Bab 2: Rumah Besar yang Terlalu Sepi
Ainun melangkah keluar dari mobil, jilbab cokelat tuanya sedikit tergeser oleh angin sore yang membawa aroma rumput basah. Rumah di depannya berdiri megah, dua lantai dengan dinding putih bersih dan jendela-jendela besar yang memantulkan cahaya matahari senja. Halamannya luas, ditanami pohon-pohon kecil yang terpangkas rapi, dan sebuah air mancur kecil mengalir di tengah, suaranya lembut seperti bisikan. Ainun memegang tali tas kainnya erat-erat, merasa kecil di hadapan kemegahan itu. Di sampingnya, Bayu berjalan dengan langkah tenang, kemeja putihnya berkibar pelan tertiup angin.
“Masuk, Ainun,” katanya, suaranya ramah tapi ada nada otoritas yang tak bisa diabaikan. “Naya pasti udah bangun.”
Ainun mengangguk, menunduk sedikit agar jilbabnya tak tersingkap lebih jauh. Ia mengikuti Bayu melewati pintu kayu berukir yang terbuka dengan derit pelan. Di dalam, udara sejuk dari pendingin ruangan menyapa kulitnya, begitu berbeda dengan panasnya kontrakan sempit tempat ia tinggal. Ruang tamu luas, dengan sofa kulit cokelat tua dan karpet tebal yang terasa empuk di bawah sepatu sandal Ainun yang sudah usang. Di dinding, sebuah lukisan abstrak berwarna biru dan emas menggantung, terlihat mahal meski Ainun tak tahu apa artinya.
“Nyonya Tuti!” panggil Bayu, suaranya menggema di ruangan yang terlalu besar untuk hanya dua orang. Seorang perempuan tua, mungkin berusia enam puluhan, muncul dari arah dapur. Rambutnya disanggul rapi, daster bunga-bunganya sedikit kusut. Ia tersenyum pada Ainun, tapi matanya penuh rasa ingin tahu.
“Ini Ainun, yang akan bantu jaga Naya,” kata Bayu, memperkenalkan Ainun dengan nada santai. “Tuti, tolong tunjukkan kamar Naya sama dapur. Biar Ainun tahu di mana barang-barang bayi.”
“Baik, Pak,” jawab Nyonya Tuti, suaranya serak tapi hangat. Ia menoleh ke Ainun. “Ayo, Mbak. Ikut saya.”
Ainun mengikuti Nyonya Tuti, merasakan tatapan Bayu di punggungnya. Ia tak berani menoleh, tapi bulu kuduknya sedikit merinding. Tangga kayu yang mereka naiki mengilap, setiap langkah terasa seperti masuk ke dunia yang bukan miliknya. Di lantai dua, lorong panjang dengan beberapa pintu tertutup membentang. Nyonya Tuti membuka salah satu pintu, dan aroma susu bayi langsung menyapa hidung Ainun.
Kamar Naya kecil tapi nyaman, dengan dinding berwarna krem dan stiker-stiker kelinci di sudut. Sebuah ranjang bayi kayu berdiri di tengah, dihiasi kelambu tipis berwarna putih. Naya, bayi berusia satu tahun, duduk di ranjang, matanya besar dan bulat, memandang Ainun dengan rasa ingin tahu. Rambutnya ikal, pipinya merona, dan ia mengenakan baju tidur kuning dengan gambar beruang kecil.
“Halo, Naya,” kata Ainun lembut, mendekati ranjang. Ia tersenyum, mencoba mengatasi rasa canggungnya. Naya mengulurkan tangan, mengoceh dengan suara kecil yang tak jelas. Ainun mengangkatnya dengan hati-hati, merasakan kehangatan tubuh kecil itu di pelukannya. “Kamu manis banget, ya.”
Nyonya Tuti tersenyum. “Dia gampang dekat sama orang, Mbak. Tapi kadang rewel kalau laper. Susunya di dapur, saya tunjukin.”
