Malam itu, langit di atas kampung kecil di pinggiran kota tampak kelam, hanya dihiasi bintang-bintang yang berkedip malu-malu. Di sebuah rumah sederhana bercat putih, suasana penuh dengan aroma melati dari rangkaian bunga yang masih tersisa dari akad nikah pagi tadi. Shiwy Maulina, perempuan berusia 27 tahun dengan wajah lembut dan sorot mata yang penuh keraguan, duduk di tepi ranjang pengantin. Jilbab panjang berwarna krem yang dikenakannya sepanjang hari kini telah dilepas, membiarkan rambut hitamnya terurai di bahu. Ia menatap cermin di sudut kamar, mencoba mencari bayangan dirinya yang dulu—sebelum semua ini dimulai.
116Please respect copyright.PENANAwq44Z671mJ
Shiwy bukanlah pengantin yang dipenuhi mimpi-mimpi romantis. Pernikahannya dengan Hasan, seorang guru agama berusia 32 tahun dari keluarga pesantren, adalah keputusan keluarga. Ibunya, seorang janda yang taat, selalu berkata bahwa Hasan adalah pilihan terbaik untuk menjaga agama dan kehormatan Shiwy. “Laki-laki shaleh seperti Mas Hasan itu langka, Shiwy. Dengarkan ibu,” begitu nasihat yang berulang kali ia dengar. Shiwy, yang dibesarkan dengan nilai-nilai kepatuhan, tidak pernah berani menolak. Namun, di dalam hatinya, ada kekosongan yang tak bisa ia jelaskan, seperti lubang kecil yang terus menganga sejak ia meninggalkan masa lalunya dengan Reza, mantan kekasihnya dari masa kuliah.
116Please respect copyright.PENANAvaTxdyYdl0
Di ruang tamu, Hasan sedang berbincang dengan beberapa tamu yang masih bertahan. Suaranya yang tenang dan penuh wibawa terdengar samar, membahas ayat-ayat Al-Qur’an dan tanggung jawab seorang suami. Ia adalah sosok yang disegani di komunitas kecil mereka, dengan jenggot pendek yang terawat rapi dan sorban yang selalu ia kenakan saat mengajar di pesantren. Namun, di balik ketenangannya, Hasan adalah pria yang kaku, terpaku pada aturan dan tradisi. Ia percaya bahwa cinta akan tumbuh seiring waktu, seperti yang selalu dikatakan ayahnya dulu. Bagi Hasan, pernikahan ini adalah ibadah, dan ia bertekad menjalankannya dengan penuh tanggung jawab.
116Please respect copyright.PENANAL0X5spndzw
“Ustadz, kapan rencana punya anak?” tanya seorang tamu, nada bercandanya membuat tawa kecil pecah di ruangan.
116Please respect copyright.PENANA0vJpsiEgI1
Hasan tersenyum tipis, mengelus jenggotnya. “Semua sudah ada waktunya, Pak. Doakan saja kami diberi keturunan yang shaleh dan shalehah.”
116Please respect copyright.PENANARjC3wxcz0X
Pikiran Hasan sesungguhnya sudah melayang ke kamar pengantin, tempat Shiwy menunggu. Ia merasa gugup, meski tak pernah mengakuinya. Baginya, malam ini adalah bagian dari kewajiban suci, sebuah langkah untuk menyempurnakan separuh agamanya. Namun, ia tidak tahu bagaimana harus mendekati Shiwy, perempuan yang baru ia kenal beberapa bulan melalui taaruf. Percakapan mereka selama ini selalu formal, dipenuhi nasihat agama dan harapan keluarga. Hasan tidak pernah bertanya apa yang Shiwy inginkan, dan Shiwy pun tidak pernah mengungkapkannya.
116Please respect copyright.PENANAtIBuvDJXEY
Di dalam kamar, Shiwy menghela napas panjang. Ia bangkit dari ranjang, berjalan ke jendela, dan menatap halaman rumah yang kini sepi. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke malam-malam di kafe kecil dekat kampus, tempat ia dan Reza pernah menghabiskan waktu berjam-jam. Reza, dengan senyum nakal dan kata-kata manis, selalu tahu cara membuatnya tertawa. Namun, hubungan itu berakhir pahit, ditentang keluarga karena Reza dianggap tidak cukup serius. Shiwy mengusap matanya, mencoba mengusir bayangan itu. “Sudah, Shiwy. Itu dulu. Sekarang kamu punya Mas Hasan,” gumamnya pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar.
116Please respect copyright.PENANAdmD5dWHGFV
Pintu kamar berderit pelan saat Hasan masuk. Shiwy menoleh, jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Hasan mengenakan baju koko putih dan sarung, sorbannya sudah dilepas. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu memandang Shiwy dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara kewajiban dan kelembutan yang dipaksakan.
