Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota Bogor, Renita menjalani kehidupan yang penuh berkah sebagai seorang ustadzah yang mengabdikan dirinya untuk mengajar Al-Qur'an. Usianya yang telah menginjak 35 tahun tidak menghalanginya untuk terus menyebarkan ilmu agama. Dia dikenal oleh banyak orang sebagai sosok yang bijaksana, lembut, dan memiliki kecantikan alami yang memancar dari dalam dirinya. Renita adalah seorang wanita dengan postur tubuh yang tinggi dan proporsional dengan ukuran payudara 40 B, namun lebih dari itu, ia memiliki hati yang tulus dan penuh kasih.
Renita telah menikah dengan Aziz dan belum di karuniai anak, Aziz adalah seorang pria yang juga berkomitmen pada jalan agama. Aziz berusia 40 tahun dan dikenal sebagai seorang dai yang sering bepergian untuk berdakwah. Meskipun banyak waktu yang ia habiskan di luar rumah untuk tugas dakwah, hubungan mereka selalu hangat, penuh cinta dan saling pengertian.
Di sisi lain, Rangga adalah seorang pemuda berusia 25 tahun yang baru saja memeluk Islam setelah lama terjebak dalam aliran satanisme. Setelah merasa hampa dan kecewa dengan kehidupan sebelumnya, ia mulai mencari kebenaran dan akhirnya menemukan Islam sebagai jalan hidupnya yang baru. Namun, meskipun ia telah memilih untuk menjadi mualaf, Rangga merasa dirinya belum sepenuhnya bisa menjalani agama ini dengan baik. Ia merasa bingung, terombang-ambing dalam perjalanan spiritualnya.
Karena itu, Rangga datang ke rumah Renita untuk belajar lebih banyak tentang agama Islam. Renita, dengan kesabarannya, menerima Rangga dan memberinya bimbingan, mengajarinya membaca Al-Qur'an, mengajarkan doa-doa, serta prinsip-prinsip dasar agama.
Suatu hari, setelah beberapa minggu belajar, Aziz harus pergi untuk melakukan dakwah di Papua selama 30 hari. Ia memutuskan untuk meninggalkan Renita sementara, dan dalam kesempatan ini, Rangga memanfaatkan situasi itu untuk mendekati Renita lebih dekat. Meski tidak ada niat jahat di dalam hatinya, Rangga merasa ada perasaan yang tumbuh lebih dalam terhadap ustadzah Renita. Ia sering terpesona dengan keanggunan Renita yang tak hanya terpancar dari wajahnya, tetapi juga dari cara dia berbicara, cara dia mengajarkan agama, dan sikap rendah hati yang selalu ia tunjukkan.
Suatu sore, saat pelajaran telah selesai, Rangga tinggal lebih lama untuk menunggu waktu shalat Maghrib. Renita tengah sibuk menyiapkan teh di dapur, sementara Rangga duduk di ruang tamu. Ketika Renita masuk ke ruang tamu membawa secangkir teh, Rangga mendekatinya dengan senyuman yang lebih dari sekadar ramah.
"Ustadzah, terima kasih atas semua yang telah diajarkan kepada saya. Saya merasa banyak hal yang belum saya pahami, dan saya sangat menghargai kesabaran Anda," kata Rangga dengan nada lembut, namun ada kesan berbeda di balik kata-katanya. Ia menatap Renita dengan intens.
Renita tersenyum tipis. "Kita semua belajar, Rangga. Agama ini adalah perjalanan panjang, dan kamu sudah mengambil langkah pertama yang sangat penting."
Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Rangga kali ini. Ada ketegangan yang mulai terbentuk di udara, sebuah ketegangan yang tidak bisa Renita pungkiri. Rangga berdiri dan sedikit lebih dekat dengan Renita.
"Ustadzah," Rangga berkata dengan suara yang sedikit lebih dalam, "Saya... merasa sangat terinspirasi oleh Anda. Kecantikan Anda bukan hanya fisik, tapi juga dari dalam, dari hati. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa mengungkapkan ini, tapi saya merasa ada sesuatu yang kuat di sini." Rangga meraih tangan Renita dengan lembut.
Renita tersentak. Ini bukanlah pertama kalinya Rangga menyampaikan rasa terima kasihnya dengan tulus, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan yang lebih dari sekadar rasa hormat seorang murid kepada gurunya. Renita mencoba menarik tangannya, namun Rangga menahan dengan lembut.
"Rangga," Renita berkata dengan suara yang sedikit lebih tegas, "Ini tidak benar. Kamu adalah murid saya, dan saya adalah seorang istri. Kita harus menjaga batasan kita, apalagi dalam agama."
Namun, Rangga tidak mundur. "Saya hanya... merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan guru dan murid, Ustadzah. Saya merasa nyaman dengan Anda, lebih dari siapa pun."
Renita merasakan gelombang perasaan yang tidak bisa ia kontrol. Di satu sisi, ia tahu bahwa Rangga adalah seorang yang baru saja bertobat dan sedang berusaha mencari jalan hidup yang benar. Namun di sisi lain, Renita merasa sangat terikat dengan suaminya, Aziz, dan menghargai pernikahannya. Ada rasa bersalah yang muncul dalam dirinya, namun di saat yang sama, ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa Rangga, dengan segala pesonanya, mulai memengaruhi perasaannya.
Di dalam hati Renita, ada pertempuran batin yang terjadi. Apakah dia harus tetap berpegang pada nilai-nilai agamanya, ataukah godaan dari Rangga, yang begitu tulus dan penuh perhatian, bisa menggoyahkan tekadnya? Renita merasa seolah-olah terjebak dalam pusaran perasaan yang sulit untuk dipahami.
Dengan cepat, Renita menarik kembali tangannya dan menatap Rangga dengan penuh kesungguhan. "Rangga, kamu harus berhenti. Ini tidak benar, dan kita harus menjaga agar niat kita tetap murni. Kamu datang ke sini untuk belajar, dan kamu harus fokus pada itu."
Namun, di dalam diri Rangga, perasaan yang terpendam semakin kuat. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Meskipun ia sadar akan batasan dan pernikahan Renita dengan Aziz, hatinya tetap merasa tergoda, terperangkap dalam perasaan yang sulit dijelaskan.
Renita menundukkan kepalanya, merasakan kegalauan yang mendalam, dan berusaha untuk tetap tegar. lalu rangga izin pamit karna waktu sudah mulai malam
ns216.73.216.247da2