
Bab 3
266Please respect copyright.PENANAOCUbR0PGEt
Beberapa hari kemudian…
Ponsel Sinta berderding beberapa kali saat aku sedang bermain dengan ketiga anakku di ruang tamu. Ku lihat ada panggilan masuk dari Dissa. Tapi Sinta masih di kamar mandi. Aku fokus bermain dengan anak-anak.
Oh, ya. Aku menikah dengan istriku 8 tahun yang lalu. Saat itu usia Sinta 25 tahun, sementara aku 27 tahun. Anak pertamaku, cowok, usia 7 tahun dan sudah masuk SD. Sementara anak kedua cewek, usia 4 tahun adan anak ketiga juga cewek, baru berusia 2 tahun.
Aku bersyukur dan bahagia punya 3 anak yang sehat. Di rumah ini, kami ada 2 pembantu untuk meringankan pekerjaan rumah Sinta. Mereka tinggal di rumah untuk membantu mengurus anak-anak, memasak, cuci baju, bersih-bersih rumah, dan lain-lain.
Penghasilanku sebagai freelance desainer grafis sudah bisa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami. Sisanya aku tabung dan investasi. Berkarir sebagai desainer sejak kuliah, aku sudah punya klien yang terbilang banyak.
Bahkan sejumlah perusahaan besar di Indonesia juga mempercayakan kebutuhan desain mereka ke aku. Sehingga aku sangat bersyukur, cukup bekerja dari rumah saja, bisa dapat penghasilan yang menurutku sudah besar.
“Ada telpon dari Dissa berkali-kali, kayaknya penting banget,” ucapku, saat Sinta baru keluar dari kamar mandi. Ia lalu buru-buru mengambil ponsel di atas meja. Handuk masih melilit di tubuhnya yang basah. Segera ia telpon balik Dissa dan masuk ke dalam kamar.
“Halo Dissa… maaf aku mandi barusan,” katanya, sambil berjalan ke dalam kamar.
Suara Sinta telponan dengan Dissa terdengar sayup-sayup. Tak berselang lama, Sinta bicara sambil menangis. Wah, kenapa lagi ini? Cukup lama keduanya mengobrol lewat telepon. Sinta tak berhenti menangis hingga keduanya mengakhiri obrolan itu.
266Please respect copyright.PENANAaBwTVamMYn
###
266Please respect copyright.PENANAXA0PGtxhFu
Sekitar pukul 10 malam, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Ku minum kopi buatan Sinta, lalu masuk ke kamar. “Anak-anak sudah tidur?” tanyaku pada Sinta yang sedang rebahan di atas kasur sambil memegang ponselnya.
“Sudah tidur semua,” jawab Sinta. Anak-anak memang tidur di kamar berbeda dengan kami. Anak pertama tidur sendiri. Anak kedua dan ketiga tidur sekamar di kamar sebelah. Kadang istri atau pembantu menemani keduanya tidur.
“Kenapa lagi dengan Dissa? Kenapa tadi nangis?” tanyaku. Sebenarnya malas ikut campur dalam urusan mereka. Tapi melihat istriku menangis tadi, aku jadi kasihan pada Sinta.
Sinta menghela nafas. Fokus matanya beralih dari ponselnya, kini melihat ke arahku. Matanya berubah jadi berkaca-kaca.
“Masalah Dissa makin besar pa,” ucap Sinta, lalu ia mengatur nafasnya, untuk melanjutkan ceritanya.
Aku diam, mencoba terlihat antusias mendengar ceritanya.
“Mertuanya terus menuntut Dissa segera hamil. Mereka tidak tahu jika masalah sebenarnya ada pada Roy (suami Dissa). Tapi Suaminya tak mau jujur pada orangtuanya. Jadi Dissa yang seolah disalahkan, karena tak bisa hamil.” Sinta bercerita sambil berlinang air mata.
Aku masih diam dan menganggukan kepala. Berusaha menjadi pendengar yang baik.
