
Keesokan harinya di SMP pinggiran kota, kelas IPA berlangsung seperti biasa, dengan Bu Maya menjelaskan fotosintesis di depan papan tulis, wajahnya sedikit tegang, seolah menyimpan rahasia. Joko, duduk di bangku belakang, tak bisa fokus, pikirannya penuh dengan bayangan “pelajaran” sore kemarin. Saat bel berbunyi, Bu Maya memanggilnya pelan, “Joko, sebentar, Ibu mau bicara.” Di sudut kelas, dengan suara rendah, Bu Maya berkata, “Jo, soal kemarin… itu cuma buat pelajaran, ya. Kita rahasiakan, jangan sampai ada yang tahu, bisa repot. Kamu janji, kan?” Joko mengangguk cepat, “I-iya, Bu, saya janji! Gak akan bilang siapa-siapa.” Lalu, dengan wajah merona dan suara gugup, ia menambahkan, “Tapi, Bu Maya, payudara Ibu… ehm, bener-bener bagus, bulat gitu, kayak di majalah paman saya. Cantik banget!” Bu Maya tersentak, pipinya memerah, tersipu malu tapi berusaha tegas, “Joko, ya Tuhan, jangan ngomong gitu! Sudah, fokus belajar, nanti Ibu kasih pelajaran tambahan lagi kalau kamu masih goblok!” Ia buru-buru berbalik, menyembunyikan senyum kecil, sementara Joko kembali ke tempat duduk.553Please respect copyright.PENANAvrPkGAtXai
Setelah pelajaran IPA selesai dan kelas mulai sepi, Bu Maya meminta Joko tetap di ruang kelas, pintu ditutup separuh untuk privasi. Dengan suara pelan dan wajah masih sedikit merona, Bu Maya memulai, “Joko, Ibu serius, soal kemarin harus rahasia. Tapi… Ibu juga bingung, kok kamu bisa bilang payudara Ibu bagus gitu. Kamu… sering lihat apa sih di majalah pamanmu?” Joko, awalnya gugup, mulai terbuka, “E-eh, Bu, iya, di majalah itu banyak cerita… orang-orang gitu, Bu, telanjang, terus… ya, gituan. Payudara Ibu beneran mirip yang di gambar, bulat, besar gitu.” Bu Maya tersipu, tapi rasa ingin tahunya muncul, “Ya Tuhan, Jo, majalah apa itu? Isinya… apa, sih, detailnya?” Joko, semakin berani, menjelaskan, “Ada cerita orang ciuman, Bu, terus… ada yang ngelus-ngelus badan, kayak kemarin Ibu sama Pak Yanto. Ada juga yang… ehm, masuk-masukin.” Bu Maya, wajahnya memanas, berusaha tetap lugu, “Joko, itu gak boleh dibaca, lho, kamu masih kecil! Tapi… emangnya, kamu suka lihat yang gitu? Ibu… Ibu kemarin kan cuma buat pelajaran, tapi kamu kayak… antusias banget.” Joko mengangguk malu-malu, “Iya, Bu, Ibu cantik, apalagi pas kaosnya kebuka, ketiak Ibu yang rapi sama… payudara Ibu, bikin saya gak bisa lupa.” Bu Maya menghela napas, setengah malu setengah tergoda, “Jo, kamu ini nakal, ya. Tapi… Ibu juga salah, kok, kemarin kelewatan. Kalau… kalau Ibu ajarin lagi soal pubertas, kamu mau serius belajar gak? Tapi cuma kita berdua, gak boleh kayak Pak Yanto lagi.” Joko, jantungnya berdegup kencang, mengangguk cepat, “Mau, Bu! Saya janji serius, asal… asal Ibu ajarin kayak kemarin, boleh lihat bulu-bulu Ibu lagi.” Bu Maya tertawa kecil, pipinya merah, “Ya Tuhan, Joko, kamu! Yaudah, nanti sore ke rumah Ibu lagi, tapi ini rahasia, ya. Dan kamu harus janji belajar IPA beneran!” Mereka berpisah dengan senyum canggung, Joko pulang dengan pikiran penuh fantasi erotis, sementara Bu Maya, di balik sifat lugunya, merasa jantungnya berdetak tak biasa, terjebak antara rasa bersalah dan hasrat yang tak ia akui.553Please respect copyright.PENANAHJhJHjhyTz
