News Update:
Beberapa cerpen sumberbarokah ditakedown di victie, jadi cuma bisa dibaca di Penama
-------------------828Please respect copyright.PENANAeDU61MSgzy
828Please respect copyright.PENANAMx2GyhDqzE
Cerpen Baru: Wewe Gombel Cantik (Slice of Life)
Chapter Baru Minggu depan, cekidot:828Please respect copyright.PENANAeKfWXzZin3
https://www.penana.com/story/182109/wewe-gombel-cantik-slice-of-life/
------------------
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di
https://victie.com/app/author/82829
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA828Please respect copyright.PENANAECatgyedmH
---------------------------------------828Please respect copyright.PENANAu1AQosspBx
828Please respect copyright.PENANArK4dJh8VZg
Istriku dan Habib (NTR) Chapter 5828Please respect copyright.PENANApHcC2bRNun
828Please respect copyright.PENANAzsHBAymLOs
Di dalam tenda putih yang ramai, di bawah cahaya temaram petromaks, Fitri masih berada di pangkuan Habib Hamza, tenggelam dalam suasana yang semakin intim dan meriah. Sorak-sorai laki-laki berjubah menggema, gelas teh manis diketuk-ketuk, dan aroma kambing panggang bercampur asap tembakau memenuhi udara. Habib Hamza, dengan tangan yang tak pernah lepas dari tubuh Fitri, terus merangkulnya erat, jari-jarinya mengelus pinggul dan paha Fitri dengan gerakan yang lambat namun penuh maksud, sesekali menarik gamis abu-abunya hingga betisnya semakin terekspos. Fitri, dengan pipi merona dan senyum malu-malu, tampak terbawa suasana, tertawa kecil saat Habib berbisik di telinganya, wajah mereka begitu dekat hingga napasnya pasti terasa di leher Fitri. Ia mencengkeram jubah Habib, seolah nyaman dalam pelukannya, sementara sorakan “Ummi Fitri, bidadari Habib!” dan tawa riuh dari hadirin membuat momen itu terasa seperti perayaan mesra yang tak pantas, meninggalkanku, Anto, di luar tenda dengan hati yang hancur.
Aku tak sanggup lagi menyaksikan Fitri bermesra-mesraan dengan Habib Hamza di tengah keramaian itu. Dengan tangan gemetar, aku menggenggam tangan Fahri, anakku, dan berbalik meninggalkan lapangan alun-alun. “Ayo, Fahri, kita pulang,” gumamku, suaraku parau, nyaris tak terdengar. Langkahku lunglai, kakiku terasa berat seolah menapak di lumpur, sementara hati ini remuk seperti kaca yang pecah berkeping-keping. Jalanan kota M yang tadi ramai kini sepi, hanya diterangi lampu jalan yang redup dan suara jangkrik yang nyaring. Aroma sampah dan sisa makanan dari lapangan masih tercium samar, menambah kehampaan malam yang terasa seperti mimpi buruk. Aku berjalan dengan tatapan kosong, tak mampu memahami bagaimana Fitri, istriku yang kucintai, bisa begitu larut dalam pelukan pria lain, di depan semua orang, sementara aku hanya bisa menonton dari bayang-bayang.
Fahri, yang berjalan di sampingku, terus bertanya dengan suara polos, “Yah, Bunda kenapa nggak ikut pulang? Kok dia masih sama Habib? Bunda seneng, ya, dielus-elus gitu?” Setiap pertanyaannya seperti jarum yang menusuk, memperdalam luka di hatiku. Aku tak bisa menjawab, mulutku terkunci, hanya mampu menggenggam tangannya lebih erat, berharap ia tak melihat air mata yang kutahan. Tatapan mataku kosong, menatap jalan berdebu yang terhampar di depan, rumah-rumah tetangga yang sudah gelap, dan langit malam yang tak lagi berbintang. Fahri terus berceloteh, “Bunda tadi ketawa, Yah, kayak sama Yah di sofa,” katanya, lugu, tak tahu bahwa kata-katanya membuatku semakin hancur, membandingkan kasih sayang kami di rumah dengan tindakan Fitri yang terasa seperti pengkhianatan.
Jalanan yang sepi itu seolah mencerminkan kehampaan di dadaku. Angin malam yang dingin menyapu wajahku, tapi tak mampu mendinginkan api cemburu yang membakar. Aku membayangkan Fitri, dengan gamis abu-abunya yang tersingkap, duduk di pangkuan Habib Hamza, tersenyum genit saat ia mencium jilbabnya dan mengelus tubuhnya. Gambar itu terpaku di pikiranku, setiap elusan, setiap tawa Fitri, setiap sorakan hadirin, seperti memutar ulang mimpi buruk yang tak bisa kuhentikan. Aku merasa tak berharga, seperti suami yang gagal menjaga istri yang kucintai dengan seluruh jiwaku. Fahri, yang kini diam, mungkin merasakan kesedihanku, hanya memegang tanganku erat, langkah kecilnya mengikuti kakiku yang lelet, seolah ia juga merasakan kehampaan malam ini.
