
Keesokan harinya di SMP sederhana di pinggiran kota, kelas IPA kembali berlangsung di ruangan pengap, dengan Bu Maya berdiri di depan papan tulis, menjelaskan fotosintesis dengan jilbab cokelatnya yang sedikit bergoyang. Joko, duduk di bangku belakang, pikirannya masih dipenuhi bayangan kemarin, nyaris tak mendengar pelajaran. Saat bel berbunyi, Bu Maya memanggilnya dengan senyum ramah, “Joko, sebentar! Ibu pikir, kamu masih perlu pelajaran tambahan. Gimana kalau sore ini ke rumah Ibu lagi, jam empat? Kita ulang siklus air dan pubertas biar kamu paham.” Joko, jantungnya berdegup kencang, mengangguk cepat, “I-iya, Bu, boleh!” Bu Maya tertawa kecil, pipinya merona, tak sadar efek kata-katanya pada Joko, yang kini membayangkan ulang momen intim kemarin, fantasi dari majalah pamannya bercampur dengan antisipasi sore nanti, membuatnya sama sekali tak fokus pada pelajaran lain sepanjang hari.587Please respect copyright.PENANAe025u28PVC
Dari sudut pandang Bu Maya, pulang sekolah sore itu terasa biasa saja, dengan pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang nilai Joko dan rencana pelajaran tambahan. Namun, saat mengendarai sepeda motor di jalan sepi menuju rumah, ia tak sengaja menabrak seorang gelandangan yang tiba-tiba menyeberang, membuatnya jatuh tersungkur. Untungnya, tak parah, hanya luka lecet di lengan dan kaki pria itu. Dengan hati penuh rasa bersalah, Bu Maya, yang lugu dan berjiwa sosial, buru-buru meminta maaf, “Ya Tuhan, Bapak nggak apa-apa, kan? Ayo, ikut saya ke rumah, saya obati lukanya!” Tanpa ragu, ia membantu pria itu naik ke motor, membawanya ke rumah mungilnya. Di ruang tamu, ia mengambil kotak P3K, mengoleskan antiseptik pada luka-luka lecet dengan hati-hati, sembari mengobrol ringan untuk menenangkan pria itu.587Please respect copyright.PENANADifCn9eFQQ
Di rumah mungil Bu Maya, aroma nasi dan ikan mengisi ruang makan saat ia dengan ramah menyajikan sepiring makanan untuk gelandangan bernama Yanto, yang kini duduk di meja makan, melahap hidangan dengan lahap sambil sesekali mengangguk penuh terima kasih atas kebaikan Bu Maya. Dengan kaos lengan pendek dan rok panjang, Bu Maya tersenyum lembut, masih merasa bersalah atas insiden tadi, ketika tiba-tiba Joko mengetuk pintu, tiba tepat waktu untuk pelajaran tambahan. “Jo, masuk! Eh, sebentar, Ibu ceritain dulu,” kata Bu Maya ceria, pipinya merona, saat Joko melangkah masuk dengan buku IPA di tangan, matanya melirik Yanto dengan bingung. “Tadi Ibu nggak sengaja nabrak Bapak Yanto di jalan, lukanya cuma lecet, jadi Ibu bawa ke sini buat diobati dan kasih makan. Sekarang Bapak Yanto lagi istirahat dulu,” jelas Bu Maya polos, tak sadar Joko, yang pikirannya masih dipenuhi fantasi dari majalah pamannya, merasa cemburu melihat kehadiran Yanto, meski ia hanya mengangguk kaku dan duduk di meja, menunggu pelajaran dimulai dengan jantung berdegup kencang.587Please respect copyright.PENANADFFjGLI47t
