3 BULAN LALU
2707Please respect copyright.PENANA127TsZNfmi
Malam itu, setelah mandi, aku merasa segar dan ringan. Kamar dipenuhi aroma lilin aromaterapi yang menenangkan. Dengan pakaian tidur tipis berwarna nude yang membelai lembut kulit, aku melangkah menuju ranjang dengan senyum di wajah. Rasanya, malam ini istimewa, karena aku akan melakukan video call dengan Mas Imran, suamiku tercinta yang kini jauh di luar pulau. Aku ingat bagaimana tadi pagi Mas Imran begitu antusias sekaligus frustasi saat aku iseng mengirimkan foto telanjangku padanya.
“Sayang, jangan sekarang. Aku udah di kantor.” Ujar Mas Imran lewat sebuah pesan singkat.
Aku yang memang lagi horny bukannya mereda, malah justru kembali mengirimkan foto “nakal” untuk kedua kalinya. Bahkan foto yang kedua aku berpose sangat vulgar, aku mengangkang di atas ranjang, kupertontonkan liang senggamaku yang merekah merah, sementara satu jariku kumasukkan ke mulut layaknya sedang mengoral batang penis Mas Imran. Semua itu tentu saja kupadu dengan sebuah ekspresi binal. Bibirku tersungging kala menekan tombol send pada layar ponselku.
“Please sayang…Jangan siksa aku kayak gini.” Balas Mas Imran, di akhir pesannya ikut ditambahi emoticon menangis.
“Kenapa sih Mas? Kamu nggak mau ini ya?” Balasku sembari kembali mengirimkan foto vaginaku padanya. Kali ini dalam jarak close up.
“Mau banget sayang….” Balas Mas Imran.
“Terus kenapa merajuk begitu sih?” Godaku.
“Bukan merajuk sayang, tapi kalo lagi kerja kayak gini, aku nggak bisa konsentrasi. Kontolku ngaceng tapi nggak bisa di apa-apain.” Balasnya panjang lebar.
“Ya udah sini aku apa-apain kontolmu Mas.” Aku akhiri pesan sembari menambahkan emoticon lidah.
“Nakal kamu sayang. Nanti malam kita video call ya, aku mau lihat kamu masturbasi.” Ujar Mas Imran.
“Aku doang nih yang masturbasi?”
“Nggak dong sayang, aku juga mau ngocok lah.”
“Hihihihi, okey sayang. Love You.”
“Love You too sayang.”
Begitulah akhir percakapan kami lewat pesan singkat di pagi tadi. Sekarang aku sudah bersiap untuk melakukan apa yang diminta oleh suamiku, bukan hanya karena ini adalah tugasku sebagai seorang istri yang harus siap melayani hasrat suami, namun juga karena birahiku sudah kepalang meninggi. Setelah memastikan penampilanku cukup “merangsang” kuambil ponsel di meja samping ranjang dan menekan tombol untuk memulai video call. Tak lama kemudian, wajah Mas Imran muncul di layar. Suamiku tersenyum, hatiku bergetar melihatnya. Betapa aku merindukannya.
“Hi, sayang,” ujarnya, suaranya serak dan dalam.
“Kamu cantik banget malam ini sayang.”
“Gombal, kalo aku cantik, kenapa kamu lebih milih kerja di luar pulau daripada menikmati ini seharian?” balasku sembari meremas payudaraku sendiri yang memang berukuran cukup besar.
“Sayang, kita kan udah ngobrolin ini. Aku di sini itu kerja, buat nyucukupin kebutuhan kita. Aku nggak ada macem-macem di sini, beneran…” Aku selalu suka melihat wajah Mas Imran yang memelas seperti ini. Nampak makin menggairahkan karena aku memposisikan diriku sebagai pengontrol.
“Kamu lagi di mana Mas?” Tanyaku, Mas Imran lalu mengalihkan kamera ponselnya menuju bagian belakang dan menunjukkan sebuah ruangan bercat putih gading yang kuyakini adalah kamar tidurnya di mess kantor.
“Di kamar sayangku…Emangnya mau dimana lagi?”