“Parahnya lagi, mertuanya menyarankan cerai saja kalau Dissa tak segera hamil. Tapi suaminya malah setuju bercerai, kalau beberapa bulan lagi Dissa tak bisa hamil. Bener-bener gila keluarga mereka. Padahal yang mandul itu Roy,” Sinta bercerita dengan penuh emosi.
Dalam hatiku, aku tak peduli mereka cerai atau tidak. Itu urusan keluarga mereka. Aku masih berusaha mendengar cerita Sinta.
“Ini Dissa lagi bingung banget. Sedih banget. Jadi aku ikut sedih juga!” ucap Sinta sambil menahan air mata.
Sinta terlihat benar-benar sedih dengan masalah yang menimpa sahabatnya. Lalu kupeluk dirinya. Ku tenangkan Sinta.
“Sabar ya… pasti ada jalan keluarnya nanti. Tuhan memberi ujian sesuai dengan kemampuan hambanya. Setiap masalah sudah satu paket dengan solusinya. Tunggu saja,” ucapku, menenangkan Sinta.
Lalu ku kecup keningnya, kemudian pipinya, dan berakhir di bibirnya. Ku lumat bibirnya, Sinta membalas ciumanku. Bibir kami saling beradu. Ku rasakan hangat bibirnya. Sinta terlihat mulai tenang. Aku bisa mengalihkan kesedihannya, ia fokus pada ciuman ini.
“Anak-anak sudah tidur kan?” tanyaku usai menghentikan ciuman itu.
“Sudah. Terus mau ngapain? Aku tahu isi kepala papa,” jawabnya, sambil menjulurkan lidah ke arahku.
“Sudah tahu kan? Ini saatnya,” kataku, lalu menyergap tubuhnya. Kembali kucium bibirnya. Sementara tanganku terus bergerilya di tubuhnya.
Sinta mencoba mengimbangi ciumanku yang sudah berubah menjadi ciuman penuh nafsu. Sedangkan tangan kananku hinggap di buah dadanya yang dilapisi baju tidur tipis–tanpa memakai BH. Sinta memang punya kebiasaan saat tidur tidak mengenakan BH. Katanya, biar tidak gerah. Juga katanya baik untuk kesehatan, sirkulasi darah jadi lancar.
Sehingga aku bisa merasakan payudaranya yang kenyal. Kuremas-remas payudaranya yang pas di genggamanku. Juga aku bisa memainkan putingnya yang timbul dari balik bajunya. Kupilin putingnya dengan jari jempol dan telunjuk ku.
Ciumanku semakin bernafsu. Sinta tahu apa yang ku mau. Dia makin mengimbangi ciumanku. Bibir dan lidah kami saling beradu dengan cukup cepat.
Sementara tanganku kemudian berpindah dari payudaranya, turun menggerayangi tubuhnya yang lain. Kini tanganku meraba perutnya, lalu pelan-pelan turun ke selangkangannya.
Namun saat tanganku berada di bagian paling sensitifnya yang masih dilapisi celana tidur tipis, tangan Sinta mencegah tanganku untuk berbuat lebih.
“Pa… tidak bisa. Aku mens,” katanya, seketika bikin aku kecewa. Ciuman kami pun berhenti. Tanganku juga berhenti meraba tubuhnya. Ku tatap wajah Sinta.
“Lagi pengen banget ya? Mama ‘keluarin’ kayak biasanya ya,” ucapnya.
Sinta biasanya kalau lagi datang bulan, dia bisa tetap memuaskan ku dengan handjob dan blowjob.
“Tidak perlu, nanti bisa aku keluarin sendiri di kamar mandi,” jawabku.
“Jangan… sudah punya istri kok masih dikeluarin sendiri.” Sinta protes.
“Ya udah nanti aja,” kataku. Karena perlahan hilang nafsuku.
“Pokoknya jangan dikeluarin sendiri. Awas ya!” ancam istriku.
Setelah gagal bercinta dengan Sinta, aku memilih melanjutkan pekerjaanku. Sementara Sinta kemudian tertidur pulas. ###
ns18.191.132.105da2