Arman duduk di tepi ranjang, menatap dinding kamar yang mulai mengelupas di sudut-sudutnya. Cahaya lampu neon putih di atas kepalanya terasa terlalu terang, memperlihatkan setiap retakan kecil di dinding dan setiap keraguan besar di hatinya. Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya, meski suara azan maghrib masih bergema samar dari masjid di ujung gang. Zahra baru saja pulang dari majelis taklim, wajahnya berseri tapi matanya menghindari tatapan Arman. Ia langsung bergegas ke kamar mandi, mengatakan ingin membersihkan diri sebelum salat.
Arman menghela napas panjang, tangannya menggosok-gosok tengkuknya yang terasa kaku. Ia ingin bicara, ingin bertanya, tapi setiap kali kata-kata itu menggumpal di tenggorokannya, ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Zahra berubah. Bukan hanya sikapnya yang kini penuh alasan religius, tapi juga caranya memandang Arman—seperti ia adalah beban, bukan lagi imam yang dulu ia hormati. Arman bangkit dari ranjang, berjalan ke dapur kecil mereka, dan menuang air dari teko plastik ke gelas. Airnya terasa hambar di lidahnya, seperti perasaannya saat ini.
Di kamar mandi, Zahra berdiri di bawah pancuran air dingin. Air mengalir di kulitnya yang mulus, membasahi rambut panjangnya yang kini selalu tertutup rapi di luar rumah. Ia menutup mata, membiarkan air membilas wajahnya, seolah bisa mencuci rasa bersalah yang menggerogoti dadanya. Tapi pikirannya melayang lagi—kepada Habib Albar, kepada suaranya yang lembut seperti beledu, kepada pesan-pesan di WhatsApp yang selalu ia baca ulang di tengah malam. “Antara ruh dan tubuhmu ada jalan yang harus disucikan,” begitu kata Habib dalam pesan terakhirnya. Zahra merinding, bukan karena air dingin, tapi karena bayangan tangan Habib yang seolah bisa menyentuh jiwanya melalui kata-kata itu.
Ia menggosok tubuhnya dengan sabun, tangannya bergerak lambat di atas payudaranya, lalu turun ke perutnya. Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, sesuatu yang ia tahu salah tapi tak bisa ia tolak. Ia membayangkan Habib berdiri di depannya, bukan di balik layar ponsel, melainkan nyata, dengan sorban putihnya yang selalu rapi dan mata yang seolah bisa menembus dinding hatinya. Zahra menggigit bibir bawahnya, tangannya berhenti sejenak di antara pahanya, lalu ia tersentak. “Astaghfirullah,” gumamnya, buru-buru mematikan pancuran dan meraih handuk.
Di ruang tamu, Arman masih memegang gelas kosong, menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Ia mendengar suara air berhenti, lalu langkah kaki Zahra yang ringan menuju kamar. Ia ingin mengikuti, ingin memeluk istrinya seperti dulu, ketika mereka masih bisa tertawa bersama di ranjang kecil itu. Tapi sekarang, setiap kali ia mendekat, Zahra seperti menjaga jarak dengan alasan-alasan yang selalu terdengar suci: “Aku sedang haid,” atau “Aku dalam masa ibadah, Mas.” Arman tahu itu bukan kebenaran penuh. Ada sesuatu di balik hijab syar’i yang kini selalu Zahra kenakan, sesuatu yang membuatnya merasa seperti orang asing di mata istrinya.
Zahra keluar dari kamar mandi dengan gamis panjang berwarna abu-abu, rambutnya masih basah dan disanggul sederhana di bawah jilbab yang ia kenakan bahkan di dalam rumah. Ia melirik Arman sekilas, lalu berjalan menuju sajadah yang sudah tergelar di sudut ruangan. “Aku salat dulu, Mas,” katanya tanpa menoleh, suaranya datar.