“Ya, siapa tau kamu udah kecantol janda pulau seberang.” Rajukku dengan mimik wajah merajuk manja. Mas Imran tertawa lebar mendengarnya.
“Mana mungkin aku kecantol wanita lain di sini kalo udah punya kamu yang cantik dan nafsuin?” Mas Imran memang selalu pintar mengambil hatiku. Meskipun seringkali dia melontarkan gombalan garing yang sama, masih saja bisa membuat pipiku merona.
“Kamu sayang aku nggak?”
Perlahan mulai kuturunkan tali gaun tidurku di bagian pundak. Kugerakkan tubuhku segemulai mungkin dengan maksud membuat birahi Mas Imran terpacu. Mas Imran terlihat tak tenang, sesaat dia bangkit dari ranjangnya dan mengunci pintu kamar sebelum kembali menghadap ke arah kamera depan ponselnya.
“Sayang banget sayangku…” Suara Mas Imran terdengar makin berat dan serak. Satu tangannya sudah meluncur ke bawah, tak terlihat oleh mataku namun aku yakin tangannya sudah menuju alat kawinnya.
“Kamu mau ini Mas…?” Satu gerakan terakhir hingga membuat seluruh gaun tidur terlepas dari tubuh.
“Sempurna! Kamu memang istri terbaik sayang!” Pekik Mas Imran seraya menurunkan arah kamera ponselnya sedikit ke bawah. Kini aku bisa menyaksikan bagimana tangan kirinya memegangi batang penis yang sudah kurindukan sekian lama.
“Kocokin Mas….Aku udah nggak tahan…”
Aku juga melakukan hal yang sama, kusandarkan punggungku di bagian belakang ranjang, pahaku kubuka selebar mungkin agar Mas Imran bisa melihat alat kawin yang sudah mengeluarkan satu buah cinta kami. Setelah menempatkan tubuhku senyaman mungkin, aku mulai meletakkan tangan kananku di selangkangan. Baru melihat itu, Mas Imran langsung bersemangat mengocok penisnya.
“Aaacccchhh sayang! Kamu cantik banget!” Racau Mas Imran sambil terus melakukan onani sembari menatap tubuh telanjangku.
“Kamu mau ini Mas…?” Kumainkan permukaan vaginaku, sementara satu tanganku lagi meremasi payudara.
“I-Iya Aku mau sayang…” Gerakan tangan Mas Imran yang mengocok penisnya sendiri makin cepat, kulihat otot pahanya menegang, semoga dia tak keluar cepat seperti yang sudah-sudah.
“Ouucchh Mas…Aku butuh kontolmu..” Satu jariku mulai masuk ke dalam vagina, kukocok secara perlahan sembari memberi ekspresi binal pada Mas Imran yang makin terbakar birahi.
“Sayang…”
“Mas, please jangan dikeluarin dulu…”
“Aduuhh!! Sayang, naikin gulingnya dong.” Pinta Mas Imran, aku langsung sigap mengambil guling di dekatku dan langsung menaikinya.
“Goyangin sayang…” Pintanya lagi.
Aku mulai beraksi dengan menggoyang guling di bawah tubuhku, layaknya saat aku menunggangi tubuh Mas Imran saat bercinta. Kugerakkan tubuhku naik turun, bergoyang kiri dan kanan, menggesek permukaan vaginaku yang gatal pada guling. Dua tanganku sibuk meremasi payudaraku sendiri, kumainkan putingku kiri dan kanan, kutarik-tarik sembari mendesah manja.
“Aaahhh sayang! Kamu binal banget!” Racau Mas Imran, kulihat ujung penisnya makin mengembang seperti kepala jamur.
“Sange banget Mas…” Kuturunkan tangan kananku untuk menyentuh vagina, namun belum sempat aku bermanuver lebih jauh tiba-tiba Mas Imran melenguh panjang, lalu detik berikutnya dari lubang kencingnya menyemprot cairan kental berwarna putih.