Sampai di depan rumah, aku membuka pintu dengan tangan gemetar, lampu ruang tamu yang temaram menyambutku, tapi tanpa Fitri, rumah ini terasa asing. Sofa tua, tempat kami biasa bercinta di tengah malam, kini hanya benda mati yang menatapku dengan ejekan. Aku menggendong Fahri yang mulai mengantuk, meletakkannya di ranjang kecil kami, lalu duduk di lantai, menatap dinding dengan tatapan kosong. “Fitri, kenapa kamu biarin dia sentuh kamu begitu?” gumamku.
------------------
Rumah kecil kami di kota M tenggelam dalam keheningan malam, hanya suara jangkrik dan derit kayu tua yang menemani. Aku, Ardi, duduk di sofa usang di ruang tamu, tempat yang penuh kenangan cinta dengan Fitri, tempat kami hampir setiap malam berbagi gairah yang halal, di mana tubuhnya yang hangat menari di atasku, desahannya pelan agar tak membangunkan Fahri, dan matanya yang penuh cinta membuatku merasa sebagai pria paling beruntung. Kini, sofa ini terasa dingin, menyisakan luka saat aku membayangkan Fitri, istriku, duduk di pangkuan Habib Hamza di tenda putih itu, dirangkul dan dielus dengan mesra, dikelilingi sorak-sorai yang merayakan tindakan itu. Tanganku mencengkeram kain sofa, air mata mengalir tanpa suara, wajahku basah oleh kepedihan yang tak terucapkan, cemburu dan rasa tak berdaya mencabik-cabik hatiku, seolah cinta kami yang suci telah ternoda di depan mata.
Aku menangis dalam sunyi, dada sesak oleh bayang-bayang Fitri yang tersenyum malu-malu di pelukan pria lain, senyum yang dulu hanya untukku. Di sofa ini, tempat kami membangun keintiman, aku kini sendirian, diterpa kenangan malam-malam ketika Fitri memelukku erat, tubuhnya bergoyang dengan penuh cinta, dan tawa kami mengisi ruang tamu yang sederhana. Aku menunduk, tangan gemetar, dan berdoa lirih, “Ya Allah, kembalikan Fitri ke pelukanku, lindungi keluarga kami, buat semuanya membaik.” Isakku terputus-putus, kutahan agar tak membangunkan Fahri yang tertidur di kamar, dan di tengah udara malam yang dingin, aku berpegang pada secercah harapan bahwa Fitri, istriku yang kucintai, akan pulang dan kami bisa menyembuhkan luka yang menganga ini.
---------------------------
Tiba-tiba, suara mesin mobil mendekat, deru pelan yang memecah keheningan jalanan sepi, dan jantungku berdegup kencang saat kulihat mobil tua berhenti di depan rumah. Aku, Ardi, mengintip dari jendela, dan dadaku seperti ditusuk saat melihat Fitri turun dari mobil itu, diantar oleh Habib Hamza, berduaan dalam kegelapan malam. Fitri melangkah masuk dengan gamis abu-abunya yang sedikit kusut, wajahnya cerah seolah tak ada yang salah, seolah aku tak tahu apa yang terjadi di tenda putih itu—rangkulan mesra, elusan di tubuhnya, dan ciuman di jilbabnya. Ia menyalimku, tangannya dingin menyentuhku, dan berkata dengan suara ringan, “Assalamualaikum, Mas,” seolah malam ini hanyalah pengajian biasa, sementara Habib Hamza, tanpa berkata apa-apa, langsung memutar mobilnya dan pergi, meninggalkan debu di udara malam.
Fitri masuk ke rumah, langsung melepas hijab ungunya, rambut hitamnya tergerai, dan tanpa menatapku, ia berjalan ke kamar sambil berkata, “Maaf, Mas, tadi dipanggil Habib dulu, mau cerita-cerita soal pengajian.” Nadanya santai, tapi ia memalingkan muka, menghindari mataku, seolah menyembunyikan sesuatu. Ia mengganti gamisnya dengan daster sederhana, gerakannya cepat, lalu menyiapkan diri untuk tidur tanpa mengajakku ke kasur seperti biasa. “Aku capek, Mas, tidur dulu, ya,” katanya singkat, masih tanpa menoleh, lalu masuk ke kamar tempat Fahri tertidur, menutup pintu dengan pelan. Aku terpaku di sofa, tempat kami biasa berbagi gairah, kini hanya dingin dan sunyi, hatiku masih remuk oleh bayangan Fitri di pangkuan Habib Hamza, dan kini oleh sikapnya yang asing, seolah aku bukan suaminya, hanya bayangan yang tak dilihat.
