
Namaku Nabila. Rasanya baru kemarin aku berdiri di panggung wisuda, mengenakan toga dengan hati berdebar, menyambut gelar sarjana yang selama ini aku dambakan. Dan kini, hanya setahun berselang, aku lulus tes CPNS yang membuka jalan bagiku untuk meniti karir sebagai abdi negara. Banyak orang yang mendambakan untuk bisa lulus tes CPNS dan hanya sedikit yang berhasil. Aku yang hanya mencoba-coba akhirnya bisa lulus tes itu di usiaku yang baru menginjak 22 tahun.
“Alhamdulillah…” bisikku pelan pada diri sendiri. Air mata haru menetes perlahan, menyelinap di antara senyum syukur yang tak bisa kusembunyikan. Aku duduk sendiri di pojok kamar, memandangi surat keputusan itu dengan tangan bergetar, membiarkan momen ini meresap dalam-dalam.
Banyak yang bilang ini adalah pencapaian luar biasa—di usia semuda ini, aku telah berhasil meraih apa yang bagi sebagian orang adalah puncak karier. Tapi di balik pencapaian ini, ada kisah panjang yang tak semua orang tahu. Ada malam-malam tanpa tidur, doa-doa panjang di sepertiga malam, tangis diam-diam saat dunia terasa terlalu berat, dan semangat yang kadang nyaris padam. Jalan menuju titik ini bukan jalan mulus. Ia penuh rintangan, keraguan, dan ketakutan yang tak jarang membuatku ingin menyerah.
Namun hari ini, semua perjuangan itu terasa terbayar. Hari ini, aku berdamai dengan segala luka, lelah, dan jatuh bangun yang pernah kulalui. Aku tahu, perjalanan masih sangat panjang. Tapi izinkan aku menikmati sejenak kebahagiaan ini. Karena di balik dua kata “aku lulus” tersimpan sejuta cerita yang akan selalu kuingat sepanjang hidup.
Dan inilah awal dari babak baru. Aku tak sabar menantikan kisah-kisah selanjutnya yang akan Tuhan tuliskan untukku.
Kelulusan aku di tes CPNS membuat aku harus meninggalkan Kampung halamanku yang terletak di sebuah kota kecil di Sulawesi. Sebuah tempat yang mungkin tidak banyak dikenal orang, tapi bagi hatiku, itulah pusat dari segalanya. Di sanalah aku tumbuh—di antara deru ombak yang bersahut-sahutan dengan nyanyian burung dari pegunungan, di tengah keramahan orang-orang yang saling menyapa meski hanya sekadar berpapasan di jalan. Di sana, waktu terasa berjalan pelan. Kehidupan sederhana, tapi hangat. Tempat di mana semua orang saling mengenal.
Penempatan kerjaku sebagai CPNS adalah di Jakarta, ibu kota negara yang selama ini hanya hadir dalam layar televisi, buku pelajaran, dan cerita-cerita dari teman yang lebih dulu merantau. Kota yang begitu besar, sibuk, dan seakan tak pernah tidur. Jakarta bukan hanya jauh secara geografis, tapi juga jauh dari segi suasana dan ritme hidup yang selama ini kupahami.
Bayangkan saja, dari sebuah kota kecil yang sunyi dan damai, aku harus menyesuaikan diri dengan hiruk-pikuk jalanan yang padat, gedung-gedung menjulang, dan langkah orang-orang yang seolah selalu terburu-buru. Awalnya, ada rasa takut. Aku khawatir akan kesepian, merasa asing, dan terpinggirkan di tengah keramaian. Tapi aku tahu, ini adalah bagian dari perjuangan. Ini adalah konsekuensi dari sebuah mimpi yang terwujud.
Aku berjanji pada diriku sendiri: meski jauh dari rumah, aku akan membawa nilai-nilai agama yang diajarkan oleh kedua orang tuaku ke manapun aku pergi. Kesederhanaan, kehangatan, dan ketulusan. Aku akan menjadi bagian dari Jakarta tanpa kehilangan jati diriku. Karena sejauh apapun aku melangkah, aku tetap anak dari kota kecil di Sulawesi—tempat di mana semuanya bermula.