Aku mengehentikan gerakan jariku di liang vagina. Mas Imran sudah memuntahkan spermanya, bahkan sebelum aku merasakan kenikmatan dalam bermasturbasi. Kupaksakan senyumku mengembang di hadapan kamera ponsel meskipun hatiku dongkol bukan main. Mas Imran beralih sebentar, lalu kembali dengan membawa beberapa lembar tissu untuk membersihkan sisa ceceran spermanya. Aku memakai kembali pakaian tidurku.
“Aku puas banget sayang, maaf ya nggak bisa lama, besok pagi aku harus kunjungan ke kantor cabang.”
“Hmmm, iya Mas, kamu istirahat aja habis ini.” Sahutku tak bersemangat.
“Kamu marah ya?” Tanya Mas Imran yang bisa melihat ketidakpuasanku.
“Nggak Mas, aku cuma kangen kamu aja. Aku butuh kamu di sini Mas…” Entah kenapa, setelah mengucapkan ini, hatiku seperti tersayat perih. Rindu membuatku menderita.
“Sabar sayang, kurang beberapa bulan lagi kok. Aku pasti pulang untuk kamu dan Aldi.”
“Iya Mas…” Sebelum menutup panggilan, Mas Imran memberi isyarat dengan tatapan yang dalam.
“Selamat tidur, sayangku. Ingat, seberapa jauh jarak memisahkan, hati kita selalu berada di sisi yang sama.”
“Selamat tidur, Mas. Sampai bertemu dalam mimpi,” balasku dengan senyum kupaksakan.
Saat video call berakhir dan layar menjadi gelap, aku terjebak dalam lamunan, merasa hampa seorang diri. Aku terbaring di ranjang, merasakan kegelapan yang mengelilingiku. Suara lembut Mas Imran masih terngiang di telingaku, tetapi semuanya terasa begitu jauh. Komunikasi seperti ini seolah menjadi pengingat akan semua yang hilang. Setiap kali dia membuka suara, rasanya aku hanya mendengar gema dari tempat yang jauh, seakan kata-katanya melayang tanpa bisa menyentuhku. Kerinduan ini menjadi beban yang semakin menghimpit.
“Seharusnya aku merasa lebih baik setelah berbicara dengan Mas Imran" bisikku pada diri sendiri, namun semakin aku meresapinya, semakin hampa rasanya.
Video call seharusnya jadi cara untuk mengobati kerinduan, tetapi malah membuatku semakin tertekan. Setiap detik yang kami lalui di layar rasanya seolah menambah jarak di antara kami. Jarak fisik menjadi lebih nyata, dan perasaanku semakin terbata-bata. Tapi bukan itu saja yang kurasakan, Mas imran selalu bertindak egois. Dia sama sekali tak pernah mempedulikan keinginanku, bahkan untuk membuatku puas dalam menyalurkan birahi saja dia tak pernah mampu.
Kamarku terasa terlalu sunyi. Lilin aromaterapi yang semula memberi suasana hangat kini tidak lebih dari sekadar bau yang mengambang di udara. Aku menatap langit-langit, memikirkan bagaimana rasanya jika Mas Imran ada di sini. Bagaimana kalau dia membisikkan kata-kata manis, membelai rambutku, atau hanya memelukku erat? Semua ini begitu sulit untuk kuhadapi seorang diri.
Kuhirup napas panjang, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. Terkadang, aku bertanya pada diri sendiri, apakah semua ini sepadan? Apakah rindu yang mendalam ini layak untuk dijalani demi cinta? Setiap kali aku berharap untuk merasakan kebersamaan itu kembali, pertanyaan-pertanyaan itu muncul, membayangi pikiranku.
Melihat layar ponsel, aku merasa seolah terjebak dalam rutinitas tanpa akhir. Mas Imran ada di depan mata, tetapi rasa kosong membuatku merasa tak berdaya. Layar kecil itu tidak memberi kehangatan yang dibutuhkan seorang istri sepertiku. Malam demi malam, aku berusaha untuk kuat, tetapi hatiku selalu berontak. Kurasakan aliran air mata mulai jatuh, menetes di pipiku. Di tengah kesunyian malam, aku ingin berteriak, mempertanyakan nasibku.
2707Please respect copyright.PENANA5Lo09QIvDt
BERSAMBUNG
ns216.73.216.247da2