Aku duduk sendirian di sofa, tanganku mencengkeram kain usangnya, air mata kembali mengalir dalam hening. Fitri, yang biasanya memelukku di sofa ini, kini tidur tanpa sepatah kata mesra, tanpa tatapan cinta yang selalu menghangatkanku. Aroma parfumnya yang manis masih tersisa di udara, tapi terasa pahit bercampur luka di dadaku. Aku ingin mengejarnya, bertanya apa yang terjadi di tenda, kenapa ia membiarkan sentuhan itu, kenapa ia pulang dengan Habib Hamza, tapi kakiku terasa lumpuh, dan suaraku hilang. Malam ini, sofa tua ini bukan lagi tempat cinta kami, melainkan saksi bisu kehancuran hatiku, ditinggalkan dalam sunyi oleh Fitri, istriku, yang kini terasa begitu jauh, seolah tak pernah menjadi milikku.
------------------------------
Aku, Ardi, duduk di sofa ruang tamu, diterpa keheningan malam yang menyiksa, merasa seperti laki-laki paling sengsara di dunia. Mataku masih basah, hati remuk oleh bayangan Fitri di pangkuan Habib Hamza, dirangkul dan dielus di tenda putih itu, sementara sorak-sorai hadirin seperti ejekan yang tak kunjung reda. Tidur terasa mustahil; setiap kali memejamkan mata, aku melihat wajah Fitri yang tersenyum malu-malu di pelukan pria lain, seolah aku, suaminya, tak pernah ada. Aku menatap sofa tua ini, tempat kami biasa bercinta dengan penuh gairah, tapi kini hanya dingin, seperti mencerminkan hatiku yang hancur. Di sudut ruangan, mataku tertumbuk pada beberapa kantong kertas cokelat yang dibawa Fitri saat pulang, tergeletak di dekat pintu, seolah tak sengaja ditinggalkan. Rasa penasaran bercampur cemburu mendorongku untuk bangkit, langkahku pelan menuju kantong-kantong itu, tanganku gemetar saat menyentuhnya.
Naluriku mendorongku untuk membuka kantong kertas itu, meski hati ini berat, takut menemukan sesuatu yang akan memperdalam luka. Di dalamnya, aku menemukan sebotol parfum wanita dengan kemasan elegan, beraroma manis yang asing, dan beberapa potong pakaian wanita—gamis satin dan blus sutra yang tampak mahal, dengan detail renda yang tak pernah kulihat di lemari Fitri. Aku tahu setiap pakaian yang dimiliki Fitri, karena akulah yang selalu membelikannya; ia tak pernah membeli pakaian sendiri, selalu bilang, “Mas, aku suka kalau kamu yang pilih.” Pakaian-pakaian ini, dengan bahan yang lembut dan desain yang mewah, jelas bukan dariku. Pikiranku langsung tertuju pada Habib Hamza—pasti dia yang memberi, dan kecurigaan itu seperti pisau yang menikam, membuatku membayangkan Fitri menerima hadiah ini dengan senyum yang sama yang ia tunjukkan di tenda, senyum yang kini terasa seperti pengkhianatan.
Dengan tubuh lemas, aku menyeret kakiku ke kamar, tempat Fitri sudah tertidur di ranjang kecil kami, di samping Fahri yang masih mendengkur pelan. Aku berbaring di sisinya, tapi malam ini ranjang itu terasa asing, seperti tempat yang tak lagi milikku. Dalam cahaya redup dari lampu luar yang menyelinap lewat celah jendela, aku memandang wajah Fitri—cantik seperti selalu, kulitnya putih mulus, bibirnya merona lembut, dan bulu matanya yang panjang seolah menari dalam tidurnya. Biasanya, aku akan mencium keningnya, seperti ritual setiap malam, atau membelai tubuhnya yang indah, merasakan kehangatan lekuk pinggangnya yang selalu membuatku luluh. Tapi malam ini, aku mengurungkan niat itu; kening dan tubuh itu, yang kini terasa ternoda oleh sentuhan haram Habib Hamza, membuatku tak sanggup menyentuhnya, seolah ia bukan lagi Fitri yang kucintai, melainkan orang asing yang berbagi ranjang denganku.
