Sementara itu di tempat lain, sebuah warung kopi kecil milik janda semok bernama Zubaedah berdiri dengan lampu redup yang menyinari halaman depan. Suara jangkrik terdengar riuh di kejauhan, mengiringi desiran angin malam yang sesekali menyentuh wajah. Warung kopi itu sederhana, hanya beberapa meja kayu yang tersebar di dalamnya, dengan kursi-kursi kayu yang sudah sedikit usang, namun tetap nyaman.
Meskipun kecil, tapi seperti malam-malam sebelumnya warung milik Zubaedah selalu dipenuhi oleh para pengunjung yang kebanyakan adalah para pria di sekitar lingkungan. Bukan saja karena racikan kopi Zubaedah yang enak dan murah, tapi juga karena penampilan janda berusia 35 tahun itu yang selalu menarik perhatian lawan jenis.
Maka jangan heran, jika malam sudah menjelang, warung kopi itu selalu dipenuhi oleh para pelanggan. Mereka datang bukan hanya untuk menikmati segelas kopi atau mengobrol saja, tapi mereka juga datang untuk melihat kemolekan tubuh sang pemilik warung yang tak jarang mengenakan pakaian ketat menggugah selera. Pak Jamal yang baru beberapa minggu tinggal di lingkungan itu jadi salah satu “fans baru” Zubaedah.
Hampir setiap malam, pria tua itu selalu mendatangi warung meskipun saat di rumah Darto, Alvi tak pernah lupa menyiapkan kopi untuknya. Berbeda dengan para pengunjung lain yang secara terang-terangan selalu memuji penampilan Zubaedah, Pak Jamal bergerak dalam senyap, sama sekali tak terdeksi, namun sangat efektif. Satu minggu lalu saat kebetulan warung masih sepi, Zubaedah menceritakan masalahnya pada Pak Jamal.
Zubaedah secara terbuka menceritakan mantan suaminya yang sudah mati dan meninggalkan setumpuk hutang. Pak Jamal menyimak tiap detail cerita janda semok itu dengan seksama, sebagai mantan “Don Juan” di masa muda tak sulit bagi Pak Jamal untuk jadi sosok yang terkesan mengayomi, jadi pendengar yang baik untuk tiap keluh kesah Zubaedah.
“Berapa sisa hutang suamimu?” Tanya Pak Jamal kala itu.
“Lumayan lah Mas, makanya ini aku pusing banget. Apalagi bulan depan anakku yang kecil udah mau masuk sBimolah.”
“Ya lumayan itu berapa?” Todong Pak Jamal tanpa basa-basi, dia tau inilah kesempatan baginya untuk jadi sosok pahlawan bagi janda semok itu.
“Hmmm, masih ada sekitar dua puluh jutaan mungkin.” Ujar Zubaedah berterus terang.
Nominal sebesar itu sebenarnya tak cukup membuat Pak Jamal kaget. Uang segitu tak ada artinya bagi pria yang memiliki banyak swah di kampung tersebut. Pak Jamal hanya terdiam, sambil otaknya berputar bagaimana cara memanfaatkan momen seperti ini. Bantuannya harus berbuah hasil manis, dia sadar betul akan hal tersebut.
“Kalo aku yang nutup hutangmu gimana?” Zubaedah tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, bola matanya berbinar, rasa putus asanya kini ada penawarnya.
“Serius Mas???” Pak Jamal tersenyum, dia tau Zubaedah akan segera masuk ke dalam “perangkapnya.”
“Serius dong…” Pak Jamal menyeruput sisa kopinya di dalam cangkir kecil.
“Wah kalo beneran aku bakal terima kasih banget sih. Tapi apa kamu yakin mau bantu aku? Dua puluh juta tu banyak loh? Nanti apa kata Darto sama menantumu?” Cerocos Zubaedah.
“Ah, uang segitu nggak ada masalah buatku. Lagipula Darto nggak pernah ikut campur urusanku, jadi ya nggak masalah.” Balas Pak Jamal santai.