Di ruang makan rumah Bu Maya, pelajaran tambahan dimulai dengan Joko dan Bu Maya duduk berhadapan, buku IPA terbuka di bab siklus air, sementara Yanto, gelandangan yang kini kenyang, asyik menonton TV di ruang tamu. Bu Maya menjelaskan dengan semangat, tapi Joko, pikirannya masih terpecah antara fantasi erotis dan kehadiran Yanto. Saat pelajaran beralih ke bab reproduksi, Bu Maya menjelaskan, “Joko, sperma dari laki-laki kalau bertemu sel telur perempuan di rahim, itu bisa jadi bayi, manusia baru!” Joko mengerutkan kening, bertanya polos, “Bu, sperma itu kayak apa sih bentuknya? Bisa lihat gak?” Bu Maya, lugu namun bingung, tergagap, “E-eh, sperma itu kecil banget, Jo, gak bisa dilihat mata biasa, perlu mikroskop… Ibu bingung deh cara nunjukinnya.” Ia menghela napas, berpikir keras, tak tahu bagaimana menjelaskan secara visual.587Please respect copyright.PENANAQ7kOfXfaIO
Mendengar percakapan itu dari ruang tamu, Yanto, yang masih duduk di sofa, tiba-tiba berseru, “Bu, kalau cuma sperma, saya bisa bantu! Saya keluarin aja sekarang, biar anak ini lihat!” Bu Maya menoleh, kaget, tapi sebelum ia menjawab, Yanto melanjutkan dengan nada santai, “Tapi syaratnya, saya lakukan di sini, di depan Ibu, biar gak ribet pindah ruang!” Bu Maya, dengan sifat lugunya, ragu sejenak, tapi berpikir ini demi pendidikan Joko, akhirnya mengangguk, “Y-yah, boleh deh, Pak, tapi… cuma buat pelajaran, ya!” Yanto, tanpa malu, berdiri dan menurunkan celananya yang kumal, memperlihatkan penisnya yang besar dan bulu kemaluan yang lebat tak terurus. Bu Maya tersentak, wajahnya memerah, matanya membelalak melihat ukuran dan kondisi itu, berkata tergagap, “P-Pak Yanto, itu… wah, kok… ehm, Ibu maksudnya, ayo cepat, biar Joko paham!” Joko, yang menatap dengan mata terbelalak, jantungnya berdegup kencang, pikirannya bercampur antara rasa ingin tahu dan fantasi liar dari majalah pamannya.587Please respect copyright.PENANAH5nDCTpYO3
Setelah 15 menit, Yanto masih mengocok penisnya tanpa tanda-tanda sperma keluar, wajahnya berkeringat. Bu Maya, awalnya canggung, mulai merasa panas, napasnya tak stabil, terangsang melihat gerakan Yanto, meski berusaha menyembunyikannya. Yanto, dengan nada memohon, berkata, “Bu, kayaknya susah keluar. Tolong… Ibu kocokin, biar cepat!” Bu Maya, wajahnya merona, berpura-pura terpaksa, “Ya Tuhan, Pak, y-yah, biar cepat selesai, tapi cuma buat pelajaran!” Dalam hati, ia tergoda, jantungnya berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, ia mendekat, menggenggam penis Yanto yang besar, mulai menggerakkan tangannya perlahan, wajahnya panas, berusaha fokus pada “tujuan edukasi,” sementara Joko menatap kaku, pikirannya kacau balau.587Please respect copyright.PENANAMluUjgmo4r
Bu Maya, dengan wajah merona dan tangan gemetar, terus mengocok penis Yanto yang besar selama 15 menit, namun sperma tak kunjung keluar. Joko, duduk kaku di meja dengan buku IPA terbuka, menatap pemandangan itu dengan mata membelalak, pikirannya kacau antara rasa ingin tahu dan fantasi liar dari majalah pamannya. Yanto, berkeringat dan napasnya berat, mengeluh, “Bu, ini… kok masih susah keluar, ya!” Bu Maya, yang diam-diam semakin terangsang, napasnya tak stabil, berusaha menyembunyikan gejolak dalam dirinya, menjawab tergagap, “P-Pak Yanto, saya udah coba, lho! Emang… emang susah gitu, ya?” Yanto, dengan nada memohon, menatapnya, “Bu, coba… coba Ibu pake mulut, deh. Pasti cepet keluar! Ibu kan mau Joko cepet paham, ‘kan?” Bu Maya tersentak, pipinya memanas, berkata dengan suara pura-pura terpaksa, “Ya Tuhan, Pak, ini… ini kelewatan! Tapi… yah, demi pelajaran, biar cepat selesai. Cuma sebentar, ya!” Joko, mendengar itu, menelan ludah, jantungnya berdegup kencang.587Please respect copyright.PENANA7QPjdXsOM3
