempel di bibirnya, bikin dia tambah menggoda dengan cara yang tak sengaja.
“Iya, enak… tapi kamu jangan tumpahin teh lagi, ya,” kataku, berusaha bercanda, tapi mataku terus mencuri pandang ke putingnya yang basah, bikin jantungku berdegup seperti drum. Aku menyesap teh, berharap dinginnya bisa menenangkan pikiran yang kacau karena tubuh Amelia yang selalu bikin salah fokus.“Firman, kamu kenapa ngeliatin aku mulu? Kemeja basah apa?” tanyanya, matanya polos tapi senyumnya nakal, tangannya sengaja menarik kemeja hingga payudaranya makin terekspos, putingnya seperti sengaja menggoda mataku.
Aku tersedak teh, wajahku memerah, “Bukan, Amelia, cuma… kemeja kamu basah,” kataku, suaraku canggung, berusaha nggak ngaku kalau aku terpaku pada payudaranya yang ranum.
Dia cekikikan keras, “Ooh, basah, ya? Biarin aja, kan cuma kamu yang lihat!” katanya, nadanya genit, bikin aku semakin salah fokus, putingnya yang menonjol bikin pikiranku berkabut.
Aku buru-buru menunduk ke piring, tapi bayangan dadanya tetap menghantui, membuat sarapan ini terasa seperti adegan panas.Selesai sarapan, aku mencuci piring di wastafel kecil, Amelia melayang di sampingku, kemeja basahnya masih menempel di payudaranya, putingnya yang mancung bikin mataku selalu kembali ke sana meski aku berusaha fokus ke sabun.
“Firman, hari Minggu kamu ngapain kalau nggak ke kampus?” tanyanya, tangannya menyentuh lenganku, dingin gaibnya bercampur dengan kelembutan payudaranya yang sesekali menggesek lenganku, bikin bulu kudukku meremang. “Mmm, biasanya cuma santai, ngerjain skripsi, atau tidur lagi,” kataku, suaraku serak, mataku mencuri pandang ke putingnya lagi, bikin jantungku berdegup kencang.
Aku mengelap tangan, berharap bisa mengendalikan diri dari godaan visual yang bikin kepalaku pening.Aku kembali ke kasur, masih capek tapi pikiranku kacau karena Amelia yang terus melayang dekat, kemejanya kini sedikit kering tapi payudaranya masih terlihat jelas, putingnya yang mancung menggoda setiap kali dia bergerak, bikin aku menelan ludah keras.
“Firman, aku suka hari Minggu, soalnya kamu nggak buru-buru, bisa nemenin aku lebih lama!” katanya, suaranya riang, lalu melayang duduk di udara di depanku, kemeja terbuka sedikit hingga putingnya samar terlihat, bikin jantungku hampir copot. “Iya, hari ini santai aja, Amelia,” kataku, berusaha tenang, tapi mataku nggak bisa lepas dari payudaranya yang ranum, bikin kepalaku pening dengan fantasi nakal.
Aku merebahkan diri, merasa Minggu ini bakal penuh godaan dari hantu seksi ini.“Firman, kamu mau aku bantu apa lagi? Masak lagi? Atau… kita main kayak tadi pagi?” tanyanya, cekikikan, nadanya genit, tangannya sengaja menyentuh dadanya, membuat putingnya makin menonjol di balik kemeja, bikin aku tersipu dan jantungku berdegup seperti drum. Aku tertawa canggung, “Udah, Amelia, cukup masak tadi. Aku mau santai dulu,” kataku, wajahku memerah, mataku masih mencuri pandang ke payudaranya yang menggoda, putingnya seperti magnet yang bikin aku lupa skripsi.
Dia tersenyum nakal, “Oke, tapi aku tetap nemenin kamu, ya!” katanya, lalu melayang mendekat, aroma melatinya memenuhi udara, bikin kamar kecilku terasa seperti panggung petualangan sensual. Aku mengangguk, tahu hari Minggu ini bakal jadi hari yang tak terlupakan dengan Amelia di sampingku.
---------------------------------------------
“Firman, aku tahu, deh, kamu suka banget ngeliatin payudaraku, ya?” katanya, suaranya genit, tangannya sengaja menyentuh dadanya, membuat putingnya makin menonjol, bikin jantungku berdegup kencang. Aku tersedak air, batuk-batuk, wajahku memerah seperti tomat.
