
BAB 3: DISONANSI DALAM MOZAIK
113Please respect copyright.PENANAI9Oc88v4tP
113Please respect copyright.PENANAV9rxYwQoxl
113Please respect copyright.PENANAZMGeYiripV
Roda waktu berputar tanpa jeda, menggilas hari demi hari menjadi untaian minggu yang terasa begitu cepat berlalu. Tak terasa, mozaik keseharianku di Kota Kembang ini mulai membentuk sebuah pola. Pagi yang disambut kabut tipis, perkuliahan yang memeras otak hingga tetes kreativitas terakhir, sore yang dihabiskan bersama kawan-kawan seperjuangan, dan malam yang seringkali diisi dengan kontemplasi bisu di dalam kamar kos yang mulai terasa seperti rumah.
113Please respect copyright.PENANAiLTJI8wMfG
113Please respect copyright.PENANA5V9NQQsfiQ
113Please respect copyright.PENANAfwq6eqn3M2
Rutinitas telah menjadi sebuah sauh, menambatkan diriku pada realita baru yang, di permukaannya, tampak begitu normal dan menjanjikan. Namun, di bawah permukaan yang tenang itu, arus bawah yang ganjil terus menarikku ke dalam pusaran kekhawatiran yang tak bernama.
113Please respect copyright.PENANAynRAITNWxG
113Please respect copyright.PENANATkwVkM4QFB
113Please respect copyright.PENANA9ZcQCvyVp8
Ritualku mengunjungi kosan Bunda untuk sarapan atau makan malam bersama telah menjadi sebuah konstanta. Momen-momen itu adalah sebuah paradoks yang manis sekaligus getir. Di satu sisi, aku menikmati kehangatan masakannya, tawa renyahnya saat menceritakan kelucuan di kelasnya, dan sorot matanya yang berbinar penuh semangat hidup baru. namun, di sisi lain, setiap kunjungan adalah sebuah pengingat akan ancaman yang mengintai dalam diam.
113Please respect copyright.PENANAxsNy0UVMkE
113Please respect copyright.PENANA63EgtI8N1U
113Please respect copyright.PENANAuDBSB8dcct
Selama berminggu-minggu itu, tak ada yang berubah dari Mang Jajang. Pria itu, dengan senyumnya yang terlalu ramah dan matanya yang selalu menyala dengan kilat predator, tak pernah absen melancarkan serangan visualnya. Tatapan laparnya akan selalu menelusuri lekuk tubuh Bunda dengan begitu presisi, begitu kurang ajar, seolah sedang melahap hidangan lezat dengan matanya. Dan reaksi Bunda pun selalu sama: sebuah ketidaksadaran yang murni, sebuah kepolosan yang hampir membuatku gila. Ia akan menyapa balik dengan ramah, tanpa sedikit pun merasa terganggu. tak ada yang tahu, apakah ia benar-benar tidak menyadarinya, atau ia telah membangun sebuah benteng pertahanan mental yang begitu tebal hingga panah-panah tatapan liar itu tak mampu menembusnya. Reaksi yang membuatku merasa terisolasi dalam kecemasanku sendiri, seorang penjaga yang berteriak tentang bahaya di sebuah kastil yang penghuninya tuli.
113Please respect copyright.PENANA16jL08TLXy
113Please respect copyright.PENANAbaxziQvTwy
113Please respect copyright.PENANAHyXsKtF53o
113Please respect copyright.PENANA7kYDdoi8EN
Suatu pagi, setelah kami selesai sarapan, aku mencoba memberanikan diri. Saat itu Bunda tengah mencuci piring di dapur bersama, masih dengan balutan tengtop tipis dan celana gemes andalannya yang mengekspos punggung mulus dan pahanya. Aku mendekatinya, mencoba merangkai kata dengan hati-hati agar tidak terdengar seperti seorang anak yang menggurui ibunya. "Bun," panggilku pelan. "Hmm?" ia bergumam tanpa menoleh. "Mungkin... mungkin kalau di luar kamar, walaupun masih di dalam kosan, Bunda pakai baju yang lebih tertutup sedikit? Seperti kaus atau apa gitu?" kataku, suaraku terdengar lebih ragu dari yang kuinginkan.
