Langit petang di kota kecil itu mulai memerah, menyisakan semburat jingga di ujung cakrawala. Yuli Novianti, 35 tahun, melangkah keluar dari sekolah tempatnya mengajar sebagai guru pembimbing. Pakaiannya rapi, kemeja guru berwarna cokelat tua membalut tubuhnya yang masih kencang, dipadukan dengan rok panjang cokelat yang menyapu betis. Kerudung cokelat senada menutupi rambut panjangnya, memberi kesan anggun sekaligus sederhana. Ia menghela napas, menatap ponselnya yang berdering. Nama “Pak Susno” tertera di layar.
“Halo, Pak?” suara Yuli lembut, penuh hormat kepada kepala sekolahnya.
“Bu Yuli, bisa ketemu sebentar? Ada urusan penting soal murid yang perlu kita bahas. Saya di dekat pasar, nanti saya jemput,” ujar Pak Susno dengan nada yang terdengar mendesak.
Yuli mengerutkan kening, sedikit ragu. “Sekarang, Pak? Sudah agak sore.”
“Penting, Bu. Tak lama kok,” tekan Pak Susno.
Dengan sedikit keraguan, Yuli menyetujui. Ia berjalan menuju pasar, tempat yang ramai di siang hari tapi kini mulai sepi. Sebuah mobil van hitam berhenti di depannya. Pak Susno, pria berusia akhir 40-an dengan wajah keras dan sorot mata licik, membuka jendela. Di sampingnya duduk Pak Anton, orang tua murid yang pernah Yuli temui dalam urusan masalah anaknya, Bagas.
“Ayo naik, Bu. Kita bicarakan di tempat yang lebih tenang,” kata Pak Susno sambil membuka pintu belakang.
Yuli mengangguk, meski perasaan tak enak mulai menyelinap di dadanya. Ia masuk ke van, dan mobil melaju meninggalkan pasar. Jalanan mulai berubah dari aspal mulus ke tanah berdebu. Pemandangan kota berganti dengan sawah dan semak belukar.
“Pak, ini ke mana? Kok jauh?” tanya Yuli, suaranya mulai bergetar.
Pak Susno hanya tersenyum dari kaca spion. “Tenang, Bu. Kita ke tempat yang lebih pribadi.”
Van berhenti di sebuah perkampungan kecil di pinggiran kota, tempat yang terpencil dengan rumah-rumah kayu sederhana dan jalanan berbatu. Yuli merasa jantungan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar, hanya suara jangkrik dan angin malam yang mulai dingin. Pintu van terbuka, dan Pak Anton menarik tangan Yuli dengan kasar.
“Turun, Bu. Kita mulai,” ujarnya dengan nada yang membuat bulu kuduk Yuli berdiri.
“Apa maksudnya ini, Pak?!” Yuli mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Pak Anton terlalu kuat. Pak Susno turun dari van, diikuti oleh enam pria lain yang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Wajah mereka asing, tapi sorot mata mereka penuh nafsu. Yuli menjerit, tapi sebuah tangan menutup mulutnya.
Di rumah, Bagas Setiawan, 19 tahun, duduk gelisah di kamarnya. Remaja bertubuh ramping dengan rambut cepak ini sudah masuk tahun pertama kuliah, tapi ikatan emosionalnya dengan ibunya, Yuli, tetap kuat. Ia tahu ibunya sering pulang sore karena tugas sekolah, tapi malam ini terasa berbeda. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan dari ibunya yang hanya berisi: “Ibu ke sekolah dulu, nak. Jangan khawatir.” Tapi sudah dua jam berlalu, dan Yuli belum pulang. Bagas membuka aplikasi pelacak GPS di ponselnya, yang ia pasang di ponsel ibunya sejak kejadian mencurigakan beberapa bulan lalu. Titik merah berkedip di layar, menunjukkan lokasi ibunya di sebuah daerah terpencil di pinggiran kota.