“Kalau kamu mau pegang payudara dan putingku, boleh, kok,” tambahnya, nadanya polos tapi menggoda, bikin aku hampir menumpahkan gelas.Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri, tapi pandanganku nggak bisa lepas dari payudaranya yang ranum, putingnya yang nyeplak di balik kemeja bikin kepalaku pening. “Amelia, seriusan, kamu… jangan gitu, aku keselek!” kataku, suaraku serak, berusaha bercanda sambil menyeka air dari daguku.
Dia cekikikan keras, melayang mendekat, kemejanya bergoyang hingga memperlihatkan lebih banyak kulit pucatnya yang mulus, putingnya seperti mengundang imajinasi nakal. “Aku serius, Firman! Kamu kan suka, tiap hari ngeliatin,” katanya, nadanya genit, tangannya memainkan rambut panjangnya, bikin aku semakin salah fokus.
Aku menggeleng, berusaha mengalihkan pikiran, tapi bayangan payudaranya yang tadi dia sentuh masih menghantui.“Ehm, Amelia, kamu tahu nggak, wanita manusia biasanya pake BH, pakaian dalam buat nutupin… payudara,” kataku, wajahku masih memerah, berusaha mencari topik yang lebih aman meski mataku masih mencuri pandang ke putingnya.
Dia memiringkan kepala, matanya besar melebar, “BH? Apa itu? Kayak apa?” tanyanya, suaranya polos, tapi senyumnya nakal, bikin aku menelan ludah lagi. Aku mengambil ponselku, membuka aplikasi marketplace, dan menunjukkan gambar bra dengan canggung. “Ini, BH, buat nutupin… gitu, biar nggak kelihatan,” kataku, suaraku serak, mataku sesekali melirik ke payudaranya yang nyeplak, bikin jantungku berdegup kencang.
Amelia melayang mendekat, wajahnya dekat dengan layar ponsel, dan payudaranya bergoyang lembut di dekat lenganku.Amelia menatap layar ponsel, matanya berbinar saat melihat berbagai model bra, dari yang polos hingga renda-renda yang seksi. “Wah, ini cantik banget! Lihat, Firman, yang renda-renda ini! Kok manusia bikin pakaian dalam secantik ini?” katanya, suaranya penuh kagum, tangannya menggesek layar ponsel, bikin kemejaku terbuka lebih lebar, putingnya yang mancung makin jelas, bikin aku harus menunduk untuk menahan diri.
Aku tersenyum canggung, “Iya, ada macem-macem, ada yang minimalis, warna-warni, biar… nyaman,” kataku, berusaha menjelaskan, tapi pandanganku terus terseret ke payudaranya yang ranum, bikin kepalaku pening. Dia cekikikan, “Cantik banget! Aku mau coba, dong!” katanya, nadanya riang, bikin aku membayangkan dia pakai bra renda, meski dia hantu.
Dia terus scroll ponselku, matanya melebar saat melihat bra berwarna merah dengan renda halus, lalu bra minimalis hitam yang seksi. “Firman, yang ini bagus! Lihat, kayak bunga-bunga gitu!” katanya, menunjuk layar dengan semangat, gerakan itu bikin kemejanya bergoyang, payudaranya dan putingnya yang nyeplak bikin aku menelan ludah keras. “Iya, bagus… tapi, kamu kan hantu, perlu BH nggak sih?” tanyaku, setengah bercanda, tapi mataku nggak bisa lepas dari putingnya yang menonjol di balik kain basah tadi pagi.
Dia cekikikan, “Pengen coba aja, biar kayak wanita manusia!” katanya, nadanya genit, bikin aku tersipu. Aku mengangguk, berusaha fokus ke ponsel, tapi bayangan payudaranya masih mengacauk pikiranku.“Firman, beliin aku BH, dong! Sama celana dalam, sepasang, yang cantik kayak ini!” katanya, menunjuk bra renda pink dan celana dalam serasi, matanya berbinar seperti anak kecil di toko mainan. Aku tersedak lagi, meski gelasku sudah kosong, wajahku memerah membayangkan Amelia pakai pakaian dalam itu, payudaranya yang ranum tertutup renda, putingnya yang mancung samar di baliknya. “Ehm, serius? Kamu mau pake?” tanyaku, suaraku canggung, mataku mencuri pandang ke payudaranya yang nyeplak di balik kemeja.