Sore itu, Joko tiba di rumah mungil Bu Maya dengan jantung berdegup, buku IPA di tangan, tapi pikirannya penuh bayangan dari majalah pamannya dan kejadian sebelumnya. Bu Maya, mengenakan kaos lengan pendek dan rok panjang, menyambut dengan senyum ceria, “Ayo, Jo, kita belajar di meja makan lagi!” Pelajaran dimulai dengan bab siklus air, tapi Joko, seperti biasa, tak bisa fokus, matanya sesekali melirik lengan Bu Maya yang terlihat lembut. Setelah beberapa menit, Bu Maya menghela napas, “Joko, kamu gak paham lagi, ya? Oke, kita coba bab pubertas lagi, biar menarik buatmu.” Ia tersenyum, lalu bertanya, “Jo, di majalah pamanmu itu, ceritanya tentang apa aja sih? Kamu bilang ada…uda gituan tadi.” Joko, wajahnya merona, menjawab pelan, “Ehm, Bu, ya… orang ciuman, pegang-pegang badan, terus… ada yang, ehm, masuk ke… lubang gitu, Bu.” Bu Maya, lugu tapi penasaran, tertawa kecil, “Ya Tuhan, Jo, itu cerita dewasa! Tapi… emangnya, lubang yang mana? Maksudmu… kayak kemaluan, gitu?” Joko mengangguk gugup, “I-iya, Bu, kayak kemaluan Ibu yang kemarin, di situ kan ada… lubangnya.” Bu Maya memerah, tapi tak menghentikan obrolan, “Joko, kamu nakal, ya. Tapi biar paham pubertas, Ibu kasih lihat lagi, deh, cuma buat pelajaran!” Dengan wajah panas, ia sedikit mengangkat roknya, menurunkan celana dalam, memperlihatkan kemaluan yang rapi, lalu menunjuk, “Ini, Jo, di sini ada vaginanya, itu… lubang yang kamu maksud. Kalau laki-laki punya sperma, masuk ke sini, bisa bikin bayi.” Joko menelan ludah, matanya terpaku, lalu bertanya, “Bu, kalau… kalau disentuh, rasanya gimana?” Bu Maya, setengah malu, menjawab, “Ehm, ya… sensitif, Jo, bisa bikin… enak, tapi gak boleh sembarangan! Di majalahmu, mereka ngapain kalau udah lihat gini?” Joko, semakin berani, berkata, “Ada yang cium, Bu, kayak… di lubang itu, terus ngelus pake jari.” Bu Maya menghela napas, “Ya Tuhan, Jo, kamu bikin Ibu bingung! Yaudah, cuma biar kamu paham, sentuh aja vagina Ibu, tapi cuma sedikit, ya, biar tahu bedanya sama ketiak tadi!” Joko, dengan tangan gemetar, menyentuh vagina Bu Maya yang hangat dan lembab, jarinya mengelus perlahan.553Please respect copyright.PENANA4Rj04zIuJE
Di ruang makan rumah Bu Maya, suasana kian panas saat Joko, dengan tangan gemetar, terus mengelus vagina Bu Maya yang hangat dan lembab, jarinya perlahan menelusuri bibir kemaluan gurunya. Bu Maya, awalnya berusaha menjaga sikap lugu, mulai mendesah pelan, napasnya tak stabil, tubuhnya bereaksi dengan sensasi yang tak bisa ia sembunyikan. “Jo… ini cuma pelajaran, ya,” katanya tergagap, wajahnya merona, tapi pinggulnya sedikit bergoyang mengikuti sentuhan Joko. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan obrolan, “Di… di majalah pamanmu, mereka ngapain lagi kalau udah gini? Ceritain, biar Ibu tahu!” Joko, jantungnya berdegup kencang, menjawab dengan suara parau, “Bu, ada yang… jilatin, Bu, kayak lidah masuk ke lubang, terus ada yang… ehm, masukin kontol ke situ.” Bu Maya tersentak, tapi desahannya makin jelas, “Ya Tuhan, Jo, itu… itu gak boleh dibaca! Tapi… rasanya kayak apa, katanya di cerita itu?” Joko, semakin berani, memainkan jarinya lebih dalam, membuat Bu Maya mengerang, lalu berkata, “Katanya enak, Bu, hangat, kayak… kayak vagina Ibu sekarang, basah gitu.” Bu Maya, wajahnya panas, mencoba tetap berwibawa, “Jo, kamu… kamu nakal banget! Ibu… Ibu cuma mau kamu paham pubertas, tapi… ini… oh, sensitif banget!” Ia menggigit bibir, lalu bertanya, “Di majalah, perempuannya ngapain kalau udah… enak gini?” Joko, terbawa