Mereka turun ke dapur, yang ternyata lebih besar dari ruang tamu kontrakan Ainun. Meja marmer mengilap di tengah, dikelilingi lemari-lemari kayu berpintu kaca yang penuh dengan peralatan masak modern. Nyonya Tuti menunjukkan tempat susu formula, botol-botol steril, dan lemari es besar yang berisi stok makanan bayi. Ainun mencatat semuanya dalam hati, berusaha tak terlihat kewalahan.
“Kalau butuh apa-apa, bilang aja sama saya atau Pak Bayu,” kata Nyonya Tuti. “Tapi Pak Bayu biasanya sibuk. Kadang di kantor, kadang di ruang kerjanya di lantai atas.”
Ainun mengangguk, memeluk Naya yang mulai menggeliat. “Iya, Bu. Terima kasih.”
Nyonya Tuti pergi meninggalkan Ainun di dapur. Ia mulai menyiapkan susu, mengikuti petunjuk yang diberikan. Air hangat dari dispenser mengalir pelan, dan Ainun mengaduk susu formula dengan hati-hati, mencium aroma manis yang keluar dari botol. Naya menatapnya, tangan kecilnya meraih jilbab Ainun dan menariknya pelan. Ainun tertawa kecil, menepis tangan Naya dengan lembut.
“Eh, jangan tarik jilbab Ibu, ya,” katanya, suaranya penuh kelembutan yang biasa ia gunakan untuk Arfan.
Saat Ainun duduk di sofa ruang tamu untuk menyusui Naya, pintu depan terbuka. Bayu masuk, membawa tas kerja kulit yang terlihat mahal. Ia meletakkan tas di meja samping, lalu menatap Ainun yang sedang menyuapi Naya dengan botol susu. Tatapannya tak langsung, tapi terlalu lama, terlalu dalam, seolah menelusuri setiap gerakan Ainun. Ainun merasa wajahnya memanas, tapi ia berusaha fokus pada Naya, yang sekarang minum dengan lahap.
“Dia nyaman sama kamu,” kata Bayu, suaranya rendah, hampir seperti bisik. Ia melangkah mendekat, berdiri di sisi sofa, tangannya di saku celana. “Biasanya Naya rewel sama orang baru.”
Ainun tersenyum kecil, tak berani menatap Bayu. “Alhamdulillah, Pak. Mungkin karena saya juga punya anak.”
Bayu mengangguk, tapi matanya tak lepas dari Ainun. Ia memperhatikan cara jilbab Ainun membingkai wajahnya, cara tangannya yang ramping memegang botol susu, cara bahunya sedikit membungkuk saat mencondongkan tubuh ke Naya. Ada sesuatu di tatapannya yang membuat Ainun merasa telanjang, meski ia tahu itu tak masuk akal. Ia mengenakan jilbab dan tunik panjang yang menutupi tubuhnya dengan sempurna.
“Anak kamu laki-laki atau perempuan?” tanya Bayu, duduk di sofa di seberang Ainun. Jarak mereka cukup jauh, tapi ruangan yang sepi membuat suaranya terasa terlalu dekat.
“Laki-laki, Pak,” jawab Ainun, suaranya pelan. “Namanya Arfan. Umur enam tahun.”
Bayu tersenyum, tapi ada sesuatu di senyumnya yang sulit dibaca. “Pasti lucu. Kayak ibunya.”
Ainun membeku sejenak, tak yakin apakah ia salah dengar. Ia menunduk, berpura-pura fokus pada Naya, tapi jantungnya berdetak lebih kencang. Ucapan itu terasa biasa, tapi nadanya—ada kehangatan yang tak seharusnya ada di sana. Ia menggigit bibir dalam-dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul di dadanya.
“Terima kasih, Pak,” katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia menarik napas dalam, mencium aroma susu Naya yang bercampur dengan bau parfum Bayu yang samar-samar terbawa udara.
