
Bab 4
391Please respect copyright.PENANAhAJAfVKoD2
Hari ini aku bangun kesiangan setelah tadi malam lembur sampai jam tiga. Setelah mandi, aku melilitkan handuk di tubuhku dan masuk ke dalam kamar. Saat aku memilih baju di lemari, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seketika bikin aku kaget, karena masih telanjang.
Ternyata Sinta yang masuk dengan tiba-tiba. Nafasnya ngos-ngosan, setelah berlari dari belakang. Ia segera menutup pintu kembali. Seperti ada hal darurat.
“Pa… Dissa setuju….” katanya tiba-tiba. Nafasnya masih belum teratur.
“Setuju apa?” Aku tak paham maksudnya.
“Dissa setuju dengan ide papa,” katanya. Aku masih bingung.
“Ide apa?” tanyaku. Aku masih dalam kondisi telanjang dan sedang mencari baju yang akan ku pakai.
“Dissa setuju. Dia mau dihamili papa.” Deg… jantungku terasa berhenti sejenak. “Haaa???” hanya itu kata pertama yang keluar dari mulutku, untuk meresponnya.
“Gimana sih maksudnya?” tanyaku lagi, untuk memastikan aku tidak salah dengar.
“Papa kan katanya mau menghamili Dissa. Dia setuju. Dia mau,” ucapnya dengan tegas dan jelas. Kini aku sudah tidak salah dengar.
“Haaa… kamu gila ya? Kan aku bilang bercanda, gimana sih. Kok bisa kamu sampaikan ke dia.” ucapku, tiba-tiba jadi panik.
“Kondisinya darurat pa. Dissa sudah bingung, masalahnya jadi besar. Aku juga bingung mau bantu apa sebagai sahabatnya. Coba aku tawarin ide papa itu untuk menghamilinya, ku kira Dissa menolak, ternyata mau,” ujar Sinta, menjelaskan.
“Bentar… bentar… coba kamu pikir dulu. Jangan buru-buru bikin keputusan. Coba pertimbangkan lagi.” Aku minta Sinta untuk berpikir jernih. Karena ini sudah tidak masuk akal. Padahal aku bercanda, malah disampaikan ke sahabatnya.
“Sudah pa. Ini kayaknya keputusan terbaik untuk membantu Dissa,” kata Sinta dengan enteng.
“Bentar… tahan dulu. Ini bukan soal keputusan terbaik. Coba kamu pakai logika lagi. Aku nih, menghamili sahabatmu. Kamu mau? Coba kamu pikir lagi, pakai logika,” ujarku, sambil mengenakan celana dan baju.
“Iya, sudah aku pikir. Ini demi sahabatku. Cuma dengan cara ini, aku bisa membantunya. Gak apa-apa kok, papa menghamilinya. Aku mengizinkan,” jawabnya, lagi-lagi seperti jawaban tanpa logika.
“Kamu gila ya…. Gak… gak… gak… Aku gak mau. Ini gak masuk akal,” jawabku. Karena memang ini adalah hal gila bila benar-benar terjadi.
“Loh pa… aku terlanjur menawarkan hal ini dan dia sudah terlanjur setuju. Dissa mau melakukan apa saja, yang penting dia bisa hamil,” jawab istriku.
“Bagaimana dengan suaminya? Apakah suaminya mengizinkan?” tanyaku.
“Dissa belum bilang ke suaminya sih. Biar ini jadi rahasia kita bertiga saja,” kata Sinta, meyakinkanku.
“Enggak sih… aku gak mau… Bisa bahaya ini,” ucapku. Aku tidak mau resiko. Jika suaminya tahu, tentu ini akan menjadi masalah besar ke keluarga ku. Meskipun, setelah ku pikir-pikir, aku tidak menolak jika ada kesempatan untuk menikmati tubuh Dissa. Tapi aku berpikir rasional, tidak mengedepankan hawa nafsuku. Aku harus berpikir panjang. Aku tak mau terperosok dalam masalah Dissa dan suaminya.