suasana, menjawab, “Mereka… minta lebih, Bu, kayak… minta dijilatin atau… dimasukin. Ibu… Ibu suka gini, kan?” Bu Maya, setengah malu setengah terangsang, mendesah, “Joko, Ibu… Ibu gak seharusnya suka, tapi… ya Tuhan, kamu bikin Ibu bingung! Ceritain lagi, apa yang laki-lakinya suka lakuin?” Joko, jarinya masih bekerja, melanjutkan, “Laki-lakinya suka cium payudara, Bu, kayak payudara Ibu yang bulat itu, terus… oral, kayak Pak Yanto kemarin.” Bu Maya mengerang lebih keras, “Jo, jangan ngomongin Pak Yanto! Tapi… payudara Ibu… kamu beneran suka lihat? Kalau… kalau Ibu buka kaos lagi, kamu janji belajar IPA serius, ya?” Obrolan mereka, penuh topik mesum yang diselimuti dalih pendidikan, makin liar.553Please respect copyright.PENANADz1wBK761Z
Lalu dengan tangan gemetar Bu Maya melepas kaos lengan pendek dan BH sederhananya, memperlihatkan payudaranya yang bulat penuh dengan puting kecokelatan yang mengeras. Joko menelan ludah, matanya terpaku, sementara Bu Maya, berusaha membenarkan tindakannya, berkata, “Ini cuma buat pelajaran, ya!” Ia mengangguk pada Joko, suaranya parau, “Ayo, Jo, di majalah ada yang jilatin, coba kamu… jilat vagina Ibu, biar paham rasanya.” Joko, jantungnya berdegup, menunduk, lidahnya menyentuh vagina Bu Maya yang basah, menjilati dari bibir kemaluan hingga klitorisnya, membuat Bu Maya mengerang, “Oh, Jo… itu… enak banget!” Sambil mendesah, ia bertanya, “Di majalahmu, habis jilatin gini, mereka ngapain?” Joko, lidahnya masih bekerja, menjawab, “Bu, mereka cium payudara, kayak payudara Ibu yang bulat, terus… masukin kontol ke vagina.” Bu Maya, tubuhnya bergoyang, mengerang, “Jo, kamu nakal!.553Please respect copyright.PENANAXQjA6HyxTl
“Jo… kamu bikin Ibu… gila! Kalau di majalah ada yang masukin, kamu… mau coba? Cuma pelajaran, ya!” Joko, matanya membelalak, mengangguk penuh semangat, “I-iya, Bu, biar paham!” Dengan tangan gemetar, ia membuka celana seragamnya, memperlihatkan penisnya yang keras, lalu mendekat ke vagina Bu Maya di bawah rok yang tersingkap. Perlahan, ia memasukkan penisnya, merasakan kehangatan dan kepadatan yang membuatnya mengerang pelan, sementara Bu Maya mendesah keras, “Oh, Jo… pelan… ini… enak banget!” Tubuhnya bergoyang mengikuti dorongan Joko, payudaranya yang bulat berguncang setelah ia melepas kaos lengan pendek dan BH sederhananya, dan ia berusaha menutupi rasa bersalah dengan obrolan mesum, “Jo, di majalah, kalau udah gini, laki-lakinya ngapain? Ceritain!” Joko, bergerak perlahan, menjawab, “Bu, mereka dorong cepet, cium leher, pegang payudara… ada yang ganti posisi, kayak dari belakang.” Bu Maya, mengerang, meremas meja, berkata, “Jo, dari belakang… itu kayak apa? Ceritain!” Joko, penisnya makin dalam, menjelaskan, “Perempuan nunduk, Bu, atau di atas meja, laki-lakinya masuk dari pantat, katanya… ketat.” Bu Maya, tubuhnya kian liar, mendesah, “Ya Tuhan, Jo, meja… kayak kita sekarang! Di cerita, perempuannya ngomong apa kalau laki-lakinya dorong gini?” Joko, iramanya bertambah cepat, berkata, “Mereka minta lebih keras, Bu, atau… minta ciuman, cium payudara.” Bu Maya, napasnya berat, berkata, “Jo, cium payudara Ibu, ayo, kayak di cerita!” Joko menunduk, mencium puting Bu Maya yang mengeras, membuatnya mengerang, “Oh, Jo, kamu… nakal! Di majalah, laki lakinya suka apa lagi?” Joko, dorongannya makin intens, menjawab, “Bu, mereka… oral