Arman mengangguk, meski Zahra tak melihatnya. Ia berdiri, berjalan mendekati istrinya yang kini bersujud dalam salat. Gerakan Zahra begitu anggun, begitu penuh ketenangan, tapi Arman merasa ada tembok tak terlihat di antara mereka. Ia menunggu hingga Zahra selesai, lalu duduk di samping sajadah, berusaha mencari kata-kata yang tepat.
“Zahra,” panggilnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara kipas angin yang berderit di sudut ruangan.
Zahra menoleh, tangannya masih memegang tasbih. “Apa, Mas?” Matanya penuh kewaspadaan, seolah sudah tahu arah pembicaraan ini.
Arman menarik napas dalam-dalam. “Kamu… kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kayak orang lain aja. Tiap aku deket, kamu selalu bilang lagi ibadah, lagi dzikir, lagi apa. Aku suamimu, Zahra. Aku cuma pengin kita kayak dulu lagi.”
Zahra memandang Arman dengan tatapan yang sulit dibaca—campuran antara kesal dan kasihan. “Mas, aku nggak berubah. Aku cuma pengin lebih dekat sama Allah. Apa salahnya kalau aku ikut majelis, kalau aku belajar agama? Bukannya Mas juga harusnya dukung?”
Arman menggeleng, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Bukan gitu, Zahra. Aku dukung kamu belajar agama. Tapi… kamu nggak lagi kayak istriku. Kamu nggak lagi ngomong sama aku, nggak lagi… nggak lagi dekat sama aku.” Suaranya melemah di akhir, penuh kerapuhan yang ia coba sembunyikan.
Zahra menunduk, jari-jarinya memainkan tasbih dengan gerakan cepat. “Mas, aku cuma pengin jadi istri yang lebih baik di mata Allah. Kalau aku dingin, maaf. Tapi aku lagi belajar menjaga hati dan tubuhku supaya suci.”
“Suci?” Arman tertawa kecil, pahit. “Suci dari apa, Zahra? Dari aku? Dari suamimu sendiri? Aku nggak ngerti apa yang kamu cari di majelis itu. Setiap pulang, kamu kayak orang yang nggak betah di rumah. Kayak aku ini cuma gangguan.”
Zahra bangkit dari sajadah, wajahnya memerah. “Jadi sekarang Mas menyalahkan aku karena aku pengin ibadah? Karena aku pengin jadi perempuan yang lebih baik? Mas nggak ngerti agama, nggak ngerti perjuanganku!”
“Perjuangan apa, Zahra?!” Suara Arman meninggi, tangannya menggenggam udara seolah ingin menahan sesuatu yang tak bisa ia pegang. “Aku cuma pengin istriku kembali! Aku cuma pengin kamu lihat aku, bukan cuma sajadah, bukan cuma majelis, bukan cuma… orang-orang di sana!”
Zahra menatap Arman dengan mata berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih—ada kemarahan di sana, kemarahan yang Arman tak pernah lihat sebelumnya. “Mas, kalau kamu nggak bisa terima aku yang sekarang, mungkin Mas yang harus introspeksi. Mungkin Mas yang nggak cukup iman untuk jadi imamku.”
Kata-kata itu seperti pisau, menusuk tepat di dada Arman. Ia terdiam, mulutnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar. Zahra berbalik, mengambil sajadahnya, dan berjalan ke kamar tanpa menoleh lagi. Pintu kamar ditutup pelan, tapi bagi Arman, suara itu terdengar seperti palu yang menghancurkan apa yang tersisa dari kepercayaan dirinya.
Malam itu, Arman tak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, menatap ponselnya yang tak pernah berdering lagi dengan pesan manis dari Zahra seperti dulu. Pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan yang tak jelas—Zahra di majelis, Zahra yang tersenyum pada orang lain, Zahra yang tak lagi melihatnya sebagai lelaki yang ia cintai. Ia ingin marah, ingin menangis, tapi yang tersisa hanyalah kehampaan.