113Please respect copyright.PENANAy7qQfjfj9K
113Please respect copyright.PENANAVOHGi1OG5s
Bunda berhenti menggosok piring. Ia mematikan keran, lalu berbalik menatapku. Alisnya sedikit terangkat, ada sebersit kebingungan di matanya yang indah. "Kenapa memangnya, Sayang? Kan ini di dalam area kos, sama saja seperti di rumah kita di Jakarta, kan? Gerah tahu," jawabnya dengan enteng, seolah aku baru saja menanyakan hal paling absurd di dunia. Ia lalu tersenyum, senyum yang sama sekali tidak memahami badai di dalam diriku. "Kamu ini ada-ada saja. Sudah, ah, Bunda mau siap-siap." Ia mengelap tangannya dan berlalu begitu saja menuju kamarnya, meninggalkanku termangu di dapur yang terasa semakin dingin.
113Please respect copyright.PENANA7TY4USfivK
113Please respect copyright.PENANAXfDTMagGzG
113Please respect copyright.PENANAoTIHGri7D5
Usahaku gagal total. Pesanku tak sampai, hanya memantul kembali dan menghantam diriku sendiri dengan perasaan frustrasi dan tak berdaya.
113Please respect copyright.PENANAkQMwl04iM9
113Please respect copyright.PENANAEWuO1tBrVF
113Please respect copyright.PENANAUhwgYTkpxd
Untuk mengalihkan pikiran dari kekalutan itu, aku menenggelamkan diri dalam kehidupan sosial kampusku. Lingkaran pertemananku melebar. Selain Kinan yang pendiam namun observatif dan Rian yang berbakat, kini ada Bima, seorang raksasa lembut dari Medan dengan tawa menggelegar dan hati sebaik malaikat, yang anehnya mengambil jurusan DKV. Ada Sakti, si kutu buku dari Jogja yang kacamatanya setebal dasar botol soda dan pengetahuannya tentang filsafat seni membuat para dosen terkesan. Lalu ada trio primadona kelas: Tia, gadis modis asal Jakarta yang seolah tak pernah kehabisan topik tentang tren terbaru; Dewi, si aktivis kampus yang selalu bersemangat dengan rambut keritingnya yang megar; dan Desi, bendahara kelas yang galak namun sebenarnya sangat perhatian. Kami menjadi sebuah geng yang solid, sebuah konstelasi aneh dengan orbit yang sama.
113Please respect copyright.PENANApaOfmGy1aL
113Please respect copyright.PENANAaYhrXFcmVG
113Please respect copyright.PENANAvKUCrbEOfC
113Please respect copyright.PENANAOsUK3LCYqV
Kami sering berkumpul di kantin setelah kelas usai, mengerjakan tugas bersama hingga larut malam di studio, atau sekadar nongkrong di warung kopi sambil membicarakan segala hal, dari proyek desain hingga masalah percintaan yang picisan. Terkadang, di akhir pekan, Bima akan mengorganisir permainan futsal untuk melepaskan penat, di mana aku bisa melampiaskan semua kegelisahanku dengan menendang bola sekeras-kerasnya.
113Please respect copyright.PENANAD8sok4Fh0A
113Please respect copyright.PENANAgt4erIRXPz
113Please respect copyright.PENANACBQc4Zmrn9
113Please respect copyright.PENANAlPcxGUm1au
Di sela-sela kesibukan itu, aku dan Bunda masih menyempatkan diri untuk bertemu di luar. Tempat favorit kami adalah "Maki Cafe", sebuah kafe dengan interior kayu yang hangat dan aroma kopi yang menenangkan, letaknya strategis di antara kedua kampus kami. Di sanalah kami akan bertukar cerita, seperti dua orang sahabat lama.