habis ini, atau… masuk ke lubang lain, kayak anus.” Bu Maya, mendesah keras, “Jo, itu… gila! Ceritain, perempuan suka apa kalau udah basah gini?” Joko, merasakan puncak kenikmatan mendekat, berkata, “Mereka… minta keluar di muka, atau… di dalam, Bu.” Tiba-tiba, Joko mengerang, “Bu, saya… saya mau keluar!” Bu Maya, terbawa hasrat, mengerang penuh kenikmatan, “Jo, hamili Ibu, Jo! Keluar di dalam, ini… cuma buat pelajaran reproduksi, tapi rahasia, ya!” Dengan erangan panjang, Joko mencapai klimaks, spermanya mengalir ke dalam vagina Bu Maya, yang mengerang, “Oh, Jo… hangat… Ibu… Ibu juga keluar!” Terengah, ia melanjutkan, “Di majalah, habis gini, mereka apa, Jo? Ciuman, atau… lanjutin?” Joko, napasnya berat, menjawab, “Ciuman, Bu, atau… mulai lagi, kayak oral atau posisi lain.” Bu Maya, wajahnya panas, tertawa kecil meski malu, “Ya Tuhan, Jo, Ibu… pengen tahu semua cerita itu! Tapi kamu harus belajar IPA beneran!” Obrolan mesum mereka, dibalut dalih pendidikan, terus berlanjut, sementara Bu Maya merasakan kehangatan sperma Joko, dan Joko, terhanyut dalam fantasi majalah pamannya, membayangkan “pelajaran” berikutnya yang makin liar.553Please respect copyright.PENANAogPRDFSWv9
Bu Maya terengah-engah, tubuhnya masih gemetar, merasakan kehangatan sperma Joko di dalam vaginanya. Dengan wajah merona dan napas yang mulai tenang, ia menarik roknya kembali dan mengenakan kaos lengan pendek, berusaha mengembalikan sikap gurunya yang lugu. “Jo… ini cuma pelajaran, ya, dan rahasia kita selamanya,” katanya, suaranya lembut tapi tegas. Joko, masih terpukau, mengangguk, celananya sudah rapi, tapi pikirannya penuh bayangan dari “pelajaran” tadi. Bu Maya, duduk di meja makan, memulai obrolan untuk meredakan kecanggungan, “Jo, di majalah pamanmu, kalau perempuannya hamil gara-gara keluar di dalam, mereka ngapain? Ibu… Ibu takut, lho, tadi kan Ibu bilang ‘hamili Ibu’, kalau beneran hamil, gimana?” Joko, wajahnya merona, menjawab dengan nada berani yang terpengaruh cerita mesum, “Ya, Bu, kalau Ibu hamil, kita ngentot lagi aja! Apalagi kalau payudara Ibu udah keluar susunya, pasti lebih seksi, kayak di majalah, saya mau ciumin terus!” Bu Maya tersentak, pipinya memerah, setengah kaget setengah geli, “Ya Tuhan, Joko, kamu… kamu gila! Hamil itu serius, lho, bukan main main! Ibu… Ibu cuma khawatir, kok! Di cerita, perempuannya minta apa kalau udah hamil?” Joko, mengambil buku IPA-nya, menjawab, “Minta pelukan, Bu, atau… minta gituan lagi, katanya hamil bikin mereka lebih pengen. Payudara Ibu yang bulat itu, kalau ada susunya, pasti enak banget.” Bu Maya menggelengkan kepala, tersipu malu, “Jo, kamu nakal banget! Kalau beneran hamil, kamu harus tanggung jawab, bukan mikirin… susu Ibu! Sekarang pulang, udah malam!” Joko mengangguk, berkata, “Bu, makasih pelajarannya… Ibu cantik banget, kalau hamil pasti tambah cantik.” Bu Maya memerah, “Joko, cukup! Cepat pulang, hati-hati!” Ia mengantar Joko ke pintu, tangannya gemetar karena campuran malu dan bayangan kehamilan yang kini terasa nyata. Joko melangkah keluar, tas di pundak, melirik Bu Maya sekali lagi, pikirannya penuh dengan adegan mesum dan fantasi tentang Bu Maya hamil. Pintu ditutup, dan Bu Maya menghela napas panjang, duduk sendirian, hatinya kacau, menyadari “pelajaran” ini telah membawanya ke batas yang berbahaya.553Please respect copyright.PENANAW9LCkxv3Su