
Di suatu senja yang mendung, Khairunniswah memastikan bahwa tak ada barang yang tertinggal. Dengan gerakan cepat, ia menutup ritsleting tas ransel kecil berwarna coklat muda, yang penuh dengan pakaiannya dan berbagai perlengkapan perempuan, mulai dari sikat gigi hingga rangkaian produk skincare. Sesaat kemudian, sambil sesekali menatap layar ponselnya, ia mengingat betapa sebentar lagi ia akan tiba di tujuan. Menatap ke cermin, ia mengenakan cadar bandana yang menutupi fitur wajahnya, hanya sepasang mata yang tersisa, memancarkan kesan misterius dan menawan, di balik jilbab lebar serta gamis senada yang menutupi tubuhnya hingga setengah paha. Hal ini membuatnya tersenyum getir mengingat kabar bahwa kakak perempuannya akan segera menggelar pesta pernikahan, serta kesempatannya untuk pulang kampung karena liburnya di sekolah tempat ia mengajar.
Tak lama kemudian, deru mesin mobil mulai terdengar. Di jendela, ia melihat sesosok kendaraan minibus berwarna coklat tua yang akhirnya berhenti tepat di depan kontrakannya. Di antara hiruk-pikuk kehidupan kota, mobil travel itu menyandang aura keusangan yang kontras dengan kerapiannya. Sopir pria berusia sekitar 45 tahun, berpakaian santai dengan kaos hitam dan celana jins usang, segera turun dari sisi mobil, mengantarkan kardus yang diikat ketat oleh seorang pria berkaos putih, sementara di dalam mobil tersaji pemandangan yang tidak biasa.
Begitu Khairunniswah membuka pintu penumpang, ia mendapati lima lelaki berwajah keras duduk mengelilingi kursi tengah dengan perawakan besar dan sorot mata yang kadang menakutkan. Di kursi paling belakang, seorang bapak berusia 60 tahun asyik menatap layar ponselnya, sementara di sisi sopir, seorang pria berkalung stainless asyik menghisap rokok dengan santai. Menyadari bahwa ia merupakan satu-satunya penumpang perempuan di antara deretan lelaki itu, Khairunniswah menarik napas panjang dan berusaha menerima Nasib sebab ia tahu, jika memilih travel, risiko bertemu dengan sosok asing adalah bagian dari kenyataan.
Mobil pun menggelinding meninggalkan kontrakan, diiringi alunan musik house yang cukup menyimpang dari kebiasaannya. Suara musik yang asing semakin menambah pusing di kepalanya, terlebih asap rokok yang terus mengganggu dari penumpang di depan. Khairunniswah mengalihkan pandangannya ke sisi kiri jalan, mengamati warung-warung kecil, rumah makan Padang yang menggoda, dan tumpukan bangunan sederhana di pinggir jalan yang seakan menceritakan kisah setapak kehidupannya yang kini tersentuh oleh keanehan perjalanan.
Setelah beberapa kilometer, minibus berhenti tepat di depan sebuah rumah yang dikelilingi oleh hamparan sawah yang menghijau. Seorang pria berkaos putih dengan kardus di tangannya mendekati mobil, dan sopir segera turun untuk memindahkan barang tersebut. Di tengah keheningan singkat itu, Khairunniswah bergumam lirih, "Aku benar-benar perempuan yang harus menghadapi semuanya sendiri."
Tak lama kemudian, pintu samping mobil terbuka, memperbolehkan seorang lelaki berusia 30-an dengan wajah datar dan tatapan yang acuh, duduk di antara Khairunniswah dan teman lelaki di sisi lainnya. Lelaki itu meminta duduk di dekat kaca karena katanya mudah mabuk jika duduk di tengah. Meski berharap lelaki satunya bisa memberi ruang, Khairunniswah terpaksa menggeser posisinya sehingga akhirnya duduk bersebelahan, diapit oleh dua sosok asing yang membuat dirinya merasa terjepit dan terasing dalam perjalanan itu.
