
#2
216Please respect copyright.PENANAfJOC4Xl9Df
Aku dan Dila terus berbalas pesan melalui DM Instagram. “Ih, apaan sih Mas Adit malah yang diinget itu. Jadi malu. Kan emang pas kecil,” katanya.
“Haha. Sekarang gak mau mandi bareng lagi? Haha,” aku makin berani menggodanya.
“Hussssshhh…. kita udah sama-sama gede mas. Aduh Mas Adit ini, kok gak berubah sih ngomongnya,” jawabnya.
“Iya-iya maaf. Pokoknya kamu harus ikut ya ke sini ya. Biar aku ada temen ngobrol. Soalnya sama yang lain, aku bingung mau ngobrol apa,” kataku.
“Iya mas. Nanti kukabari lagi, jadi ikut apa enggak,” jawabnya.
“Oke….” jawabku singkat, mengakhiri obrolan kami.
Dila ini adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Anak pertama pakdhe adalah perempuan dan sudah menikah. Sementara akan ketiga, cowok dan masih sekolah SMP.
Aku terus berharap, Dila bisa ikut ke sini juga. Namun, keesokan harinya aku mendapat kabar dari dia yang kurang menyenangkan.
“Mas, ini keluarga sudah berangkat. Tapi aku memutuskan untuk tidak ikut. Aku takut jika mabuk perjalanan dan malah bikin repot keluarga. Maaf ya mas. Semoga kita bisa berjumpa di lain waktu,” jawabnya.
“Ya…. oke deh,” jawabku, singkat karena kecewa.
“Maaf ya mas, jangan ngambek. Haha,” balasnya.
“Gak kok. Gak ngambek,” balasku.
“Ngambek ya? Masa dari kecil sampai sekarang suka ngambek? Gak berubah. Haha,” ucapnya.
Dila tahu betul sifatku, saat kecil aku memang gampang ngambek. Kalau kemauanku tidak dituruti sama bapak dan ibu atau siapa, aku suka ngambek. Sampai sekarang, sebenarnya sifat itu masih ada dalam diriku. Tapi karena sudah dewasa, aku harus bisa bijak untuk mengendalikan sifat buruk ku itu.
“Enggak kok Dila, semoga bisa ketemu kamu secepatnya di lain kesempatan,” kataku.
“Iya mas, masih ada banyak waktu kok. Mas Adit kan bisa main ke sini. Gak harus nunggu Lebaran,” katanya.
“Iya Dila…” aku mengakhiri obrolan kami.
Rasa kecewa masih mengendap dalam diriku saat Dila dipastikan tak ikut ke sini. Entah, kenapa aku jadi kangen dia? Lebih dari kangen kayaknya. Ada sesuatu rasa yang muncul dalam diriku padanya lebih dari saudara. Padahal dia adalah sepupuku. Tapi aku tak bisa mengungkapkan hal itu.
216Please respect copyright.PENANAlhqi2xgkL0
***
216Please respect copyright.PENANAjsgkqOArNt
Sebelum kedatangan keluarga Pakdhe, aku bersama keluarga membersihkan sejumlah kamar kosong. Karena nanti akan menjadi tempat tidur keluarga Pakdhe. Kami mengganti sprei kasur dan lain-lain. Pokoknya kami berusaha bikin nyaman keluarga dari luar kota saat menginap di sini.
Setelah melakukan perjalanan panjang, keluarga Pakdhe akhirnya tiba di rumah kami sore hari. Kami sekeluarga menyambut kedatangan mereka. Namun aku kurang semangat karena Dila yang ku harap datang, tidak jadi ikut ke sini.
Ketika keluarga Pakdhe tiba, kami pun langsung bersalam-salaman dan berpelukan. Karena sudah lama juga kami tidak berjumpa. Suasana kehangatan pun terasa saat ini.
“Eh Adit, kapan nikah?” tanya Pakdhe ketika bersalaman dengannya. Sebuah pertanyaan yang memang malas untuk jawab. Namun tetap terpaksa harus aku jawab.