Di dalam kamar, Zahra duduk di tepi ranjang, tangannya masih memegang tasbih. Ia menutup mata, mencoba berdzikir, tapi pikirannya kembali ke pesan Habib Albar yang ia baca tadi siang. “Hati yang suci akan selalu menemukan jalannya, meski dunia mencoba menahannya,” begitu bunyi pesan itu. Zahra merasa jantungan, tapi ada sesuatu yang lain—sesuatu yang hangat, yang mengalir di nadinya, yang membuatnya merasa hidup. Ia membayangkan Habib, suaranya yang dalam, tangannya yang seolah bisa menenangkan badai di hatinya.
Tanpa sadar, tangan Zahra bergerak ke ponselnya, membuka kembali pesan-pesan itu. Ia membaca ulang setiap kata, setiap kalimat yang terasa seperti puisi suci. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia meletakkan ponsel di sampingnya, lalu berbaring di ranjang, menatap plafon kamar yang mulai berjamur. Tubuhnya terasa panas, meski AC kecil di sudut kamar berdengung pelan.
1218Please respect copyright.PENANAt8UJa6q2Hu
Zahra menutup mata, tangannya perlahan merayap ke bawah gamisnya, menyentuh kulit pahanya yang lembut. Ia membayangkan Habib, bukan Arman, yang kini berdiri di depannya. Dalam imajinasinya, Habib mengenakan jubah putih, sorbannya sedikit terlepas, memperlihatkan rambut hitam yang sedikit berombak. Ia membayangkan tangan Habib menyentuh pundaknya, lalu turun perlahan ke payudaranya, jari-jarinya menggambar lingkaran kecil di sekitar puting payudaranya yang mengeras di bawah kain tipis. Zahra menggigit bibir, napasnya mulai tak beraturan.
Tangan Zahra bergerak lebih dalam, menyentuh jembut halus di antara pahanya, lalu menemukan bibir vagina yang sudah basah. Ia membayangkan Habib berlutut di depannya, wajahnya begitu dekat, napasnya hangat menyapu kulit sensitifnya. Dalam imajinasinya, Habib berbisik, “Ini adalah jalan sucimu, Zahra. Serahkan tubuhmu pada hidayah.” Jari-jari Zahra bergerak lebih cepat, menggosok perlahan, mencari ritme yang membuat tubuhnya menegang. Ia membayangkan penis Habib, keras dan hangat, menyentuh bibir vaginanya, lalu masuk perlahan, penuh kelembutan tapi juga kekuasaan.
Zahra memejamkan mata lebih erat, pinggulnya sedikit terangkat dari ranjang, mengikuti ritme imajinasinya. Ia membayangkan dirinya berbaring di atas sajadah, Habib di atasnya, gerakan mereka seperti tarian yang suci. Pantatnya yang bulat terasa panas di bawah sentuhan imajiner Habib, dan ketika ia membayangkan penis Habib masuk lebih dalam, tubuhnya menegang, napasnya tersengal, dan akhirnya ia mencapai klimaks dengan desahan pelan yang ia tahan di tenggorokannya.
Setelahnya, Zahra terdiam, tangannya masih di antara pahanya, basah oleh keringat dan cairan tubuhnya sendiri. Rasa bersalah kembali menyerang, tapi kali ini ia tak menangis. Ia hanya menarik napas panjang, lalu bangkit untuk membersihkan diri. Di dalam hatinya, ia meyakinkan diri bahwa ini bukan dosa—ini adalah bagian dari perjalanannya menuju kesucian, seperti yang Habib katakan.
Di ruang tamu, Arman masih duduk, tak tahu apa yang terjadi di balik pintu kamar. Ia hanya mendengar suara air dari kamar mandi lagi, dan hatinya semakin terasa kosong. Malam itu, ia bersujud di sajadah yang sama yang biasa Zahra gunakan, tapi doanya terasa hampa. Amarahnya bercampur dengan kebingungan, dan di dalam sujudnya, ia hanya bisa berbisik, “Ya Allah, kembalikan dia kepadaku… atau setidaknya, kembalikan aku pada diriku sendiri.”
1218Please respect copyright.PENANArL1BxUADQs