Selama perjalanan yang semakin jauh, rasa lelah membuatnya berusaha keras untuk tetap terjaga. Namun, kelelahan terkadang membuat matanya terpejam sejenak, hanya untuk terbangun kembali ketika mobil menabrak lubang di jalan. Bergesekan dengan lengan dua lelaki di kedua sisinya, Khairunniswah teringat pada sebuah kisah erotis yang pernah ia baca, yang menggambarkan seorang perempuan bercadar yang mengalami pelecehan dan pemerkosaan di dalam bis penuh sesak. Bayangan fantasi itu menyelinap ke dalam pikirannya, membuatnya merasakan kegetiran gairah yang sulit diabaikan. Apakah hal ini akan berujung pada mimpi-mimpi nakal di mana semua penumpang mendekat untuk meremas tubuhnya? Pikiran itu membuatnya sekaligus merasakan kecemasan dan gairah aneh yang membakar dirinya.
Dalam keheningan perjalanan, nafsu yang meluap membuatnya mulai meraba dirinya sendiri. Dengan lembut, ia menyisir tangan ke dalam jilbabnya yang longgar, menurunkan sedikit resleting gamisnya untuk mengorek sedikit rahasia yang tersembunyi di balik pakaian syar'i itu. Sensasi puting yang mengeras dan tangan yang berani meremas payudaranya membuat jantungnya berdegup kencang, seolah memancing imajinasi liar yang membayangkannya diremehkan oleh tatapan lapar para penumpang. Salah seorang lelaki, yang duduk di kursi dekat sopir, menoleh dengan curiga ketika ia mendapati tangannya menyentuh dirinya, sekaligus membuatnya terperangah dan panik karena takut tatapan mereka semakin tajam.
Semakin lama perjalanan, gairah yang kini membara semakin sulit dikendalikan. Dengan kekacauan batin yang terjadi, Khairunniswah terpaksa mengalihkan perhatiannya pada pemandangan yang melintas di luar jendela. Namun, pikiran nakal tak mengizinkannya untuk melepaskan diri dari imajinasi kotor yang semakin menguasai dirinya. Ia mulai berpikir, “Apa yang akan terjadi jika mereka semua mulai menyentuhku?” pikiran itu membuatnya sekaligus gelisah dan terangsang, menyeimbangkan antara rasa takut dan kenikmatan yang mendalam.
Akhirnya, dua jam perjalanan berlalu dengan berbagai perasaan campur aduk. Minibus itu berhenti di sebuah SPBU, dan naluri tubuhnya mendesak untuk mencari kamar mandi. Dengan segera, Khairunniswah mencoba turun untuk pergi ke toilet, hanya untuk mendapati bahwa langkahnya harus diambil dengan hati-hati agar rahasia di balik gamisnya yang terbuka tidak tampak oleh penumpang lainnya. Ia pun melangkah tergesa ke arah bilik WC yang terlihat setidaknya tidak terkunci sempurna.
Di dalam toilet umum itu, suasana langsung berubah menjadi kekacauan yang tak terduga. Pertama, ia menemukan bilik WC perempuan dalam keadaan buruk sebuah kardus bertuliskan “RUSAK” menghiasi pintu. Dengan ragu, ia melangkah menuju kamar mandi laki-laki, karena tampaknya itu satu-satunya pilihan untuk membenahi keadaan. Di sana, tiga bilik WC dengan pintu aluminium merah menyambutnya; dua bilik tampak terkunci, meninggalkannya dengan satu ruangan yang tampak sepi. Ia pun masuk ke bilik ujung dengan harapan bisa mendapatkan privasi, meskipun kunci pintu itu tak kunjung memberi rasa aman.
Ketika ia menyadari bahwa pintu itu selalu terbuka sedikit tanpa bisa dikunci dengan sempurna, kewalahan dan terdesak oleh keinginan untuk buang air, Khairunniswah akhirnya mulai menanggalkan sebagian pakaiannya. Dengan langkah tergesa, ia mengangkat rok gamisnya namun nasib seolah kembali memainkan peranannya ketika air kencingnya terucur terlebih dahulu, membasahi celana panjang yang dikenakannya. Untungnya, kekacauan basah itu tidak mengenai gamis, jilbab, kaos kaki, maupun sandal yang menyertainya.