“Masih belum ketemu jodohnya Pakdhe,” jawabku, seperti biasa, jawaban andalan ketika ada yang bertanya begitu.
“Kerja di mana sekarang?” tanyanya kemudian. Lagi-lagi sebuah pertanyaan yang malas untuk aku jawab tapi harus ku jawab.
“Ini lagi nyari Pakdhe, masih belum nemu yang pas,” jawabku.
“Oh ya, semoga segera dapat kerjaan dan segera menikah juga ya,” katanya.
“Iya, terimakasih banyak Pakdhe,” kataku.
“Kenapa Dila tidak ikut Pakdhe?” tanyaku, kemudian.
“Ikut kok…” jawab Pakdhe, tiba-tiba langsung bikin aku kaget. Katanya dia tidak ikut, kenapa jadi ikut. Tapi kenapa kok aku tidak melihat dia sekarang.
“Loh mana Pakdhe?” tanyaku, antusias.
“Masih ada di mobil. Dia lagi mabuk perjalanan. Bentar lagi pasti turun,” jawabnya.
Aku senang, akhirnya Dila ternyata jadi ikut. Tapi kenapa dia kemarin bilang tidak ikut ya.
Tak berselang lama, kulihat Dila turun dari mobil dibantu oleh kakaknya. Terlihat dia berjalan sedikit sempoyongan. Wajahnya juga terlihat pucat.
“Dit, bantuin Dila, langsung suruh ke kamar. Biar langsung istirahat,” kata ayahku.
Aku pun dengan gercep, langsung ke arah Dila dan kakaknya. Kubantu dia berjalan dan kuantar ke kamar, untuk segera istirahat.
“Katanya gak ikut? Bohongin aku ya?” tanyaku.
Dila hanya tersenyum. Tak membalas pertanyaanku. Karena dia sepertinya menahan pusing, tanganya memegang kepalanya.
Dalam kondisi seperti ini saja, Dila masih terlihat cantik. Dia pakai gamis warna abu-abu dan kerudung putih. Pas banget dipakainya. Tambah terlihat cantik.
“Masuk ke kamar sini, segera istirahat biar hilang mabuknya,” ucapku.
Aku dan kakaknya Dila pun membantu Dila supaya bisa naik ke atas tempat tidur, supaya dia istirahat. Tak berselang lama, kakaknya Dila segera keluar dari kamar untuk bergabung lagi dengan rombongan.
Kini hanya ada aku dan Dila berdua di dalam kamar ini. Dila masih memejamkan matanya. Namun sesekali membuka matanya. Dia mengetahui keberadaanku masih di kamar.
“Mau ku temenin tidur, biar cepat hilang pusingnya,” godaku.
Lagi-lagi Dila hanya tersenyum mendengar ucapanku. Tubuhnya masih lemas.
“Aku tinggal dulu ya. Kamu istirahat dulu aja,” kataku.
Aku pun kemudian bergabung dengan saudara-saudara. Kulihat para saudara ada yang sedang beres-beres barang bawaan. Ada yang mandi. Ada juga yang sedang makan opor ayam buatan ibu.
Tak berselang lama, ibu datang sambil membawa teh hangat, ia menyuruhku untuk mengantar ke Dila. Teh hangat ini biasanya bisa sedikit menurunkan pusingnya. Kemudian ibu juga membawa obat yang biasa jadi andalan kalau mabuk perjalanan.
“Cepat antar ke sana,” perintah ibu.
Aku pun segera menuju ke kamar Dila sambil membawa teh hangat dan obat. Sesampai di depan pintu, betapa kagetnya diriku melihat pemandangan yang ada di hadapanku.
Dila sedang tertidur dengan kondisi gamisnya tersingkap ke atas. Sehingga terlihat pahanya yang mulus dan putih itu. ***
216Please respect copyright.PENANAjOSwYTgPtD