113Please respect copyright.PENANA5nQOLWMAuo
113Please respect copyright.PENANAB0NNAS457h
113Please respect copyright.PENANAKBQ8zPX1hR
Aku akan bercerita tentang dosenku yang eksentrik atau tentang ide-ide gilaku untuk tugas berikutnya. Bunda, dengan mata berbinar-binar, akan menceritakan tentang teman-teman barunya. Novi, gadis periang dengan rambut dicat pirang; Maya, si serius yang selalu membawa buku catatan tebal; Rizka, yang centil dan jago merias wajah; dan tiga sekawan pria, Roni, Putra, dan Asep, yang menurut Bunda selalu menjaganya seperti adik mereka sendiri, sebuah ironi yang membuatku tersenyum kecut.
113Please respect copyright.PENANAxZYXcUpVOW
113Please respect copyright.PENANAGgRpNOmDPa
113Please respect copyright.PENANA7ktAPrmgQN
Mereka semua adalah anak-anak muda seusiaku, antara tujuh belas hingga dua puluh tahun. menbayangkan Bunda duduk di antara mereka, tertawa lepas, dan mengobrol dengan bahasa gaul mereka, adalah sebuah bayangan yang sureal.
113Please respect copyright.PENANABdPnbJUoM7
113Please respect copyright.PENANAyGYoIIEic4
113Please respect copyright.PENANALcl83H8ZYM
Penampilannya yang awet muda, ditambah dengan aset tubuhnya yang tak bisa ditutupi oleh pakaian sesopan apa pun, membuatnya sama sekali tidak terlihat seperti seorang ibu berusia tiga puluhan. Ia melebur dengan sempurna, menjadi salah satu dari mereka.
113Please respect copyright.PENANAWLSUa9OELu
113Please respect copyright.PENANAVBTUZijddA
113Please respect copyright.PENANAtjcvtSX1BL
113Please respect copyright.PENANAIwnM2cZHDv
"Kamu tahu, Arka," katanya suatu sore di Maki Cafe, sambil mengaduk green tea latte-nya. "Teman-teman Bunda itu tidak ada yang percaya lho kalau Bunda sudah punya anak segede kamu. Mereka kira Bunda bohong waktu pertama kali cerita," ujarnya dengan nada bangga yang tak disembunyikan. Aku hanya tersenyum. "Terus ya," lanjutnya, sedikit merendahkan suaranya seolah berbagi rahasia besar, "kemarin ada kakak tingkat, semester lima, mencoba kenalan. Dia minta nomor telepon Bunda, katanya mau tanya-tanya soal tugas, padahal kan beda jurusan. Aneh, kan?" Ia tertawa kecil, sebuah tawa polos yang terdengar seperti denting lonceng peringatan dikepalaku. Aku tidak tahu harus merespons apa. Apakah ia benar-benar tidak sadar bahwa itu adalah modus klasik untuk mendekatinya? Ataukah ia hanya keceplosan bercerita karena saking bersemangatnya dengan dunia baru yang penuh atensi ini? Aku hanya bergumam, "Hati-hati saja, Bun."
113Please respect copyright.PENANABfDlW67Ps9
113Please respect copyright.PENANARiptszNDOX
113Please respect copyright.PENANA0aqWiFFViI
113Please respect copyright.PENANAgOc5gb6fIC
Kehidupan sosial Bunda memang sedang mekar-mekarnya. Ia sering pergi nongkrong dengan teman-temannya setelah kelas, menonton film terbaru di bioskop, berburu diskon di mal, atau sekadar berfoto-foto ria di kafe-kafe instagrammable seperti anak-anak ABG pada umumnya. Sebagian diriku ikut senang melihatnya bahagia, namun sebagian lagi tak bisa berhenti merasa cemas.