116Please respect copyright.PENANA1QX2MMiogg
“Shiwy, sudah siap?” tanyanya, suaranya rendah dan terdengar seperti sedang membaca doa.
116Please respect copyright.PENANA6LnWwLKEZ0
Shiwy mengangguk pelan, meski hatinya dipenuhi keraguan. “Iya, Mas Hasan,” jawabnya, suaranya lembut namun datar. Ia kembali duduk di tepi ranjang, tangannya meremas ujung mukenah yang masih ia kenakan.
116Please respect copyright.PENANA1SH2yeLZlZ
Hasan mendekat, duduk di sampingnya. Ada keheningan yang canggung menggantung di antara mereka. Ia menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Malam ini adalah awal baru bagi kita, Ummi,” katanya, menggunakan panggilan yang biasa dipakai suami dalam keluarga religius. “Kita harus memulainya dengan niat yang baik, demi Allah.”
116Please respect copyright.PENANAxlt92LTQiD
Shiwy hanya mengangguk, matanya tertunduk. Ia tahu apa yang akan terjadi, dan meski ia telah mempersiapkan diri, ada bagian dirinya yang merasa asing dengan momen ini. Hasan bukan Reza, yang selalu tahu cara menyentuh hatinya dengan candaan atau pelukan tiba-tiba. Hasan adalah pria yang terpaku pada aturan, dan Shiwy tidak yakin apakah ia bisa menemukan kehangatan di balik sikap kaku itu.
116Please respect copyright.PENANA58abrwhu3P
Hasan mengulurkan tangan, menyentuh pundak Shiwy dengan hati-hati, seolah takut melanggar batas. “Mari kita berdoa dulu,” katanya. Ia memimpin doa dengan suara yang tenang, memohon keberkahan untuk pernikahan mereka. Shiwy mengikuti, menutup mata, mencoba menenangkan hati yang bergejolak.
116Please respect copyright.PENANAgm2JQJLIvn
Setelah doa selesai, Hasan memandang Shiwy dengan lebih intens. Ia merasa ini adalah saatnya untuk memenuhi kewajiban sebagai suami. Dengan gerakan yang terukur, ia mematikan lampu utama, hanya menyisakan lampu tidur yang memancarkan cahaya redup. Shiwy merasakan ranjang bergoyang pelan saat Hasan mendekat, tangannya kini memegang lengan Shiwy dengan lebih tegas.
116Please respect copyright.PENANAScTVCEEs42
“Shiwy, kita adalah suami-istri sekarang,” bisik Hasan, suaranya bergetar sedikit. “Aku akan berusaha menjadi suami yang baik untukmu.”
116Please respect copyright.PENANAxtxFKfqcbU
Shiwy mengangguk lagi, meski hatinya terasa berat. Ia membiarkan Hasan menariknya lebih dekat, merasakan napas hangat pria itu di lehernya. Hasan mulai mencium kening Shiwy, lalu turun ke pipinya, gerakannya kaku namun penuh niat. Shiwy menutup mata, mencoba membiarkan dirinya larut, namun pikirannya terus memberontak. Ia merasa seperti sedang menjalani ritual, bukan momen keintiman.
116Please respect copyright.PENANAL9HZGUjMhR
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Hasan membantu Shiwy melepaskan mukenah yang masih dikenakannya, meninggalkan Shiwy hanya dengan daster tipis berwarna pastel. Cahaya lampu tidur memantul di kulit Shiwy yang mulus, membuat Hasan menelan ludah. Ia belum pernah begitu dekat dengan seorang perempuan, dan meski ia berusaha menjaga niat suci, hasrat alami sebagai pria mulai mengambil alih. Ia menarik Shiwy ke pelukannya, merasakan kehangatan tubuh perempuan itu di dadanya.
116Please respect copyright.PENANAUjDoE1g3Kr
Shiwy merasakan jantungnya berdetak kencang saat Hasan mulai menyentuh punggungnya, tangannya bergerak perlahan namun terasa asing. Ia mencoba membalas, meletakkan tangannya di dada Hasan, namun gerakannya terasa dipaksakan. Hasan, yang menganggap ini sebagai bagian dari kewajiban, mulai mencium leher Shiwy, napasnya semakin berat. Ia menarik daster Shiwy ke atas, memperlihatkan tubuh Shiwy yang ramping dan payudara yang terbungkus bra sederhana. Dengan gerakan yang hati-hati, Hasan melepaskan bra itu, memperlihatkan payudara Shiwy yang bulat dan lembut di bawah cahaya redup.
116Please respect copyright.PENANAaUFkVfoyIG
Shiwy merasa tubuhnya menegang, bukan karena gairah, melainkan karena ketidaknyamanan yang sulit ia jelaskan. Hasan, yang tidak peka terhadap ekspresi Shiwy, melanjutkan, tangannya kini menjelajahi payudara Shiwy dengan gerakan yang kaku, seperti seseorang yang sedang mempelajari sesuatu yang baru. Ia mencium payudara Shiwy, bibirnya terasa dingin di kulit yang hangat, membuat Shiwy menggigit bibirnya untuk menahan desahan yang bukan berasal dari kenikmatan, melainkan ketegangan.