Bayu tak menjawab, hanya terus menatap. Matanya bergerak dari wajah Ainun ke tangannya, lalu ke Naya, dan kembali ke wajah Ainun. Ainun merasa seperti ada aliran listrik kecil di kulitnya, meski tak ada sentuhan fisik. Ia mencoba mengalihkan perhatian, mengusap kepala Naya yang mulai mengantuk, tapi tatapan Bayu tetap terasa seperti belaian yang tak diundang.
“Kalau kamu butuh apa-apa, bilang aja,” kata Bayu setelah beberapa saat, berdiri dari sofa. “Saya di ruang kerja kalau Naya rewel.”
“Iya, Pak,” jawab Ainun cepat, lega saat Bayu akhirnya berbalik dan menaiki tangga. Langkahnya pelan, tapi setiap derit tangga terdengar jelas di telinga Ainun.
Saat Bayu menghilang di ujung lorong, Ainun menghela napas panjang yang tak ia sadari telah ditahannya. Naya sudah selesai minum, matanya terpejam, dan botol susu kosong di tangan Ainun. Ia meletakkan Naya di ranjang bayi dengan hati-hati, menyelimutinya dengan kain lembut. Tapi pikirannya tak tenang. Tatapan Bayu tadi, meski tak menyentuh, terasa seperti meninggalkan jejak di kulitnya—jejak yang membuatnya gelisah.
Sore itu berlalu dengan lambat. Ainun membereskan botol susu, mencuci piring makan Naya, dan sesekali memeriksa bayi yang tertidur pulas. Rumah itu terlalu sepi, hanya suara air mancur di halaman dan dengung pendingin ruangan yang menemani. Nyonya Tuti muncul sesekali, membawa teh hangat untuk Ainun, tapi tak banyak bicara. Ainun merasa seperti tamu yang tak sepenuhnya diterima, namun juga tak sepenuhnya asing.
Saat matahari mulai tenggelam, Bayu turun dari ruang kerjanya. Ia sudah berganti kemeja biru tua, lengan digulung seperti biasa. Ainun sedang duduk di dekat ranjang Naya, membaca buku cerita anak-anak dengan suara pelan, meski Naya masih tertidur.
“Kamu suka baca cerita?” tanya Bayu, bersandar di kusen pintu kamar Naya. Suaranya santai, tapi lagi-lagi ada nada yang membuat Ainun merasa diperhatikan lebih dari seharusnya.
“Untuk Naya, Pak,” jawab Ainun, menutup buku perlahan. “Biar dia tenang.”
Bayu mengangguk, melangkah masuk ke kamar. Ia berdiri di sisi ranjang, menatap Naya sejenak, lalu kembali ke Ainun. “Kamu… kelihatan alami sama anak-anak,” katanya. “Seperti ibu beneran.”
Ainun tersenyum kaku, tak tahu harus menjawab apa. Kata-kata Bayu terdengar seperti pujian, tapi ada sesuatu di baliknya yang membuat jantung Ainun berdetak tak nyaman. Ia bangkit, merapikan jilbabnya yang sedikit miring. “Saya pulang dulu, Pak. Naya udah tidur.”
Bayu mengangguk, tapi matanya tak lepas dari Ainun. “Biar sopir antar. Besok kamu datang lagi, ya?”
“Iya, Pak,” jawab Ainun, buru-buru mengambil tasnya. Ia melangkah cepat menuju pintu, merasa tatapan Bayu masih menempel di punggungnya. Di luar, langit sudah jingga, dan angin membawa aroma tanah basah. Ainun naik ke mobil, menarik napas dalam-dalam. Rumah besar itu, meski megah, terasa kosong—terlalu sepi, terlalu dingin. Dan tatapan Bayu, entah kenapa, terus menggema di pikirannya, seperti suara air mancur yang tak pernah berhenti.
Bersambung
Untuk cerita lainnya dapat ke telegram @sprachgewandt666 atau karyakarsa https://karyakarsa.com/silvertounge
ns216.73.216.25da2