Ekspresi Sinta kemudian jadi berubah mendengar jawabanku. “Pa… Pleaseeee…. tolong ya… tolong bantu aku….” Sinta memohon dan memelas.
Ku lihat wajah Sinta sangat tulus memohon padaku. Dia terlihat sangat tulus untuk membantu temannya.
Aku menghela nafas.
“Ma, apa kamu tidak cemburu aku melakukan ini dengan sahabatmu?” tanyaku. Ku minta dia untuk mempertimbangkan lagi.
“Tidak pa. Aku rela kok demi sahabatku.Anggap saja kita donor sperma ke Dissauntuk membantu kehamilannya,” ucapnya.
Aku terdiam. Tercengang dengan jawaban Sinta. Aku tak menyangka Sinta serela ini demi sahabatnya.
“Mau ya pa… Please…….” Sinta kembali memohon.
Aku masih berpikir beberapa saat untuk membuat keputusan.
“Terserah kamu deh, jika kamu memaksa. Kalau kamu mengizinkan dan rela aku melakukannya, ya gak apa-apa,” kataku.
Aku sudah tidak bisa menolaknya. Karena sepertinya Sinta punya keinginan kuat untuk membantu temannya, walau ku tahu ini caranya salah. Aku tak mau Sinta bersedih lagi karena masalah temannya itu.
Mendengar jawabanku, Sinta kemudian menghampiriku dan memeluk tubuhku dengan erat. “Terimakasih banyak ya pa,” ucapnya.
391Please respect copyright.PENANADzmFPv7TYH
###
391Please respect copyright.PENANAWfLcvhcI5m
Sinta pun kemudian membuat rencana untuk mewujudkan ide gila ini demi kehamilan sahabatnya. Kata Sinta, nunggu momen yang pas saat Dissa pulang ke Surabaya tanpa suaminya. Karena Dissa tetap merahasiakan hal ini dari suaminya. Biar nanti kalau Dissa hamil, seolah-olah ini adalah anak dari Roy.
Misal pun Dissa izin dulu ke suaminya untuk melakukan ini, saya kira pasti suaminya menolak dan marah besar. Suami mana sih, yang mau istrinya dihamili pria lain? Meskipun seorang suami ingin punya anak, tapi pasti maunya istrinya melahirkan anak dari benihnya sendiri, bukan benih titipan pria lain.
“Ma, masih yakin mau mewujudkan ide gila ini?” tanyaku pada Sinta, beberapa hari kemudian, sebelum tidur.
“Loh, papa kok jadi ragu sih?” tanya dia. Wajahnya kemudian jadi sedikit muram. Seolah takut aku berubah pikiran.
“Karena setelah ku pikir-pikir lagi, hal ini selain melanggar norma, juga dilarang dalam agama kita. Ini jatuhnya zina kan? Kita bisa dosa besar.” Aku memberi pemahaman ke Sinta lagi.
“Iya pa… aku tahu ini salah dan berdosa. Tapi… niat kita baik kan sangat baik untuk membantu teman yang sedang kesusahan. Membantu teman yang punya masalah besar,” jawab Sinta dengan mata berlinang.
Mata Sinta seakan memohon dengan sangat agar aku mau membantu Dissa. Ia rela melanggar norma dan agama demi sahabatnya. Ia juga merelakan suaminya untuk sahabatnya.
Aku jadi tak tega lagi, melihat Sinta. Ia benar-benar terlihat tulus untuk membantu Dissa.
“Ya, sudah. Sepertinya keputusanmu sudah bulat,” jawabku. Aku kembali setuju dengan rencana ini.
“Terimakasih ya pa….” jawab Dissa, kembali memelukku. Dia kembali bahagia.
Sinta dan Dissa pun terus menata rencana untuk mewujudkan ide ini. Aku tidak ikut-ikut mengatur rencana. Kapan, dimana, serta bagaimana konsepnya, aku tak mau tahu. Biarkan Sinta dan Dissa yang memikirkannya. Tapi aku jadi deg-degan, tak sabar menunggu waktunya.###
ns3.21.43.72da2