Di tengah situasi yang semakin kacau, ia memutuskan bahwa satu-satunya pilihan adalah mengganti pakaian di tempat itu juga, meskipun harus meninggalkan celana panjang dan celana dalam yang kini basah tak tertahankan. Ia pun dengan cepat melepas gamis yang kini hinggap di pinggangnya, menurunkan branya, lalu dengan cermat menggulungnya agar bisa disembunyikan sementara di atas sandaran toilet. Namun, pikiran nakal yang sebelumnya pernah menyala kembali menghampirinya, mendorongnya ke dalam emosi erotis yang semakin tidak terkendali.
Tanpa bisa menolak, khayalannya kembali membawa dirinya pada bayangan syahwat yang liar: tangan yang menelusuri tubuh, desahan kecil yang terdengar samar, dan bayangan sentuhan yang membuatnya hampir terbuai oleh orgasme. Ia mulai meraba payudaranya, mengecap keintiman yang semrawut di tengah tekanan dan kecemasan, sementara aroma basah toilet dan suara langkah kaki dari luar membuatnya bergetar dalam kerancuan antara keinginan dan ketakutan akan ketahuan. Dengan penuh keberanian sekaligus kekacauan, ia melanjutkan eksplorasi dirinya, menekan klitoris dengan jari-jarinya yang lincah, seakan mencoba menahan ledakan kenikmatan yang sudah hampir menghujam puncak kenikmatan.
Puncaknya tiba ketika pintu bilik tiba-tiba terbuka, menghentikan alur gairahnya yang sudah mencapai klimaks. Dalam sekejap, ia terperangah, segera menyeret kembali jilbab yang menutupi dirinya secara rapat, berusaha menutupi apa yang seharusnya tersembunyi. Kepanikan merayapi setiap pori tubuhnya, dan dalam kekacauan itu, ia dengan tergesa kembali menata pakaiannya meski dengan resleting gamis yang kini rusak akibat desakan waktu.
Dengan langkah yang canggung dan hati yang masih berdegup kencang, Khairunniswah berlari kecil keluar dari toilet, berusaha mengejar waktu agar tidak tertinggal dari mobil travel yang terus mengantri. Hujan yang mulai turun dengan lebat menyemarakkan suasana, membuatnya terpaksa kembali masuk ke dalam mobil agar jilbabnya tak tersingkap. Namun kekhawatiran semakin bertambah ketika ia sadar bahwa celana panjang serta branya masih tertinggal di dalam bilik WC. Tak ada waktu untuk mengganti, karena hujan mengguyur deras dan sopir bersama beberapa penumpang sudah kembali masuk dengan tergesa, membawa aroma basah dan jejak kehadiran mereka yang membuat ketegangan semakin mencekam.
Di tengah perjalanan kembali, berbagai perasaan mulai dari malu, panik, hingga gairah yang tidak bisa diabaikan menghantui pikiran Khairunniswah. Ia terjebak dalam dilema antara hasrat yang meluap dan rasa takut akan penemuan, menyaksikan basahan celananya yang tertinggal sebagai bukti kekacauan malam itu. Meski situasi semakin kacau, dirinya tak bisa lepas dari bayang-bayang syahwat liar yang terus menerpa, seolah perjalanan yang dimulai dari sebuah kontrakan sederhana berubah menjadi panggung bagi keinginan gelap dan fantasi terlarang yang terus menggoda nalar dan indera, meninggalkan jejak getir dan panas dalam setiap detiknya.
Dalam perjalanan kelam itu, mobil travel terus melaju, sementara Khairunniswah menyimpan rahasia kelam dan keinginan yang tak terpadamkan. Di tengah hujan deras dan rintik-rintik gemuruh angin, ia harus menghadapi kenyataan bahwa malam ini, hidupnya telah tercampur antara debu perjalanan, keintiman terlarang, dan fantasi-fantasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, sebuah malam penuh kontradiksi antara kepanikan, kebebasan, dan hasrat yang menggerogoti batas moralnya, meninggalkan bekas yang tak akan mudah ia lupakan.
Bersambung…
ns18.217.69.43da2