Dia mengangguk cepat, “Iya! Aku pengen tahu rasanya pake BH manusia!” katanya, cekikikan, tangannya menyentuh dadanya lagi, bikin putingnya makin menonjol, bikin jantungku berdegup kencang.
Aku buru-buru klik “beli” di aplikasi, berharap ini bisa mengalihkan pikiranku.Sambil menunggu konfirmasi pesanan, Amelia melayang duduk di udara di depanku, kemejanya sedikit terbuka, payudaranya yang besar dan putingnya yang nyeplak bikin aku harus menahan napas agar nggak salah fokus lagi. “Firman, nanti kalau BH-nya datang, aku coba di depan kamu, ya?” katanya, suaranya genit, matanya berbinar nakal, bikin wajahku panas seperti terbakar.
“Ehm, iya, boleh… tapi jangan bikin aku keselek lagi,” kataku, berusaha bercanda, tapi pandanganku terus terseret ke payudaranya, putingnya seperti magnet yang bikin kepalaku pening.
Dia cekikikan keras, “Nggak janji, Firman! Kamu lucu kalau keselek!” katanya, melayang mendekat, aroma melatinya memenuhi udara. Aku nyengir kecut, tahu ini bakal jadi petualangan aneh.Aku bangkit, mencoba mengalihkan perhatian dengan merapikan meja, tapi Amelia melayang di sampingku, kemejanya bergoyang setiap gerakan, payudaranya dan putingnya yang mancung bikin mataku selalu kembali ke sana. “Firman, BH itu nyaman, ya? Nggak bikin sesek?” tanyanya, suaranya polos, tapi tangannya sengaja menyentuh kemeja di dekat putingnya, bikin jantungku berdegup seperti drum. “Iya, katanya nyaman, biar… payudara nggak goyang-goyang,” kataku, suaraku serak, berusaha menjelaskan sambil menunduk, tapi payudaranya yang ranum bikin pikiranku berkabut.
Dia cekikikan, “Goyang-goyang? Kayak aku tadi pagi, ya?” katanya, nadanya nakal, bikin aku tersipu. Aku buru-buru mengangguk, berharap topik ini cepat selesai.Amelia melayang berputar kecil, kemejanya terangkat, memperlihatkan pinggulnya yang semok dan sedikit lagi payudaranya, putingnya yang nyeplak bikin aku menelan ludah keras.
“Firman, aku nggak sabar nunggu BH-nya datang! Aku mau pamer ke hantu lain!” katanya, suaranya riang, tangannya memainkan rambut, bikin kemeja bergoyang lagi. “Pamer? Ke hantu lain?” tanyaku, setengah bercanda, tapi mataku nggak bisa lepas dari putingnya yang menonjol, bikin kepalaku pening dengan imajinasi liar. Dia mengangguk, “Iya, biar mereka iri aku punya BH manusia!” katanya, cekikikan, bikin aku tertawa kecil. Aku membayangkan Amelia memamerkan bra renda di dunia hantu, meski itu terdengar absurd.
--------------------------------------------
Amelia, dengan wajah cantiknya yang pucat bercahaya, menatap layar dengan semangat, tangannya menggesek-gesek ponsel, bikin kemeja bergoyang dan payudaranya yang ranum makin terekspos, putingnya seperti menggoda mataku.
“Firman, aku bingung, mau pilih yang mana! Kamu suka aku pake BH warna apa?” tanyanya, suaranya genit, matanya berbinar nakal, bikin jantungku berdegup kencang. Aku menelan ludah, berusaha fokus ke layar, tapi pandanganku terus terseret ke putingnya yang nyeplak.Aku tersenyum canggung, berusaha menjawab tanpa terdengar terlalu grogi.
“Pilih aja yang kamu suka, Amelia, semua pasti bagus di kamu,” kataku, suaraku serak, mataku mencuri pandang ke payudaranya yang bergoyang lembut saat dia mencondongkan tubuh ke ponsel, putingnya makin jelas di balik kemeja. Dia cekikikan, “Kamu manis, deh! Tapi bantu pilih dong, yang renda pink ini apa yang hitam seksi itu?” katanya, menunjuk dua bra di layar, tangannya sengaja menyentuh dadanya, bikin putingnya makin menonjol, bikin aku menahan napas. Aku buru-buru menunjuk bra pink renda, berharap bisa mengalihkan pikiran dari tubuhnya yang bikin salah fokus.