Fitri, dalam tidurnya, memalingkan tubuhnya, menghadap tembok, punggungnya yang biasanya manja mencari pelukanku kini menjauh. Biasanya, ia akan merengek, “Mas, kelonin aku,” dengan nada genit yang selalu membuatku tersenyum, lalu kami akan berpelukan erat, tubuhnya hangat di dadaku. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, aku tidur tanpa pelukan Fitri, tanpa kehangatan yang selama ini jadi penutup hari-hariku. Aku menatap siluetnya dalam gelap, dadaku sesak oleh cemburu dan kehilangan. Aroma parfum baru dari kantong kertas itu seolah masih menempel di tubuhnya, mengingatkanku pada tangan Habib Hamza yang mengelusnya, pada ciuman di jilbabnya, dan pada sorak-sorai yang merayakan semua itu. Aku ingin membangunkannya, bertanya tentang pakaian dan parfum itu, tapi aku tak punya keberanian, takut jawabannya akan menghancurkan sisa-sisa harapanku.
Aku terbaring dengan mata terbuka, menatap plafon kayu yang mulai lapuk, air mata kembali mengalir tanpa suara. Fitri, yang selalu jadi cahaya dalam hidupku, kini terasa seperti orang asing, meski hanya berjarak beberapa inci di ranjang ini. Pikiranku dipenuhi kecurigaan—apakah pakaian dan parfum itu hadiah dari Habib Hamza? Apakah Fitri menikmati perhatiannya? Mengapa ia tak merasa bersalah saat pulang? Setiap pertanyaan itu seperti beban yang menekan dadaku, membuatku sulit bernapas. Aku mencoba berdoa lagi, “Ya Allah, kembalikan Fitri ke hatiku, jangan biarkan keluarga kami hancur,” tapi doa itu terasa hampa, seperti berbisik ke udara yang tak mendengar. Malam ini, ranjang kami yang kecil terasa luas dan kosong, dipisahkan oleh dinding tak terlihat yang dibangun oleh sentuhan haram dan rahasia yang Fitri bawa pulang.
Udara malam kota M terasa semakin dingin, suara jangkrik di luar seolah mengejek kesendirianku. Aku menarik selimut, tapi tak ada kehangatan yang bisa menghibur. Fitri tetap menghadap tembok, tidurnya nyenyak, seolah tak ada beban di hatinya, sementara aku terjaga, tenggelam dalam luka yang tak terucapkan.828Please respect copyright.PENANAZFbe8td3gB
-------------------------
Pagi di kota M menyapa dengan sinar matahari yang menyelinap lewat celah jendela, tapi aku, Ardi, bangun kesiangan dengan kepala berat, menyadari Fitri tak membangunkanku seperti biasa—kebiasaan yang tak pernah terlewat dalam delapan tahun pernikahan kami. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh, untungnya hari ini Minggu, jadi tak ada kantor yang menanti. Aku berjalan ke dapur, mendengar suara wajan berderit dan aroma ikan asin yang sedang digoreng. Fitri berdiri di depan kompor, sibuk memasak sarapan, gamis rumahnya sederhana namun tetap memancarkan kecantikan yang tak pernah pudar, sementara Fahri duduk di dekatnya, matanya berbinar tak sabar menunggu makan. “Bunda, cepet, Fahri laper!” celotehnya, membuat Fitri tersenyum kecil, tapi ia tak menoleh padaku, seolah aku tak ada di ruangan itu.
Kami akhirnya duduk di meja makan kecil untuk sarapan—nasi, ikan asin, sambal, dan telur dadar yang masih mengepul. Suasana terasa canggung, seperti ada dinding tak terlihat di antara aku dan Fitri. Aku mengunyah perlahan, mencuri pandang ke arah Fitri yang fokus pada piringnya, wajahnya cantik namun dingin, tak seperti Fitri yang biasa menggodaku dengan senyum genit di pagi hari. Fahri, yang lahap menyantap sarapannya, tiba-tiba bertanya dengan lugu, “Bunda, hari ini kita jalan-jalan ke mana?” Fitri, masih tanpa menatapku, menjawab pelan, “Bunda mau pergi dulu, ya, tapi nggak sama Bapak. Fahri di rumah sama Bapak, jangan nakal, ya.” Fahri, dengan mulut penuh nasi, bertanya polos, “Terus, mau sama Habib Hamza?” Fitri tersedak, wajahnya memerah, dan dengan cepat menjawab, “Bunda cuma ada urusan sama panitia sholawatan kemarin, kan Bunda dipanggil ke panggung.” Aku menunduk, dadaku sesak mendengar nama Habib Hamza disebut, tapi tak bisa berkata apa-apa.
