
Di klinik darurat di pedalaman itu, Atik bekerja dengan tulus. Ia mengobati dan melayani semua warga tanpa pandang bulu. Tua-muda, pria-wanita, dari semua desa dan suku. Ada anak-anak yang datang ke klinik untuk tambahan nutrisi dan suplemen karena terkena stunting. Ada yang tak sengaja terkena panah saat sedang beburu. Ada yang jatuh dari pohon. Ada yang kecelakaan saat perjalanan pulang pergi ke pusat kabupaten. Ada yang terluka karena serangan binatang buas. Ada yang terkena ISPA. Ada yang terkena infeksi. Semua dirawat oleh Atik dan timnya dengan baik.
Sementara itu, suami Atik mendampingi separuh dari para nakes itu yang menjemput bola ke pemukiman warga sampai pedalaman hutan dan pegunungan. Para nakes yang masih muda bergantian jadwal antara jaga dan jemput bola. Sementara itu, Peni Murib yang sudah cukup berumur hanya sesekali jemput bola sekalian mengumpulkan tanaman obat. Ia lebih banyak jadwal jaga di klinik tenda. Suatu hari, suami Atik sedang jemput bola bersama Tonce, Undius, Lewis, dan Ando. Goliath bersama Willi sedang ke kota Kenyam untuk mengambil suplai obat. Atik dan Egianus sedang melayani pasien di klinik tenda, dibantu oleh Peni Murib.
Suami Atik dan timnya baru saja berangkat pagi tadi dan biasanya baru akan kembali 2-5 hari kemudian, bergantung jarak yang ditempuh dan habisnya stok obat yang dibawa. Biasanya, sekitar pukul 3 waktu setempat, sudah tidak ada lagi warga yang berobat, karena bepergian menjelang gelap berisiko. Tim jaga pun bersiap untuk merapikan alat-alat medis, bebersih, dan istirahat. Karena tidak jauh dengan sungai kecil, mereka bisa mendapat suplai air untuk toilet portable. Matahari sudah terbenam, namun tim yang mengambil suplai obat ke kota belum kembali juga.
Atik sedang berusaha mengalihkan pikiran dengan mencoba untuk mandi, tapi upaya Atik gagal. Pikiran Atik sedang diliputi rasa sange yang berat. Sebabnya? Sudah hampir satu setengah bulan merawat warga yang berobat di klinik tenda itu, Atik mau tak mau memperhatikan beberapa karakteristik dari warga Papua di pedalaman. Karena hidup lebih dekat dengan alam, tubuh mereka ditempa dengan keras. Meski tidak sedikit yang kekurangan gizi karena hutan yang semakin banyak digunduli oleh ekspansi industri seperti sawit yang membuat sumber makanan mereka semakin sedikit, tubuh mereka tetap bugar, terutama kaum prianya. Jangan salah, banyak pria Papua kota pun tampak jantan, bahkan yang kurang berotot atau agak gemuk sekalipun, entah kenapa terlihat lebih maskulin bagi Atik.
Selain itu, karena tak sedikit di antara mereka yang ngaceng saat diperiksa oleh Atik, mengingat kecantikan dokter itu, Atik pun jadi tahu besarnya ukuran batang kejantanan pria-pria Papua. Terkadang, tangan Atik tak sengaja menyenggol batang mereka yang menyembul dari balik celana atau koteka. Pikiran Atik pun melayang kemana-mana. Entah kenapa semenjak tiba di tanah pedalaman Papua tempat klinik tenda ini didirikan, rasa sange Atik meningkat dari hari ke hari. Dan karena mereka tinggal di tenda yang tidak kedap suara, meski Atik tidur satu tenda dengan suaminya, rasa sange Atik selama satu setengah bulan ini tak pernah dipuaskan, sebab tak ada privasi untuk berhubungan intim.