113Please respect copyright.PENANAFZ2mal7ZWP
113Please respect copyright.PENANAll3Fzgk1Oi
113Please respect copyright.PENANAIiK22bEyuy
113Please respect copyright.PENANACp0GWL1rDB
Hingga suatu malam, sebuah kejadian meniup bara kecemasanku menjadi api yang berkobar. Malam itu sekitar pukul delapan, cuaca di luar sedikit gerimis. Aku dan teman-temanku—Bima, Sakti, dan Rian,tengah nongkrong di sebuah kafe semi-terbuka bernama "Kedai Senja". Tempat itu cukup ramai, dipenuhi oleh mahasiswa yang mencari tempat untuk bersantai. Kami duduk di sebuah meja di sudut, di bawah naungan atap kanopi, menikmati kopi panas dan pisang goreng keju. Tiba-tiba, Bima menyenggol lenganku. "Eh, Ka," bisiknya, "itu anak-anak Dionysia, kan?" Ia menunjuk dengan dagunya ke arah meja besar tepat di sebelah kami. Di sana, duduk segerombolan pemuda, mungkin sekitar enam atau tujuh orang. Aku langsung mengenali jaket almamater berwarna merah marun yang mereka kenakan. Itu adalah almamater universitas Bunda. Jantungku berdebar sedikit lebih cepat, tapi aku berusaha tetap tenang. Teman-temanku tidak ada yang tahu kalau Bunda juga kuliah di kota ini, apalagi di universitas itu. Itu adalah rahasiaku, sebuah benteng yang kubangun untuk melindungi citra keluargaku.
113Please respect copyright.PENANAyU3Di9aK8r
113Please respect copyright.PENANApWJw3raCN6
113Please respect copyright.PENANALFd3kv7BfY
113Please respect copyright.PENANAWmFNQx5vLX
Awalnya, aku tidak menghiraukan mereka karena pembicaraan mereka terdengar normal. Mereka mengeluh tentang tugas, membicarakan pertandingan bola, dan menertawakan lelucon-lelucon khas mahasiswa.
113Please respect copyright.PENANA9L6ufurhsr
113Please respect copyright.PENANAOVIp9qORpw
Namun, tak lama kemudian, topik pembicaraan mereka berbelok ke arah yang membuat telingaku panas. "Eh, kalian tau 'Nabil' kan?" celetuk salah seorang dari mereka, seorang pemuda berambut gondrong. "yang anak angkatan baru itu kan?" sahut salah satu dari mereka,"yang mana si?" sahut yang lainnya,"itu lho yang milf" kata pemuda berkacamata "yang paling menonjol diantara semua anak baru" kata si gondrong lagi,Teman-temannya langsung menyahut dengan antusias. "Gila, tadi gue lihat dia di kantin. Pakai kemeja putih ketat, buset dah, kayak mau meledak itu dua gunungnya," sahut yang lain, disusul gelak tawa cabul dari seluruh meja.
113Please respect copyright.PENANAhzhacHbcEm
113Please respect copyright.PENANAdQY3qgl4FX
113Please respect copyright.PENANAHxFOZq1eDJ
Perutku terasa seperti diremas. Mereka mulai membicarakan seorang mahasiswi baru bernama 'Nabil'. Topik mereka menjadi semakin vulgar, semakin menjijikkan. "Katanya sih dia sudah punya suami, bahkan sudah punya anak, gila gak?" kata si rambut gondrong. "Justru itu yang bikin makin menantang, bro! Milf is the best! Penampilannya itu lho, ga kalah sama yang masih perawan ting-ting. Bodinya, beh, gitar Spanyol lewat!" timpal seorang lagi yang berkacamata.
