
Bab 2
281Please respect copyright.PENANAyQ577AGxhs
Di atas ranjang, sebelum tidur, Sinta sibuk dengan ponselnya sambil rebahan. Dia nampak serius membaca pesan Whatsapp dan membalasnya. Di sampingnya, aku duduk sambil memangku laptop. Ada kerjaan yang harus segera diselesaikan. Mendesain rebranding logo sebuah perusahaan besar yang dipesan klien ku.
“Pa… kasihan ya Dissa. Sudah lima tahun menikah masih belum dikasih momongan. Sedangkan kita sudah punya anak tiga,” kata Sinta, tampaknya dia sedang berbalas pesan dengan Dissa.
“Mau nambah anak lagi kita?” tanyaku, menimpali, sedikit bercanda. Tapi mataku tetap fokus ke layar laptop.
“Sudah cukup tiga anak. Mama mau fokus urus diri. Masak mau urus anak terus. Mau mempercantik diri. Biar kayak dulu lagi. Dissa aja tambah cantik.” Sinta membandingkan diri dengan sahabatnya.
“Mama sudah cantik kok. Mau diapakan lagi? Lagian kan anak-anak bisa diurus sama pembantu kita,” jawabku.
“Tetap saja, sebagai orangtua, sedikit banyak juga urus mereka meskipun sudah ada pembantu. Mama pingin ikut senam, yoga, fitness. Biar bagus badannya kayak Dissa.” Lagi-lagi Sinta membandingkan diri dengan sahabatnya.
“Sudah bagus kok badan mama. Aku gak menuntut untuk berubah,” jawabku, meyakinkan istriku, supaya dia tidak minder atau membandingkan diri dengan Dissa.
Tapi, istriku setelah melahirkan tiga anak, memang ada perubahan badannya. Ia sedikit gemukan dan jarang merawat diri. Beda dengan waktu masih perawan atau di awal-awal nikah. Tapi itu bukan masalah bagiku. Lagian menurutku masih wajar. Sinta masih terlihat cantik dan badannya juga terbilang ideal.
“Kalau aku cantik dan badanku seksi bagus kan juga demi kamu, pa. Biar papa senang dan tidak melirik wanita lain,” katanya.
“Tenang aja. Aku setia sama mama sampai kapan pun. Serius!” jawabku. Memang selama ini, aku tidak kepikiran untuk main wanita. Bagiku, Sinta sudah spesial.
Meski sudah melahirkan tiga kali dengan normal, menurutku tubuh Sinta tidak terlalu berubah drastis. Dia masih terlihat cantik. Aku juga masih bernafsu pada tubuhnya.
Sinta sekarang berat badannya sekitar 52 kg. Tingginya sekitar 160 cm. Pantat Sinta bertambah besar setelah melahirkan. Sedangkan ukuran payudaranya, tidak banyak berubah. Hanya sedikit kendur dan putingnya menghitam.
Namun jika dibandingkan dengan tubuh Dissa sih, kalau boleh jujur, ya lebih bagus punya Dissa. Apalagi dia masih belum melahirkan. Ditambah, kata istriku, karena Dissa tidak punya anak, jadi banyak waktu untuk merawat dirinya ke salon kecantikan dan juga aktif berolahraga.
“Pa, Dissa ini curhat banyak. Dia bingung masih belum bisa hamil sampai sekarang. Apalagi mertuanya sering bertanya, kenapa masih belum bisa punya anak. Dissa jadi kayak terbebani,” ucap istriku, sambil jarinya fokus mengetik, membalas pesan Dissa.
“Katanya sudah periksa dan konsultasi ke dokter. Kata dokter gimana? Apa alasannya? Solusinya gimana?” tanyaku.
Istriku terlihat sangat serius menatap layar ponselnya. “Iya. Dia sudah menjalankan beberapa program kehamilan yang disarankan dokter. Tapi bertahun-tahun masih belum ada hasilnya. Kata dokter, kendalanya ada di suaminya.”
“Kenapa suaminya?” tanyaku, singkat.
Sinta kemudian menjawab pertanyaanku. “Kata dokter, suaminya kurang subur. Kualitas spermanya kurang bagus. Spermanya encer. Kalau Dissa setelah diperiksa, tidak ada masalah apapun. Kandungannya juga subur.”
“Bisa saja, gara-gara suaminya kecapekan itu. Kerja terus,” jawabku, seadanya, untuk mengimbangi obrolan Sinta.
“Bisa jadi ya. Karena Dissa bilang, suaminya sering kerja ke luar kota. Suaminya kan kontraktor, proyeknya di beberapa kota,” jawab Sinta. Wajahnya murung. Seperti merasakan kesedihan sahabatnya.