“Yang pink bagus, kayak cocok sama… aura kamu,” kataku, berusaha bercanda, tapi pikiranku kacau karena putingnya yang nyeplak.Setelah diskusi panjang, Amelia akhirnya memilih tiga pasang bra dan celana dalam serasi: pink renda, hitam minimalis, dan merah dengan detail bunga-bunga.
“Firman, ini semua cantik! Aku mau pake semuanya!” katanya, cekikikan, gerakan itu bikin kemejanya terbuka lebih lebar, payudaranya yang ranum dan putingnya yang mancung bikin mataku terseret lagi, jantungku berdegup seperti drum. Aku checkout pesanan itu dengan layanan same-day delivery, berharap barang cepat sampai biar aku bisa melihat Amelia mencobanya, meski pikiran itu bikin wajahku memerah.
“Pasti cantik banget di kamu,” kataku, suaraku canggung, mataku nggak bisa lepas dari payudaranya yang nyeplak di balik kain.
Dia tersenyum nakal, melayang mendekat, aroma melatinya memenuhi udara, bikin kepalaku pening.Tapi sebelum memesan, aku sadar aku harus memastikan ukuran bra-nya pas dengan payudara Amelia yang besar. “Amelia, kita harus ukur… ehm, dadamu, biar BH-nya pas,” kataku, wajahku panas, berusaha terdengar profesional meski pandanganku terus ke putingnya yang menonjol. Dia memiringkan kepala, “Ukur? Gimana caranya?” tanyanya, suaranya polos tapi matanya genit, bikin aku menelan ludah keras.
Aku membuka YouTube di ponsel, mencari video cara mengukur ukuran bra, dan menemukan tutorial yang menjelaskan soal melingkarkan tali meteran di dada wanita. “Pake tali meteran, lingkarin di… payudara,” kataku, suaraku serak, mataku mencuri pandang ke putingnya yang nyeplak, bikin jantungku berdegup kencang. Aku mengambil tali meteran dari laci, tanganku gemetar membayangkan apa yang akan kulakukan.
Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri, tapi Amelia sudah cekikikan, “Firman, kamu grogi, ya? Ayo, ukur aja!” katanya, nadanya genit, tangannya mulai membuka kemejaku yang dia pakai, memperlihatkan payudaranya yang ranum dan putingnya yang mancung sepenuhnya, bikin aku hampir menjatuhkan tali meteran. “Ehm, iya, buka… buka aja bajunya,” kataku, wajahku memerah seperti tomat, mataku nggak bisa lepas dari payudaranya yang besar, putingnya seperti magnet yang bikin kepalaku pening.
Dia melepas kemeja dengan anggun, tubuh pucatnya yang mulus bikin jantungku berdegup kencang, dan aku berdiri dengan canggung, tali meteran di tangan. Dia tersenyum, “Cepet, Firman, aku nggak sabar!” katanya, suaranya menggoda, bikin aku semakin grogi.
Dengan tangan gemetar, aku melingkarkan tali meteran di dadanya, berusaha fokus ke angka-angka, tapi tali itu menggesek putingnya yang mancung, bikin Amelia kegelian dan cekikikan, pipinya yang cantik memerah meski dia hantu. “Firman, geli, lho! Hati-hati, dong!” katanya, suaranya riang, tapi matanya berbinar nakal, payudaranya yang ranum menekan tanganku, bikin aku menelan ludah keras. Aku berusaha menjaga jarak, tapi putingnya yang menggesek tali bikin wajahku panas, jantungku berdegup seperti drum.