116Please respect copyright.PENANAxD4RAK9zeO
“Ummi, kamu baik-baik saja?” tanya Hasan, suaranya penuh kekhawatiran saat ia menyadari Shiwy tidak banyak bergerak.
116Please respect copyright.PENANAeplRRALRMJ
“Iya, Mas,” jawab Shiwy cepat, suaranya hampir berbisik. Ia tidak ingin Hasan tahu betapa asingnya momen ini baginya.
116Please respect copyright.PENANANzA888WQQ7
Hasan mengangguk, menganggap jawaban itu sebagai izin untuk melanjutkan. Ia menurunkan celana dalam Shiwy, memperlihatkan vagina yang tersembunyi di antara rambut halus. Dengan gerakan yang masih terasa mekanis, ia menyentuh area itu, jarinya bergerak dengan hati-hati, seolah takut melakukan kesalahan. Shiwy memejamkan mata, mencoba membayangkan sesuatu yang bisa membuatnya rileks, namun pikirannya kosong. Ia hanya merasakan sentuhan Hasan yang asing, tanpa kehangatan yang ia harapkan.
116Please respect copyright.PENANAcgfWG55BZn
Hasan, yang kini dipenuhi hasrat yang ia coba kendalikan, melepaskan sarungnya, memperlihatkan penis yang sudah mengeras. Ia memposisikan diri di atas Shiwy, tangannya memegang pinggul perempuan itu untuk menjaga keseimbangan. Dengan napas yang semakin berat, ia mulai memasukkan penisnya ke dalam vagina Shiwy, gerakannya lambat namun terasa kaku. Shiwy merasakan sedikit ketidaknyamanan, tubuhnya belum sepenuhnya siap, namun ia diam, membiarkan Hasan melanjutkan.
116Please respect copyright.PENANAqKiQmOp1B5
Gerakan Hasan menjadi lebih ritmis, namun tetap tanpa variasi, seperti seseorang yang menjalankan tugas dengan penuh konsentrasi. Ia menggenggam tangan Shiwy, mencoba menciptakan ikatan, namun Shiwy hanya memandang plafon, pikirannya melayang ke tempat lain. Payudara Shiwy bergoyang pelan mengikuti irama gerakan Hasan, dan meski secara fisik ia merasakan sentuhan itu, hatinya tetap dingin. Hasan, yang tidak menyadari keterputusan ini, terus bergerak, napasnya semakin cepat hingga akhirnya ia mencapai klimaks, melepaskan cairan hangat di dalam tubuh Shiwy.
116Please respect copyright.PENANAmQAsDiSVIM
Setelah selesai, Hasan menghela napas panjang, lalu berbaring di samping Shiwy. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka, tangannya masih memegang tangan Shiwy. “Alhamdulillah, kita sudah memulai dengan baik, Ummi,” katanya, suaranya penuh kepuasan.
116Please respect copyright.PENANAClBBrIypmG
Shiwy hanya tersenyum tipis, matanya masih menatap plafon. “Iya, Mas,” jawabnya, suaranya datar. Ia merasakan tubuhnya lelah, namun hatinya lebih lelah lagi. Momen yang seharusnya suci ini terasa seperti kewajiban yang harus ia jalani, bukan keintiman yang ia dambakan.
116Please respect copyright.PENANAS4SbFKATXK
Hasan segera tertidur, napasnya teratur di samping Shiwy. Namun, Shiwy tetap terjaga, matanya menatap kegelapan di luar jendela. Ia merasa seperti burung yang dikurung dalam sangkar emas—aman, namun tidak bebas. Pikirannya kembali melayang ke Reza, ke senyumnya yang penuh pesona, ke sentuhannya yang selalu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir bayangan itu. “Ini hidupku sekarang,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
116Please respect copyright.PENANAulK4YOn2lS
Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa aroma melati yang mulai memudar. Shiwy menutup mata, berharap bisa menemukan kedamaian dalam tidurnya. Namun, di dalam hatinya, ada benih keraguan yang mulai tumbuh, benih yang akan membawanya ke jalan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
116Please respect copyright.PENANArzoNXLLXiT
Malam itu, di kamar pengantin yang penuh harapan dan kewajiban, Shiwy Maulina memulai perjalanan barunya sebagai istri Hasan. Namun, di balik kepatuhannya sebagai akhwat, ada lubang kecil di hatinya yang menolak untuk tertutup, menunggu seseorang—orang-orang—yang akan mengisi kekosongan itu dengan cara yang tak pernah ia duga.
ns216.73.216.154da2