“Apa-apaan ini?” gumam Bagas, jantungnya berdegup kencang. Tanpa pikir panjang, ia mengambil kunci motornya dan melesat keluar rumah. Malam semakin gelap, tapi tekadnya membara. Ia harus menemukan ibunya.
Perjalanan memakan waktu hampir satu jam. Jalanan berbatu membuat motornya bergoyang, tapi Bagas terus melaju, mengikuti titik GPS. Akhirnya, ia sampai di perkampungan kecil yang sepi. Suara tawa kasar dan jeritan pelan terdengar dari sebuah rumah kayu di ujung jalan. Bagas memarkir motornya di balik semak, merayap mendekati rumah itu. Jantungnya berdegup kencang saat ia mengintip melalui celah jendela yang retak.
Di dalam, pemandangan yang ia lihat membuat darahnya mendidih. Ibunya, Yuli, berdiri di tengah ruangan dengan pakaian guru cokelatnya yang sudah kusut. Kerudungnya masih menempel, tapi kemejanya terkancing miring, memperlihatkan lekuk dadanya yang terbalut bra hitam. Rok panjangnya terangkat hingga pinggang, memperlihatkan celana dalam putih yang sudah basah di bagian tengah. Delapan pria mengelilinginya, termasuk Pak Susno dan Pak Anton. Wajah Yuli pucat, matanya berkaca-kaca, tapi mulutnya terkatup rapat, menahan isak.
“Jangan cuma berdiri, Bu! Buka bajumu, biar kita lihat barang bagus itu!” teriak salah satu pria, wajahnya penuh bekas luka. Yuli menggeleng, tangannya mencoba menutupi tubuhnya, tapi Pak Anton menampar pipinya keras.
PLAK!
“Kau pikir bisa nolak, lonte? Kami bayar mahal untuk ini!” bentak Pak Anton.
Yuli tersentak, air matanya jatuh. “Tolong, Pak... saya punya anak, suami... jangan lakukan ini.”
Pak Susno mendekat, menjambak kerudung Yuli hingga terlepas, memperlihatkan rambut panjangnya yang terurai. “Kau pikir kami peduli? Tubuhmu ini milik kami malam ini!” Ia merobek kemeja Yuli, kancing-kancingnya berhamburan ke lantai. Bra hitamnya terpampang jelas, dan pria-pria itu bersorak. Salah satu dari mereka, pria gemuk dengan tato naga di lengan, meraih bra itu dan menariknya hingga robek. Payudara Yuli yang besar dan kencang terpampang, putingnya mengeras karena udara dingin.
Bagas mengepalkan tangan, ingin menyerbu masuk, tapi sebelum ia bisa bergerak, sebuah pukulan keras mendarat di belakang kepalanya. Dunia menjadi gelap.
Ketika Bagas sadar, kepalanya terasa berat. Ia mencoba bergerak, tapi tangan dan kakinya terikat erat ke kursi kayu. Matanya membelalak saat menyadari ia berada di dalam ruangan yang sama. Di depannya, ibunya, Yuli, sudah dalam kondisi yang jauh lebih buruk. Rok panjangnya sudah hilang, celana dalamnya tersangkut di salah satu pahanya. Ia didorong ke lantai oleh Pak Susno, posisinya merangkak seperti anjing. Delapan pria itu, dengan mata penuh nafsu, mulai membuka celana mereka satu per satu.
“Jangan lihat, nak!” Yuli berteriak saat menyadari Bagas ada di sana, suaranya penuh kepanikan. Tapi seorang pria bertubuh kurus dengan wajah penuh jenggot menampar pantatnya keras.
PLAK! PLAK!
“Diam, lonte! Biar anakmu lihat betapa murahannya ibunya!” bentak pria itu sambil menarik rambut Yuli. Ia membuka celananya, mengeluarkan penis yang sudah tegang, besar, dan berurat. Tanpa ampun, ia mengarahkan penis itu ke mulut Yuli dan mendorongnya masuk dengan kasar.