113Please respect copyright.PENANAwgTXmYP14X
113Please respect copyright.PENANAmj1lbyPslR
113Please respect copyright.PENANA8QOOUEZrG9
Mereka seolah berlomba-lomba mengutarakan fantasi mesum mereka tentang wanita bernama Nabil ini, membicarakannya seolah ia hanyalah sebuah objek, sebuah piala yang mereka perebutkan dalam imajinasi kotor mereka.
113Please respect copyright.PENANASncmAIH0eo
113Please respect copyright.PENANAIFXuRuHu6O
113Please respect copyright.PENANAVWOOMu5cOw
Aku terpaku di kursiku. Suara teman-temanku yang sedang asyik membahas film terbaru terdengar seperti dengungan jauh. Seluruh fokusku tersedot ke meja sebelah.seolah mencerna semua informasi deskripsi wanita bernama nabil ini, Di dalam kepalaku, terjadi sebuah perang saudara yang hebat. Satu sisi diriku, sisi yang paling gelap dan paranoid, mulai mencocokkan deskripsi mereka dengan ibuku. Mahasiswi baru, usia matang, penampilan menggoda, tubuh aduhai, sudah bersuami dan punya anak.
113Please respect copyright.PENANAeYIZFTvOLg
113Please respect copyright.PENANAY2Do3YH5RT
113Please respect copyright.PENANAqhPRBhzbxV
Semua deskripsi itu menunjuk dengan telak ke satu orang: Yuliani Bhinalastri Nakashi. Namun, sisi rasionalku berteriak, membantah dengan sekuat tenaga. Namanya Nabil, bukan Yuli! Mungkin saja ada wanita lain yang kebetulan memiliki deskripsi serupa. Tidak mungkin mereka membicarakan Bundaku. Tidak mungkin!
113Please respect copyright.PENANAxBrjPX11do
113Please respect copyright.PENANAWyolUzHO9z
113Please respect copyright.PENANAiMnPjrp4fC
Keringat dingin mulai membasahi keningku. Aku bisa merasakan jantungku berdebar tak karuan di dalam rongga dadaku, memompa darah yang terasa panas ke seluruh tubuh.
"Ka, lo kenapa? Kok pucat gitu?" Suara Rian menyentakkanku kembali ke realita. Aku menoleh, mencoba memaksakan seulas senyum. "Nggak apa-apa, kok. Cuma sedikit masuk angin kayaknya," dustaku. Aku sudah tidak tahan lagi berada di sana. Suara tawa cabul dari meja sebelah terasa seperti bor yang menggerogoti batok kepalaku. "Gue balik duluan, ya," kataku sambil berdiri. "Badan gue nggak enak banget." Tanpa menunggu jawaban mereka, aku bergegas pergi dari kedai itu, meninggalkan teman-temanku dalam kebingungan. Sepanjang perjalanan pulang, deru mesin Vespaku beradu dengan hiruk-pikuk obrolan vulgar yang terus terngiang di kepalaku. 'Nabil'.
113Please respect copyright.PENANAVBYLaF3XF5
113Please respect copyright.PENANAzfg0p6rV1K
113Please respect copyright.PENANA64rir3uaPr
113Please respect copyright.PENANAUVUvtOh4F4
Nama itu bergema, memantul-mantul di dinding tengkorakku. Sesampainya di kos, aku membanting pintu kamarku sedikit lebih keras dari biasanya. Aku melemparkan tasku ke lantai dan menyandarkan tubuhku ke pintu yang dingin. Napasku memburu. Aku berjalan ke cermin, menatap pantulan diriku sendiri. Mataku memerah, rahangku mengeras. Bayangan Bunda, bayangan tatapan Mang Jajang, dan kini, bayangan segerombolan pemuda mesum yang membicarakan 'Nabil', semuanya berkelebat, menari-nari di depan mataku, menciptakan sebuah simfoni kekacauan yang mengerikan. Aku mengepalkan tanganku erat-erat hingga buku-buku jariku memutih. Malam itu, tidur terasa seperti sebuah kemewahan yang tak terjangkau.