
Aku mulai berhubungan dengan Abidah sejak April 2022. Cara aku mengajaknya menjadi pacar bukanlah sesuatu yang biasa atau romantis, malah cenderung kocak. Aku memakai roti bakar sebagai simbol tanda persetujuannya. Kalau dia mau jadi pacarku, aku bilang, dia harus makan roti bakar itu. Tapi anehnya, dia menolak dan malah minta diganti dengan es batu. Lalu aku berikan tantangan padanya: "Kalau kamu mau jadi pacarku, minum es itu. Kalau tidak, taruh esnya di tempatmu." Dan benar, ia meneguk es itu sampai habis. Hari itu juga, kami resmi berpacaran.
Keesokan harinya, ia harus pulang ke kota asalnya karena di perantauan tidak ada jadwal kuliah. Aku mengantarnya ke stasiun setelah sahur; kebetulan kereta berangkat pukul lima lewat beberapa menit. Di perjalanan, tanpa diduga, Abidah memelukku. Pelukan itu tidak terlalu erat, tapi aku merasakan lekuk buah dadanya yang cukup besar menyentuh punggungku. Kupikir itu hanya bra-nya yang menempel, tapi entah kenapa, penisku langsung bereaksi tanpa kompromi. Aku buru-buru membetulkan celana, berharap tak terlihat. Perasaan itu bertahan sampai kami sampai di stasiun. Setelah dia turun dan memberi salam perpisahan, aku melihatnya masuk stasiun, dan dalam sekejap dia hilang dari pandanganku. Aku pun kembali ke kos, mulai merasakan pahitnya menjalani LDR, padahal baru beberapa hari resmi pacaran.
Sesampainya di kos, aku segera mengabari dia bahwa aku sudah sampai dan bilang mau tidur. Aku terbangun di sekitar pukul delapan pagi dan mendapati foto tangkapan layar dari Abidah, yang menunjukkan bahwa dia berencana keluar dengan seorang pria bernama Thierry. Awalnya aku santai saja, menganggap Thierry hanya teman biasa. Aku tidak menaruh curiga sedikit pun dan mengizinkannya jalan bersama Thierry.
Namun, rencana mereka batal karena Thierry sibuk dengan pekerjaannya. Aku tidak ambil pusing karena toh aku merasa tidak dirugikan. Tapi beberapa minggu kemudian, aku mendapat kiriman screenshot dari pacarku yang berasal dari Thierry. Dalam pesan itu tertulis, "Aku sedang menyiapkan strategi buat kencan kita." Jantungku berdegup kencang saat membaca kata "strategi," apalagi ada kata "kencan" di dalamnya. Pikiran negatif mulai memenuhi kepala, aku yakin Thierry punya maksud lain terhadap Abidah. Dari situ, aku mulai merasa tidak suka pada Thierry. Ternyata, Thierry menyukai Abidah. Aku baru tahu bahwa mereka teman satu MTS di kota asal Abidah. Persahabatan mereka mulai saat kelas tiga, karena kelas satu dan dua mereka tidak sekelas.
Pada tanggal 5 Mei, tepat H+3 Lebaran, Abidah pamit padaku untuk mengunjungi saudara-saudaranya. Aku pun mengizinkannya, karena momen lebaran memang waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga. Aku tak punya hak untuk melarangnya. Ia berangkat sekitar pukul 12:36 siang. (Apakah benar dia pergi ke saudara?)
Sejak saat itu, tidak ada kabar sedikit pun darinya. Aku terus menunggu, jam demi jam berlalu — jam 2, 3, 4, 5, hingga 7 malam. Baru pada pukul 7 lebih, aku mendapat pesan dari Abidah yang mengabarkan bahwa dia sudah sampai di rumah saudaranya yang terletak di pusat kota. Jarak antara rumahnya ke pusat kota memang cukup jauh, menempuh hampir dua jam perjalanan. Kota asalnya adalah salah satu kabupaten terluas di Pulau Jawa, berbeda dengan kotaku yang jauh lebih kecil. Dia juga bilang sebenarnya sudah berniat pulang sore itu, tapi diminta untuk makan dulu di sana (aku masih ragu). Setelah itu, Abidah menghilang dari pesan hingga jam 10 malam. Sebelumnya, dia sempat pamit untuk mandi. Aku sama sekali belum curiga—pikirku dia sekadar membersihkan diri atau melakukan hal lain di kamar. Setelah mengabari aku di jam 10 malam, Abidah langsung bilang mau tidur karena merasa sangat lelah hari itu. Aku benar-benar tidak menaruh curiga sama sekali.
Bersambung...35Please respect copyright.PENANAMp6N1vmkqb