“GLOK! GLOK!” Suara Yuli tersedak terdengar jelas saat penis itu memenuhi mulutnya. Air liurnya menetes, membasahi dagunya. Pria itu menjambak rambut Yuli, memaksa kepalanya maju mundur dengan cepat. “Enak, kan, lonte? Mulutmu ini diciptakan buat kontol!”
Bagas berteriak, “Lepasin ibuku, bajingan!” Tapi suaranya tenggelam dalam tawa kasar para pria. Salah satu dari mereka, pria botak dengan perut buncit, mendekati Bagas dan menendang perutnya. “Diam, bocah! Nikmati pertunjukan aja!”
Di lantai, Yuli masih dipaksa mengoral pria berjenggot itu. Pak Susno berlutut di belakang Yuli, tangannya meremas pantatnya yang bulat. “Anjing, pantat ini mulus banget!” Ia meludahi jari-jarinya, lalu menyelipkannya ke vagina Yuli, menggosok klitorisnya dengan kasar. Yuli mengerang, suaranya tersendat oleh penis di mulutnya. “Sshhh... basah banget, lonte. Kau suka, ya?”
Pria tato naga mendekat, memegang penisnya yang panjang dan hitam. Ia meludahi tangannya, lalu menggosokkan penis itu ke vagina Yuli yang sudah basah. Tanpa peringatan, ia mendorong penisnya masuk dengan satu hentakan keras.
“AAAKKHH!” Yuli menjerit, tapi suaranya teredam oleh penis di mulutnya. Pria tato naga mulai memompa dengan brutal, setiap hentakan membuat tubuh Yuli tersentak. “Memekmu ini sempit banget, lonte! kayak perawan!” racaunya sambil menampar pantat Yuli berulang kali. PLAK! PLAK! PLAK!
Bagas meronta, tali di tangan dan kakinya menggigit kulitnya. Matanya panas, air mata mengalir, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Di depannya, ibunya diperkosa dengan kejam. Pria berjenggot mencabut penisnya dari mulut Yuli, lalu meludahi wajahnya. “Cuih! Murahan banget kau, Bu Guru!” Ia menggantikan posisi pria tato naga, memasukkan penisnya ke vagina Yuli dengan kasar. “Sshhh... enak banget ini memek!”
Pria botak mendekati Yuli dari samping, memegang payudaranya yang bergoyang akibat hentakan. Ia meremas putingnya keras sampai Yuli mengerang kesakitan. “Gede banget toketmu, lonte! Ini buah susu apa balon?” Ia tertawa, lalu memasukkan jari-jarinya ke mulut Yuli, memaksa wanita itu mengisapnya.
Dua pria lain, yang wajahnya tak begitu jelas dalam cahaya redup, mendekat. Salah satunya, pria bertubuh tinggi dengan rambut gondrong, menarik Yuli ke posisi berdiri, lalu mendorongnya ke meja kayu di sudut ruangan. Yuli tersandung, tubuhnya membentur meja. Pria gondrong itu menekan punggung Yuli hingga ia membungkuk, pantatnya menonjol. Ia meludahi lubang anus Yuli, lalu memasukkan jarinya dengan kasar. “Pantatmu ini belum dipakai, ya? Malam ini kita coba!”
“Jangan, Pak! Tolong, bukan situ!” Yuli memohon, suaranya pecah. Tapi pria gondrong itu hanya tertawa, lalu mendorong penisnya ke lubang anus Yuli dengan paksa. “AAAKKHHH!” Yuli menjerit, tubuhnya gemetar. Pria itu tak peduli, terus memompa dengan kejam, tangannya menjambak rambut Yuli seperti tali kekang.