“Ya itulah hidup. Setiap orang punya ujian masing-masing. Ada yang ekonominya bagus banget, duit banyak, tapi sulit mau punya anak,” jawabku, sambil terus memperhatikan layar laptop.
“Tapi kasihan pa, umur Dissa sudah 33 tahun, sama kayak aku kan. Sedangkan suaminya lebih tua, cukup jauh umurnya dari Dissa, sudah mau umur 40 tahun,” kata istriku.
“Bisa jadi, karena usia suaminya tambah tua, jadi makin kurang subur,” jawabku. Sedangkan umurku dan Sinta hanya selisih 2 tahun. Saat ini usiaku sudah 35 tahun.
“Ada solusi terakhir kata dokter, kalau mereka ingin punya anak, bisa program bayi tabung. Tapi Dissa gak mau. Sebagai wanita, ia ingin merasakan hamil dan melahirkan. Dia mau punya anak dari rahimnya,” ucap istriku. Kulihat matanya berlinang. Dia nampak sedih dan kasihan sama sahabatnya.
“Ya pakai program bayi tabung saja. Mau gimana lagi, kan tidak bisa paksakan untuk hamil setelah berbagai cara dilakukan,” ucapku.
Mendengar jawabanku, Sinta malah tambah nangis. Air matanya jatuh di ponselnya. Jari-jarinya masih mengetik, membalas pesan dari Dissa.
“Tapi… dia tidak mau program bayi tabung. Dia mau hamil, dia mau anak dari rahimnya!” tegas Sinta lagi, membantahku. Tangannya lalu mengusap air matanya.
Aku menghela nafas. Situasi ini malah mengganggu konsentrasiku dalam mendesain. Aku pun tak merespon ucapan Sinta. Aku lebih fokus ke layar laptop.
“Kasihan ya Dissa… Aku bisa bantu apa ya? Sebagai sahabatnya, aku jadi merasa bersalah, tidak bisa membantunya,” ucap Sinta, malah menyalahkan dirinya sendiri.
Aku masih terdiam. Aku tetap fokus pada pekerjaanku.
“Pa, kok diem aja sih,” Sinta protes.
Konsentrasiku kembali terganggu. “Kamu sudah membantunya kok. Kamu sudah mendengar curhatan dia, saya kira sudah cukup membantunya,” jawabku, sedikit kesal, karena dipaksa untuk ikut memikirkan masalah ini.
“Itu tidak cukup. Aku harus bantu dia.” Sinta masih ngeyel.
“Mau bantu apa?” tanyaku.
“Ya itu, aku bingung!” katanya. Dasar wanita, ribet amat sih. Mau bantu, tapi bingung mau bantu apa.
“Kasih saran dong? Bantu dong!” ucap Sinta. Aku tambah kesal, kenapa harus ikut mengurusi masalah orang lain.
Aku menghela nafas. Mencoba menenangkan diriku. Mencoba tak marah. Kalau aku marah, situasi bakal tambah rumit nampaknya.
“Kasih solusi apa gitu pa,” Sinta terus memaksaku, untuk ikut memikirkan masalah Dissa dan suaminya. Jelas, aku makin kesal. Aku sudah tidak bisa konsentrasi di pekerjaanku.
“Apa perlu aku bantu menghamilinya?” ucapku, asal ngomong saja. Karena sudah benar-benar kesal.
Sinta kemudian menatapku dengan tajam. Ia mengerutkan kedua alisnya. Matanya menyorot ke arahku seperti penuh emosi.
Melihat dirinya marah karena aku salah ngomong, lalu aku nyengir padanya. Karena aku bercanda. Hanya itu responku saat dia marah.
Sinta terus terdiam dengan ekspresi yang tak berubah. Begitu pun dengan aku, terus nyengir padanya.
Beberapa detik kemudian, Sinta mencubit pahaku. “Iiiiihhhhhh papa… orang lagi serius malah bercanda,” ucapnya.
“Hahahahaha…….” aku pun tertawa. “Terus aku mau jawab apa dong, bingung!,” Aku kembali tertawa.
“Udah ah…. males ngomong sama kamu. Gak bisa diajak serius,” kata Sinta, seperti kesal dengan responku. Lalu ekspresinya berubah, ikut tertawa kemudian.
“Hayooo… coba pikirin, kita bisa bantu apa? Dokter bukan,” jawabku, bercanda lagi.
“Hmmmm… udah ah, aku mau tidur aja,” jawabnya. Kemudian menaruh ponsel di atas meja sebelah ranjang. Dia membalikan badan, membelakangiku, lalu tidur. ###
ns3.16.136.129da2