Bu Maya, dengan jantung berdebar dan perasaan campur aduk, menunduk perlahan, berusaha menjaga wajah “guru” yang lugu meski tubuhnya bereaksi sebaliknya. “Joko, kamu… kamu lihat baik-baik, ya, ini cuma biar kamu tahu prosesnya!” katanya, suaranya gemetar, berusaha membenarkan tindakannya. Yanto, dengan senyum kecil, berkata, “Ayo, Bu, santai aja, ini kan buat pendidikan!” Bu Maya, masih berpura-pura ragu, mengangguk kaku, “I-iya, Pak, tapi jangan lama-lama, saya malu, lho!” Dalam hati, ia tak bisa menyangkal rasa terangsang yang kian kuat, aroma tubuh Yanto yang kasar entah kenapa makin memicunya. Dengan gerakan perlahan, ia mendekatkan wajahnya, bibirnya akhirnya menyentuh ujung penis Yanto, mulai mengulum dengan hati-hati, wajahnya panas, berusaha fokus pada “tujuan edukasi,” sementara Yanto menghela napas panjang, dan Joko, di sisi lain, tak bisa berkata apa-apa, pikirannya terperangkap dalam pusaran fantasi erotis yang kian tak terkendali.587Please respect copyright.PENANAOLNx6YAuFG
Yanto, napasnya semakin berat, tiba-tiba menggerakkan tangannya, meremas payudara Bu Maya dari luar kaos lengan pendeknya, membuat Bu Maya tersentak dan berpura-pura menangkis, “P-Pak Yanto, jangan! Ini… ini cuma buat pelajaran, lho!” Yanto, dengan senyum licik, menjawab, “Santai, Bu, cuma bantu biar cepet keluar! Ibu kan mau Joko cepet paham, ‘kan?” Bu Maya, masih mengulum, berusaha protes dengan suara teredam, “Tapi… tapi gak gitu caranya, Pak! Ya Tuhan, Ibu malu!” Namun, tangkisannya lemah, dan akhirnya ia membiarkan tangan Yanto meremas lembut, tubuhnya justru bereaksi dengan sensasi yang makin kuat. “Jok, kamu… kamu lihat aja, ya, ini… ini proses alami!” katanya tergagap pada Joko, yang hanya mengangguk kaku, jantungnya berdegup kencang. Yanto, semakin berani, berbisik, “Bu, enak ‘kan? Ayo, lanjutin, biar cepet selesai!” Bu Maya, wajahnya panas, tak menjawab, hanya melanjutkan gerakan mulutnya, berpura-pura terpaksa meski dalam hati ia terjebak dalam hasrat yang kian membuncah.587Please respect copyright.PENANAUFJeLAazTv
Yanto, napasnya semakin cepat, tiba-tiba menarik diri dari mulut Bu Maya, berkata dengan suara parau, “Bu, saya… saya udah mau keluar, tapi ada syarat! Ibu buka kaos sama BH nya, biar saya keluarin di… di payudara Ibu!” Bu Maya tersentak, wajahnya memanas, berpura-pura protes, “Ya Tuhan, Pak Yanto, ini kelewatan! Gak bisa gitu, saya ‘kan guru!” Yanto, dengan senyum licik, membujuk, “Bu, cuma sekali ini, demi pelajaran Joko! Lagian, Ibu udah baik banget, masa gak bantu sampe selesai?” Bu Maya, tergagap, melirik Joko yang terdiam, lalu berkata dengan suara gemetar, “J-Joko, ini… ini cuma biar kamu paham, ya. Pak Yanto, cuma sekali ini, lho!” Dengan tangan gemetar, ia melepas kaosnya, lalu BH sederhana berwarna krem, memperlihatkan payudaranya yang penuh, berbentuk bulat dengan puting kecokelatan yang sedikit mengeras, dan ketiaknya yang halus dengan bulu tipis terawat.587Please respect copyright.PENANAGzZW7aI5dA