Pria keenam, yang bertubuh pendek tapi kekar, mendekat ke wajah Yuli. Ia menggosokkan penisnya ke pipi Yuli, lalu memaksanya membuka mulut. “Buka, lonte! Atau anakmu yang kena!” ancamnya, melirik ke arah Bagas. Yuli, dengan air mata mengalir, membuka mulutnya. Penis itu masuk, mengisi tenggorokannya hingga ia tersedak. “GLOK! GLOK!” Suara mulut Yuli bergema di ruangan.
Pria ketujuh, yang wajahnya dipenuhi bekas jerawat, mengambil posisi di bawah Yuli. Ia merangkak di bawah meja, menjilati klitoris Yuli sambil pria gondrong terus menggenjot anusnya. Yuli menggeliat, desahannya bercampur antara sakit dan rangsangan yang tak diinginkan. “Sshhh... lonte ini mulai nikmatin, ya?” cibir pria jerawatan itu.
Pria kedelapan, yang paling muda di antara mereka, mungkin berusia akhir 20-an, memegang kamera ponsel. Ia merekam setiap detik, tertawa sambil mengarahkan lensa ke wajah Yuli yang penuh air mata dan air liur. “Senyum, Bu Guru! Ini buat koleksi kami!” Ia mendekat, lalu memaksa Yuli mencium penisnya yang sudah tegang. “Cium dulu, lonte, sebelum masuk!”
Bagas menjerit dalam hati, tapi mulutnya terkatup rapat. Ia ingin menutup mata, tapi rasa marah dan tak berdaya memaksanya terus menatap. Ibunya, wanita yang selalu ia lihat sebagai sosok penyayang, kini diperlakukan seperti boneka seks. Pakaian gurunya yang tadinya rapi kini hanya sisa kain compang-camping di lantai.
Pria tato naga kembali mengambil giliran. Ia menarik Yuli dari meja, melemparkannya ke kasur tua di sudut ruangan. Yuli jatuh terlentang, napasnya tersengal. Pria itu membuka kedua paha Yuli lebar-lebar, lalu meludahi vaginanya. “Cuih! Biar lebih licin!” Ia mendorong penisnya masuk dengan keras, membuat Yuli menjerit lagi. “AAAKKHH! Sakit, Pak!”
“Enak, lonte! Memekmu ini milik kami!” bentak pria itu sambil memompa dengan cepat. Setiap hentakan membuat kasur berderit keras. Pria botak mendekat, memasukkan penisnya ke mulut Yuli, memaksa wanita itu mengoral sambil tubuhnya diguncang hentakan di vagina.
Pria gondrong dan pria jerawatan tak mau ketinggalan. Mereka meremas payudara Yuli, mencubit putingnya hingga memerah. “Toket ini kencang banget, anjing!” ujar pria jerawatan. Mereka tertawa, saling berbagi tubuh Yuli seperti mainan. Pria kekar mendekat, memasukkan jari-jarinya ke anus Yuli sambil pria tato naga terus menggenjot vaginanya. “Dua lubang sekaligus, lonte! Kau suka, kan?”
Yuli hanya bisa mengerang, suaranya teredam oleh penis di mulutnya. Air matanya terus mengalir, tapi tubuhnya mulai gemetar akibat rangsangan yang tak bisa ia kendalikan. Pria muda dengan kamera terus merekam, sesekali menampar pantat Yuli. PLAK! “Ayo, lonte! Goyang pinggulmu!”
Setelah beberapa menit, pria tato naga menarik penisnya, lalu menyemprotkan spermanya ke wajah Yuli. “CROT! CROT!” Cairan putih itu membasahi pipi dan kerudungnya yang sudah lepas. Yuli terbatuk, mencoba mengelak, tapi pria botak menahan kepalanya. “Telan, lonte!” Ia mencabut penisnya dari mulut Yuli, lalu menyemprotkan sperma ke wajah dan dadanya. “CROT! CROT!”