Malam itu, aku duduk di beranda rumah bersama Ayah yang memandang jauh ke arah langit berbintang. Jutaan titik cahaya bertaburan di kanvas hitam angkasa, seperti saksi bisu atas percakapan kami malam ini. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi, mengingatkanku pada masa kecil saat bermain di sawah selepas hujan. Tangannya yang kasar karena bertahun-tahun bekerja sebagai petani—penuh dengan kalus dan gurat-gurat perjuangan—kini menggenggam tanganku dengan lembut. Kehangatan telapak tangannya memberikan kekuatan tersendiri untukku.
"Kau adalah harapan kami, Nak," kata Ayah dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca memantulkan cahaya lampu teras yang redup. "Jakarta memang jauh, tapi kamu harus semangat karena ini kesempatan besar untuk masa depan kamu."
Air mataku tak terbendung mendengar kata-kata Ayah. Tenggorokanku terasa tercekat. Aku tahu betapa berat perjuangan keluargaku untuk menyekolahkanku hingga sarjana. Setiap rupiah yang mereka kumpulkan adalah hasil keringat dan pengorbanan—terkadang bahkan mengorbankan makanan mereka sendiri. Dan kini, untuk berangkat ke Jakarta pun, mereka harus meminjam uang dari para kerabat. Membayangkan Ayah yang sungkan namun tetap harus mengetuk pintu para saudara satu per satu membuat hatiku bagai tersayat.
"Maafkan aku, Yah. Aku membuat kalian berhutang lagi," ujarku pelan, suaraku nyaris hilang ditelan malam.
Ayah menggeleng tegas. Wajahnya yang sudah mulai keriput itu menampakkan keteguhan yang selalu kuagumi. "Kamu nggak usah memikirkan itu, Nak. Karena dengan lulus jadi PNS, kau sudah membanggakan kami semua. Ayah dan seluruh keluarga besar kita. Bahkan seluruh kampung ini." Matanya menatapku penuh keyakinan, seolah ia bisa melihat masa depan cerah yang menantisku di kota besar.
Ibu yang sejak tadi sibuk di dapur menyiapkan makan malam, bergabung dengan kami. Tangannya yang halus menyeka air mataku dengan tisu.
"Iya Nabil, kamu gak usah memikirkan itu," kata Ibu dengan senyum yang selalu mampu menenteramkan hatiku sejak kecil. "Kamu harus semangat menghadapi masa depanmu."
Keheningan yang nyaman menyelimuti kami bertiga untuk beberapa saat. Suara jangkrik dan katak dari sawah di kejauhan menjadi musik pengiring malam perpisahan kami. Di sebelah rumah, lampu-lampu mulai dipadamkan satu per satu, menandakan waktu tidur bagi penduduk desa yang terbiasa bangun pagi-pagi.
Setelah makan malam aku berpamitan dan mencium tangan kedua orangtuaku, aku kembali ke kamar sederhana yang sudah kudiami sejak kecil. Foto-foto kenangan masa sekolah dan kuliah tertempel di dinding kayu. Trofi kecil dari lomba cerdas cermat tingkat kecamatan masih berdiri gagah di atas lemari tua.
Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar sambil memikirkan bagaimana aku akan memulai hidup jauh dari kedua orang tuaku. Tinggal di kos-kosan dan hidup mandiri, tanpa masakan Ibu yang selalu menghangatkan perut dan hati. Menghadapi tantangan hidup di kota metropolitan dengan segala seluk beluknya—kendaraan yang tidak pernah berhenti, gedung-gedung pencakar langit, dan orang-orang yang selalu terburu-buru.
Besok, ketika matahari terbit, aku akan meninggalkan tempat kelahiranku ini, meninggalkan rumah sederhana dengan beranda tempat berbagi cerita. Meninggalkan sawah yang membentang hijau dan sungai jernih tempat aku bermain di masa kecil. Namun aku tidak akan pernah meninggalkan janji yang kuikrarkan dalam hati di bawah bintang-bintang malam ini: untuk membanggakan Ayah dan Ibu, untuk memastikan bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia.
Dengan tekad baru yang membara, aku perlahan memejamkan mata, siap menyongsong fajar yang akan membawaku menuju kehidupan baru.
***
Pagi itu, di bandara kecil kota kami, aku berdiri dengan koper lusuh berisi seluruh harapan dan mimpi. Tak ada yang bisa menemaniku ke Jakarta—tiket pesawat terlalu mahal untuk dua orang. Aku akan menempuh perjalanan panjang ini seorang diri, meninggalkan semua yang kukenal untuk menghadapi kota metropolitan yang bahkan dalam mimpi pun belum pernah kudatangi.