Fitri buru-buru menyelesaikan sarapannya, lalu bergegas ke kamar untuk berdandan. Ia keluar dengan gaun satin dari kantong kertas yang dibawanya kemarin—pakaian mahal yang bukan aku belikan, dengan warna biru tua yang memeluk lekuk tubuhnya, membuatnya tampak elegan seperti istri pejabat mapan. Ia menyemprotkan parfum baru yang sangat wangi, aroma manis yang memenuhi ruangan, menambah kesan mewah yang tak biasa. Fitri mendekatiku untuk salim, tangannya dingin menyentuhku, tapi tak ada ciuman di pipi seperti yang selalu ia lakukan sebelum pergi. Ia lalu mencium kening Fahri, berkata lembut, “Jangan nakal, ya, Nak,” dan melangkah keluar pintu. Dari belakang, aku melihat lenggok pinggulnya yang indah dan seksi, gerakan yang dulu hanya untukku, tapi kini membawaku pada bayangan menyakitkan—pinggul itu mungkin akan dielus-elus lagi oleh Habib Hamza, seperti di tenda malam tadi, membuat hatiku kembali remuk.
Aku terdiam di meja makan, menatap sisa sarapan yang kini terasa hambar. Fahri masih mengunyah, tak menyadari ketegangan yang menyelimuti ruangan. Fitri, dengan gaun mewah dan parfum yang asing, telah berubah menjadi sosok yang tak kukenali, wanita yang kini melangkah keluar dengan tujuan yang ia sembunyikan dariku. Aroma ikan asin bercampur bau parfumnya masih tersisa di udara, tapi rumah ini terasa kosong tanpa kehangatan Fitri yang dulu. Aku memandang pintu yang baru saja ditutup, membayangkan langkahnya menuju “urusan” yang tak jelas, dan luka di dadaku semakin dalam, bertanya-tanya apakah Fitri masih istriku, atau sudah menjadi milik orang lain dalam hati dan tubuhnya.
-------------------
Dari kaca jendela ruang tamu yang berdebu, aku, Ardi, memandang dengan jantung berdegup kencang saat sebuah mobil Rubicon hitam mengilap terparkir persis di depan rumah kami di kota M. Fitri, dengan gaun satin biru tua yang memeluk lekuk tubuhnya dan aroma parfum mahal yang masih tersisa di udara, melangkah keluar pintu dan masuk ke mobil itu dengan anggun, seperti istri seorang pria kaya yang duduk di dalamnya. Mobil itu melesat dengan cepat, knalpotnya meraung berisik, meninggalkan debu dan keheningan yang semakin menyesakkan. Aku tak bisa melihat pengemudinya, tapi pikiranku langsung tertuju pada Habib Hamza—pria yang malam tadi merangkul dan mengelus Fitri di tenda putih. Apakah itu dia? Apakah Fitri kini pergi untuk bermesra-mesraan lagi dengannya, seperti di panggung dan tenda, dengan sentuhan yang tak seharusnya diberikan pada istriku? Dadaku terasa seperti dihimpit batu, cemburu dan ketakutan bercampur jadi satu, membuatku tak bisa bernapas.
Pikiran gelapku mengembara, membayangkan Fitri di dalam Rubicon itu, duduk dekat Habib Hamza, mungkin tertawa dengan senyum genit yang dulu hanya untukku, sementara tangan pria itu kembali mengelus pinggul atau pahanya, seperti malam tadi. Aku membayangkan mereka berhenti di suatu tempat sepi, Fitri dengan gaun mewahnya yang dibeli Habib, duduk di pangkuannya lagi, membiarkan ciuman dan elusan yang lebih intim, seolah aku tak pernah ada. Insecurity menyerangku seperti racun—aku, karyawan kantor biasa dengan motor bebek tua, tak bisa menandingi kemewahan Rubicon atau karisma Habib Hamza yang dipuja warga. Fitri, istriku yang cantik dan soleha, kini terasa seperti milik orang lain, dan aku hanya bayangan yang tak berdaya, ditinggalkan di rumah sederhana ini, bergalau dengan fantasi menyakitkan yang tak bisa kuhentikan, bertanya-tanya apakah cinta kami masih utuh atau sudah direnggut oleh pria yang kini membawanya pergi.
828Please respect copyright.PENANAh0b27ZidY2
828Please respect copyright.PENANAZr9EnZUoIK
TO BE CONTINUED
828Please respect copyright.PENANAjiKNaq9dPq
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di
https://victie.com/app/author/82829
828Please respect copyright.PENANAn7ODZk9GJh