Pria gondrong mengambil alih, memasukkan penisnya ke vagina Yuli yang sudah basah oleh cairan tubuh dan sperma. Ia menggenjot dengan brutal, tangannya mencengkeram pinggul Yuli. “Memek ini masih sempit, anjing! Enak banget!” racaunya. Yuli mengerang, tubuhnya bergoyang tak berdaya di kasur. Pria kekar menggantikan posisi di anus, mendorong penisnya masuk dengan kasar. “AAAKKHH!” Yuli menjerit lagi, tapi suaranya tenggelam dalam tawa para pria.
Pria berjenggot dan pria jerawatan bergantian di mulut Yuli, memaksa wanita itu mengoral mereka secara bergantian. “GLOK! GLOK!” Suara tersedak Yuli memenuhi ruangan. Pria muda dengan kamera mendekat, merekam wajah Yuli dari dekat. “Lihat kamera, lonte! Biar semua tahu muka pelacurmu!”
Bagas menutup mata, tak sanggup lagi menyaksikan. Tapi suara ibunya yang mengerang dan derit kasur terus menghantam telinganya. Pria kedelapan, yang belum mengambil giliran, akhirnya mendekat. Ia menarik Yuli ke posisi duduk, lalu memasukkan penisnya ke vagina Yuli dari bawah. “Ayo, lonte, naik turun!” Ia menampar pantat Yuli, memaksa wanita itu menggerakkan pinggulnya. Yuli menuruti, tubuhnya bergerak naik turun dengan lemah, sementara pria gondrong kembali memasukkan penisnya ke anusnya.
“Dua kontol sekaligus, lonte! Rasain!” teriak pria gondrong. Yuli mengerang keras, tubuhnya gemetar hebat. Pria botak dan pria berjenggot kembali memaksa Yuli mengoral mereka, mendorong penis mereka ke mulutnya secara bergantian. Ruangan dipenuhi suara desahan, erangan, dan tamparan.
Setelah hampir satu jam, pria gondrong dan pria kedelapan mencapai klimaks. “AAAKKHH! CROT! CROT!” Sperma mereka menyemprot ke dalam vagina dan anus Yuli, mengalir keluar membasahi kasur. Yuli pingsan sesaat, tubuhnya ambruk ke kasur. Tapi pria berjenggot dan pria jerawatan tak memberi jeda. Mereka mengangkat Yuli, memposisikannya merangkak lagi, dan melanjutkan penetrasi di vagina dan mulutnya.
“Terus, lonte! Kau belum selesai!” bentak pria berjenggot. Yuli hanya mengerang lemah, tubuhnya tak lagi mampu melawan. Bagas menjerit dalam hati, tapi tali di tubuhnya terlalu kuat. Ia hanya bisa menyaksikan ibunya diperkosa berulang-ulang, tubuhnya dipenuhi cairan dan memar.
Pria kekar dan pria botak mengambil giliran terakhir. Mereka menelentangkan Yuli di lantai, membuka pahanya lebar-lebar. Pria kekar memasukkan penisnya ke vagina Yuli, sementara pria botak memaksa Yuli mengoralnya. “Enak banget, anjing! Memek ini kaya ngisap kontolku!” racau pria kekar. Mereka menggenjot dengan brutal, hingga akhirnya keduanya mencapai klimaks. “CROT! CROT!” Sperma mereka membanjiri vagina dan mulut Yuli.
Saat semua selesai, Yuli tergeletak di lantai, tubuhnya penuh memar dan cairan. Kerudung dan pakaian gurunya compang-camping, wajahnya penuh air mata dan sperma. Pak Susno menendang tubuh Yuli pelan. “Besok kita ulang lagi, lonte. Jangan coba-coba kabur, atau anakmu ini yang selesai.” Ia melirik Bagas dengan senyum jahat.
Bagas menatap ibunya, hatinya hancur. Ia bersumpah dalam hati untuk membalas semua ini, meski saat ini ia tak berdaya. Para pria itu tertawa, meninggalkan Yuli dan Bagas dalam kegelapan ruangan yang pengap.
end
ns216.73.216.85da2