Yanto, matanya membelalak, tak bisa menahan komentar, “Wah, Bu, payudaranya bagus banget, bulat gitu, kayak di film-film! Ketiaknya juga, bulu tipis gitu, rapi, bikin orang penasaran!” Bu Maya, wajahnya semakin merah, berusaha menutupi rasa malu, “P-Pak, jangan gitu ngomongnya! Ini… ini cuma buat edukasi, ayo cepet!” Yanto, tersenyum lebar, berkata, “Iya, Bu, bentar lagi, tenang aja! Joko, lihat baik-baik, ya, ini proses alami!” Joko hanya mengangguk, jantungnya berdegup kencang, sementara Bu Maya, meski berpura pura terpaksa, tak bisa menyembunyikan napasnya yang makin berat, tubuhnya bereaksi pada pujian Yanto dan situasi yang kian tak terkendali, menunggu Yanto memenuhi janjinya untuk mengakhiri “pelajaran” ini.587Please respect copyright.PENANAoDUagvJoYG
“Bu, sebentar lagi!” seru Yanto, suaranya parau, dan dengan beberapa gerakan cepat, ia mengeluarkan spermanya, cairan hangat itu mendarat di payudara Bu Maya, membuatnya tersentak dan buru-buru menutupi dada dengan tangan. “Ya Tuhan, Pak Yanto, udah, kan? Selesai!” katanya tergagap, wajahnya merona panas, berusaha menyembunyikan campuran malu dan rangsangan. Yanto, tersenyum puas, berkata, “Wah, Bu, maaf, ya, tapi payudara Ibu bener-bener top, bikin cepet keluar! Ketiaknya juga, rapi banget, kayak model!” Bu Maya, canggung, memungut kaosnya, berkata, “Sudah, Pak, jangan ngomong gitu! Joko, kamu… kamu paham, kan, tadi? Ini cuma buat pelajaran!” Joko, dengan suara pelan dan gugup, akhirnya berani berkata, “I-iya, Bu, paham. Tapi… Bu Maya cantik banget, payudaranya… ehm, bagus, kayak di majalah.” Bu Maya, terkejut, memerah, “Joko! Ya Tuhan, kalian ini! Sudah, sudah, lihat jam, udah hampir jam enam! Kalian pulang sekarang, ayo!”587Please respect copyright.PENANAjlLEaEOaQQ
Bu Maya, buru-buru mengenakan kaosnya tanpa BH, bergegas mengambil tisu untuk membersihkan payudaranya, sambil berkata, “Pak Yanto, terima kasih udah… ehm, bantu tadi, tapi sekarang pulang, ya. Joko, kamu juga, bawa buku IPA-mu, belajar di rumah!” Yanto, sambil menaikkan celananya, terkekeh, “Bu, Ibu baik banget, tubuh Ibu juga nomor satu! Kalau perlu bantuan lagi, panggil saya, ya!” Joko, mengangguk, menambahkan dengan malu-malu, “Bu, makasih pelajarannya… Ibu bener-bener… ehm, luar biasa.” Bu Maya, dengan wajah masih merah, menggelengkan kepala, “Sudah, kalian, jangan macam-macam! Cepat pulang, hati-hati di jalan!” Ia mengantar mereka ke pintu, Yanto melangkah keluar dengan senyum lebar, sementara Joko, membawa tasnya, melirik Bu Maya sekali lagi, pikirannya penuh bayangan yang tak akan ia lupakan. Pintu ditutup, dan Bu Maya menghela napas panjang, hatinya kacau, menyadari “pelajaran” sore ini telah melampaui batas yang tak pernah ia bayangkan, sementara Yanto dan Joko berjalan menjauh, masing-masing tenggelam dalam ingatan tubuh Bu Maya yang memukau.587Please respect copyright.PENANAiIElnJymxb