"Jangan lupa sholat, nak dan juga jangan lupa makan." pesan Ibu, menyelipkan bungkusan berisi makanan ke dalam tasku.
Ayah hanya bisa memelukku erat, seolah tak ingin melepaskan. Tapi kami berdua tahu, inilah saatnya aku terbang.
"Jakarta bukanlah tempat yang mudah, Nak," bisik Ayah di telingaku. "Tapi kami percaya kamu sanggup hidup di kota Jakarta."
Pesawat pertama dalam hidupku. Jantungku berdegup kencang saat mesin mulai menderu. Dari jendela, aku bisa melihat sosok Ayah dan Ibu yang semakin mengecil, melambaikan tangan hingga akhirnya menghilang di balik awan.
Kini aku terbang, meninggalkan tanah kelahiranku, menuju kota yang konon tak pernah tidur. Dengan selembar surat pengangkatan sebagai PNS dan doa orang tua, aku melangkah ke masa depan yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.
Jakarta, kota impian banyak orang, kini akan menjadi rumah baruku. Aku, Nabila, gadis desa berusia dua puluh dua tahun, siap menghadapi tantangan kehidupan metropolitan dengan keberanian yang kupinjam dari pengorbanan orang tuaku.
Pesawat menembus awan, dan aku menutup mata. Sebuah perjalanan baru baru saja dimulai.
***
Pesawat mendarat dengan sedikit guncangan di Bandara Soekarno-Hatta. Jakarta menyambutku dengan udara yang terasa berbeda—lebih berat, lebih padat, dipenuhi aroma khas perkotaan yang asing bagi hidungku yang terbiasa dengan kesegaran udara di kota kecilku di Sulawesi. Aku menarik napas dalam-dalam, menggenggam pegangan koperku lebih erat, dan melangkah keluar dari area kedatangan dengan dada berdebar.
Ponselku berdering—notifikasi dari aplikasi transportasi online yang baru kuunduh semalam. Dengan jari gemetar, aku mengonfirmasi perjalananku menuju alamat yang dikirimkan Rani sahabat SMA-ku. Dia teman yang selalu lebih berani melangkah. Dia yang lebih dulu ke ibukota untuk kuliah, kini sudah mapan bekerja di sebuah bank di Sumatera. Rekomendasi kos-kosan muslimah Asyifa darinya adalah satu-satunya petunjuk yang kumiliki di rimba beton ini.
"Ke Tebet ya, Mbak?" sapa sopir taksi online setelah membantu memasukkan koperku ke bagasi. Aku mengangguk kaku, masih canggung dengan panggilan 'mbak' yang terdengar begitu dewasa.
Sepanjang perjalanan, mataku tak lepas dari jendela. Jakarta bergerak cepat di luar sana—gedung-gedung pencakar langit, kemacetan yang padat, dan lautan manusia yang tumpah di trotoar. Begitu berbeda dengan kotaku yang tenang. Sesekali aku mengecek ponsel, memastikan lokasi yang dituju masih sesuai dengan titik yang dikirimkan Rani.
"Sudah dekat, Mbak," ucap sopir setelah hampir satu jam kami terjebak dalam kemacetan kota. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Kelelahan perjalanan tiga jam di udara mulai terasa, ditambah kekhawatiran akan tempat tinggal baruku.
Taksi akhirnya berhenti di depan sebuah gang kecil. Papan nama "Kos-kosan Muslimah Asyifa" terlihat di ujung gang tersebut. Dengan langkah berat—campur antara lelah dan gugup—aku menyeret koperku menyusuri gang sempit yang diapit tembok tinggi.
"Assalamualaikum," sapaku pelan, mengetuk pintu berplitur yang terlihat terawat itu.
Seorang wanita paruh baya membuka pintu, wajahnya berseri menyambutku. "Waalaikumsalam.Ada yang bisa saya bantu, Nak?"
"Saya Nabila, Bu. Saya diberitahu oleh teman saya, Rani, bahwa di sini ada kamar kosong untuk kos," jelasku dengan suara setengah berharap.
Senyum wanita itu memudar, digantikan ekspresi menyesal. "Aduh, maaf sekali, Nak. Kamar kosong sudah terisi 2 hari lalu."
Bersambung
ns3.15.149.254da2