Mendengar hal itu Zubaedah mengambil posisi duduk dekat, bahkan sangat dekat dengan Pak Jamal. Bahkan siku pria tua itu bisa menyentuh gundukan payudaranya yang terbungkus kain kemben seksi. Zubaedah tau betul caranya berterima kasih. Sepanjang usia pernikahannya dengan mendiang suaminya tak sekalipun mendapat nafkah lahir sebanyak ini, dan sekarang ada seorang pria tua yang dengan senang hati memberinya uang tanpa banyak bicara.
“Aku tau jaman sekarang nggak ada yang gratis Mas. Kamu mau apa dari aku?” Ujar Zubaedah tanpa basa-basi. Kerling matanya menggoda. Tangan kanannya mulai berani memegang paha Pak Jamal, mengelusnya secara perlahan.
“Hahahahaha! Kamu tau aja kalo aku sudah lama nggak ngrasain perempuan.” Balas Pak Jamal.
Malam itu jadi tonggak hubungan baru antara Pak Jamal dan Zubaedah karena keesokan harinya pria tua itu menepati janji dengan menyerahkan uang untuk membayar semua hutang-hutang mendiang suami Zubaedah, bahkan jumlahnya lebih besar dari yang dijanjikan. Apa yang diberikan oleh Pak Jamal bukannya tanpa pamrih, Zubaedah pun tau akan hal tersebut. Maka, setelah hari itu, apapun yang diinginkan oleh Pak Jamal maka Zubaedah akan menurutinya. Apapun itu.
“Wah Mbak Zubaedah kalo make hijab kayak gini jadi makin cakep.” Celetuk Rohmat, seorang PNS Kabupaten yang setiap malam rajin mendatangi warung kopi milik Zubaedah.
“Setuju! Makin adem ngliatnya.” Sahut Roby, pemuda berusia 20 tahun yang tinggal di dekat warung.
“Diliat aja ya bro, nggak boleh dipegang.” Pak RT ikut menimpali, pria berambut tipis dan beruban itu sudah tiga hari terakhir mulai sering mendatangi warung.
Malam ini Zubaedah memang merubah penampilannya. Sebuah rok sepan panjang ketat dipadu kemeja berkancing minimalis serta hijab gelap yang menutupi kepalanya bukan hanya menambah aura kecantikannya, tapi juga makin merojok fantasi-fantasi liar para pengunjung warung. Adalah sosok Pak Jamal yang meminta Zubaedah memakai pakaian tersebut, bukan tanpa alasan, pria tua itu terobsesi pada penampilan Alvi yang sering menegenakan hijab saat bekerja di pabrik.
“Kalian jangan suka gombal ah, inget istri di rumah.” Rajuk Zubaedah seraya menyerahkan secangkir kopi untuk pengunjung warungnya.
“Bukan gombal kok Mbak, tapi ini kenyataan yang harus diungkapkan.” Ujar Rohmat dengan bahasa sok inteleknya yang langsung disambut senyuman sinis para pengunjung warung lain.
Di sudut meja, sedari tadi Pak Jamal hanya mengamati interaksi antara Zubaedah dengan para pengunjung warung sambil sesekali melirik janda semok itu. Keduanya memang telah bersepakat untuk merahasiakan “hubungan” mereka. Alhasil mereka baru bisa mengumbar kemesraan ketika warung sudah sepi atau saat Pak Jamal mendatangi rumah Zubaedah secara diam-diam.
“Mbak, boleh pinjam kamar mandinya?” Pak Jamal maju ke depan, berpura-pura minta ijin pada Zubaedah.
“Oh silahkan Pak, ada di belakang, mari saya antar.” Zubaedah tersenyum penuh arti.
“Walah, udah tua kok pake diantar segala Mbak?” Celetuk Tomi.
“Hush! Karena sudah tua harus didampingi, siapa tau dia nggak bisa megangin barangnya sendiri.” Sahut Pak RT yang langsung disambut gelak tawa para pengunjung warung lain.