“S-sorry, Amelia, ini… harus pas,” kataku, suaraku serak, mataku terus terseret ke payudaranya yang besar, bikin pikiranku berkabut. Aku mencatat ukuran dengan cepat, berharap selesai sebelum kehilangan kendali.Setelah mengukur, aku memastikan ukuran bra-nya sesuai, sekitar 38C, dan menambahkan baju tidur renda tipis ke pesanan, membayangkan Amelia memakainya, payudaranya yang ranum dan putingnya yang mancung samar di balik renda. “Firman, aku nggak sabar coba semuanya! Pasti aku tambah cantik, ya?” katanya, cekikikan, melayang mendekat, tubuh bugilnya yang pucat bikin mataku nggak bisa lepas dari putingnya yang nyeplak, bikin jantungku berdegup kencang. Aku nyengir canggung, “Pasti, Amelia, kamu udah cantik banget,” kataku, suaraku serak, berusaha tenang meski pikiranku penuh fantasi nakal.
Dia tersenyum, “Kamu manis, Firman!” katanya, nadanya genit, bikin aku buru-buru mengecek status pengiriman di ponsel. Aku berharap same-day delivery ini benar-benar cepat.Amelia melayang duduk di udara di depanku, tubuh bugilnya kini ditutupi kemeja yang dia pakai lagi, tapi tetap longgar hingga payudaranya dan putingnya yang mancung samar terlihat, bikin aku menelan ludah keras.
“Firman, nanti kalau BH-nya datang, aku coba di depan kamu, ya? Kamu harus bilang apa aku cantik!” katanya, suaranya riang, tangannya menyentuh dadanya, bikin putingnya makin menonjol, bikin kepalaku pening. “Iya, pasti cantik,” kataku, wajahku memerah, mataku terus terseret ke payudaranya yang ranum, bikin jantungku berdegup seperti drum.
Dia cekikikan, “Kamu pasti suka lihat aku pake renda pink!” katanya, nadanya genit, bikin aku nyengir kecut. Aku membayangkan dia dalam bra renda, putingnya samar di balik kain tipis, dan buru-buru menunduk ke ponsel.Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan merapikan meja, tapi Amelia melayang di sampingku, kemejanya bergoyang setiap gerakan, payudaranya yang besar dan putingnya yang nyeplak bikin mataku selalu kembali ke sana.
“Firman, BH itu bikin nyaman, ya? Nggak bikin sesek?” tanyanya, suaranya polos, tapi tangannya sengaja menyentuh kemeja di dekat putingnya, bikin jantungku hampir copot. “Iya, katanya nyaman, biar… payudara nggak goyang-goyang,” kataku, suaraku canggung, mataku nggak bisa lepas dari putingnya yang mancung, bikin pikiranku berkabut.
Dia cekikikan, “Goyang-goyang? Kayak aku tadi pagi, ya?” katanya, nadanya nakal, bikin aku tersipu. Aku mengangguk, berharap topik ini selesai sebelum aku kehilangan akal.Amelia melayang berputar kecil, kemejanya terangkat, memperlihatkan pinggulnya yang semok dan sedikit lagi payudaranya, putingnya yang nyeplak bikin aku menelan ludah keras.
“Firman, aku mau pamer BH ini ke hantu lain! Biar mereka tahu aku paling modis!” katanya, suaranya riang, tangannya memainkan rambut, bikin kemeja bergoyang lagi. “Pamer ke hantu lain? Serius?” tanyaku, setengah bercanda, tapi mataku terus terseret ke payudaranya, putingnya seperti magnet yang bikin kepalaku pening. Dia mengangguk, “Iya, biar mereka iri!” katanya, cekikikan, bikin aku tertawa kecil. Aku membayangkan Amelia memamerkan bra renda di dunia hantu, meski itu terdengar gila.Aku duduk di kasur, ponselku menunjukkan pesanan bra, celana dalam, dan baju tidur renda sudah dalam perjalanan, pikiranku kacau karena Amelia yang melayang dekat, payudaranya yang ranum dan putingnya yang mancung bikin aku susah fokus.
“Firman, nanti aku coba BH-nya, kamu bantu pasang, ya?” tanyanya, suaranya genit, matanya berbinar seperti mengundang, bikin wajahku panas seperti terbakar. “Iya, kita lihat nanti,” kataku, berusaha tenang, tapi pandanganku terus ke putingnya yang menonjol, bikin jantungku berdegup kencang. Dia tersenyum nakal, “Kamu pasti suka lihat aku pake yang hitam!” katanya, cekikikan, bikin aku nyengir canggung. Aku berharap paket itu sampai sore ini, sebelum pikiranku makin liar.
41Please respect copyright.PENANA5EpEpXZWvw