Guyonan Pak RT dan Tomi sama sekali tank ditanggapi oleh Pak Jamal. Pria tua itu lebih memilih mengabaikan mereka daripada terlibat pertengkaran yang tak perlu. Toh, apa yang sedang difantasikan oleh pria-pria tersebut pada tubuh Zubaedah telah dilakukannya berkali-kali tanpa ada satupun orang yang tau.
“Mas mau minta jatah sekarang? Warung masih rame loh.” Ujar Zubaedah saat sudah berada di depan pintu kamar mandi.
“Sebentar aja, kontolku udah ngaceng banget liat kamu pake jilbab kayak gini.” Balas Pak Jamal.
“Ah! Mas Jamal mana pernah sebentar kalo ngewe.”
“Ayo buruan!” Pak Jamal sudah tak sabar dan langsung menarik tubuh sintal Zubaedah masuk ke dalam kamar mandi.
Begitu sudah berada di dalam kamar mandi, Pak Jamal tanpa sungkan-sungkan langsung mempreteli kancing kemeja Zubaedah yang terlihat kekecilan. Tanpa melepas BH terlebih dahulu, pria tua itu menarik keluar gundukan payudara si janda semok dengan sangat antusias.
“Palan Mas…Sakiiitt…” Keluh Zubaedah.
“Aku udah nggak tahan..”
Mulut Pak Jamal langsung mencaplok payudara Zubaedah, menghisap puting janda itu secara bergantian, sementara satu tangannya ikut meremasi aset terindah Zubaedah. Diperlakukan seperti itu, Zubaedah sebenarnya ingin mengerang atau setidaknya mendesah sebagai aktualisasi ekspresi kebinalannya, tapi hal itu tak dilakukannya. Tangan kanannya menutup mulutnya sendiri, mencegah suaranya terdengar dari luar.
Seluruh tubuh Zubaedah bergetar hebat dalam sensasi nikmat yang dipancarkan melalui sentuhan lidah pada ujung pentil payudaranya. Pak Jamal yang sudah lama tak merasakan payudara seorang wanita memanfaatkan waktu yang ia miliki, ia mengecup, menjilat, mencium, melumat, menyapu hingga menghisap.
Lidahnya mengular, melintir, mengoles ke semua arah. Setiap apa yang ia lakukan, menyebarkan sentakan elektris ke sekujur badan Zubaedah. Sang janda itu pun memeluk kepala Pak Jamal, menekannya ke dada, membantu sang pejantan untuk menikmati ranumnya buah dada.
“Eeemmchhhh…Eeemmcchhh..”
Puting Zubaedah makin mengeras, apalagi hisapan mulut Pak Jamal sesekali ditambah dengan gigitan-gigitan kecil lalu diakhiri membetot puting. Pak Jamal merapatkan tubuhnya, tonjolan penis dari balik celananya menyentuh paha Zubaedah. Janda semok itu meremasinya dengan tangan kiri.
“Emutin aja, aku akan cepat kali ini.” Ucap Pak Jamal beberapa saat kemudian sambil melepas celananya hinga bagian bawah tubuhnya terbuka. Zubaedah hendak melepas hijabnya namun Pak Jamal buru-buru mencegahnya.
“Nggak usah dibuka, aku makin sange kalo liat kamu make hijab kayak gini.” Zubaedah mengrenyitkan dahi.
“Tapi nanti kotor Mas…”
“Udah ayo buruan, nggak usah banyak protes.” Pak Jamal tak mau merusak fantasinya sedari tadi.
Zubaedah bergerak merundukkan badannya, terpaksa dia menuruti kemauan pria tua itu. Meskipun sudah tua, tapi penis Pak Jamal bisa dikatakan tak kalah dengan penis-penis pria yang usianya jauh lebih muda. Saat ereksi batang penisnya menunjukkan urat-urat tipis, bagian ujungnya mengembang seperti kepala jamur berwarna kecokelatan. Memang tak sebesar milik bintang porno dari luar, tapi itu sudah cukup menggelitik birahi Zubaedah.
Tanpa diperintah lagi, Zubaedah membelai benda itu. Indera perabanya merasakan urat-urat di sekujur batang penis Pak Jamal berdenyut mengalirkan darah. Semakin dibelai daging kenyal itu semakin keras. Zubaedah sesekali menampar pipi dan mulutnya menggunakan penis itu.
"Occhhh! Enak sayang!"
Zubaedah tanpa ragu mendaratkan lidahnya di kepala penis Pak Jamal, menyapu daerah itu dengan ekspresi binal. Meskipun aroma alat kawin pejantan tua itu sedikit pesing, Zubaedah terus menciuminya dengan sepenuh hati tanpa sekalipun merasakan jijik. Payudaranya yang menggantung bebas jadi sasaran remasan kasar jemari Pak Jamal.
“Eeemmcchh…Eeemmchhh..” Hanya itu yang terdengar dari bibir Zubaedah.
Rangsangan jemari Pak Jamal pada payudaranya memicu Zubaedah untuk melanjutkan tugas, maka ia pun membuka mulutnya dan memasukkan penis itu ke dalam mulutnya. Kepala Zubaedah bergerak maju mundur menservis penis Pak Jamal, kuluman dan jilatannya begitu memanjakan pria tua itu hingga membuatnya melenguh keenakan dengan tubuh bergetar.
“Ouuchh! Terusin! Isepin kontolku!” Racau Pak Jamal, satu tangannya membelai kepala si janda semok yang masih tertutup hijab.
Sesekali Zubaedah melirik ke arah Pak Jamal, ekspresi mata binalnya makin membuat birahi pria tua itu terbakar. Apalagi saat Zubaedah memainkan lidahnya di sekitar lubang kencing, menjilatinya perlahan sebelum kemudian kembali mengulumnya. Tangan janda itu kini ikut mencengkram alat kawin Pak Jamal, meremasnya lalu mengocoknya sambil terus meberikan kuluman serta hisapan dengan mulutnya.
Suara desahan poarau Pak Jamal saling bersahutan dengan bunyi kecipak mulut Zubaedah yang sibuk di bawah sana. Selang beberapa waktu Pak Jamal merasakan desakan kuat dari dalam penisnya. Kedua tangannya mencengkram kepala Zubaedah, kemudian menggantikan kocokan tangan wanita itu dengan goyangan pinggulnya. Kini Pak Jamal terlihat sedang menyutubuhi mulut Zubaedah.
“Orrgghht!! Orrgghhtt!” Ujung penis Pak Jamal nyaris menyentuh kerongkongan Zubaedah, mulutnya megap-megap disesaki penis sang pejantan.
“Aku mau keluar! Aku mau keluar!”
Buru-buru Pak Jamal melepas batang penisnya, mengocoknya sesaat dan mengarahkan bagian ujung penisnya pada mulut Zubaedah yang sudah terbuak dan bersiap di bawah tubuhnya.
“HAAAAAHHH!!!!”
Semprotan demi semprotan cairan kental berwarna putih memenuhi rongga mulut Zubaedah. Janda cantik itu menelannya hingga tandas. Beberapa ceceran sperma juga membasahi wajahnya, tubuh Pak Jamal mengejang beberapa saat, nyaris gontai, beruntung satu tangannya sigap berpegangan pada dinding kamar hingga membuat keseimbangan tubuhnya tak goyah.
Setelah menelan seluruh sperma Pak Jamal, Zubaedah masih melanjutkan serviznya dengan menjilati bagian kepala penis. Dibersihkannya sisa-sisa sperma pria tua itu dengan lidahnya. Tubuh Pak Jamal bergidik, sesnsai geli sekaligus ngilu menyergap tubuhnya. Untuk urusan sex, Zubaedah memang tak pernah setengah hati, dia bakal melayani pejantannya hingga benar-benar puas.
“Terima kasih sayang..”
“Sama-sama Mas..”
427Please respect copyright.PENANAN5U6CI7w34
BERSAMBUNG
ns216.73.216.24da2