Cahaya mentari memasuki setiap inti celah sebuah rumah. Adapun ikut menerangi alas lemari kayu berukuran sedang, dimana terdapat beberapa bingkai foto yang tertata cukup apik dengan selingan vas bunga lili juga terlihat menambah kesan hangat nan elegan, lemari kayu antik tersebut.
Samar terdengar suara seorang anak kecil. Dia berteriak dibarengi dengan langkah kaki cepatnya. Anak lelaki itu bertubuh cukup kecil, memakai seragam sekolah serta menggendong tas ransel yang memiliki ukuran lebih besar dari tubuhnya. Wajah anak itu sedikit memerah di kulit putih pasinya, diikuti mimik wajah sedikit khawatir atau mungkin kesal karena terlihat juga kerutan diantara kedua alis tebalnya.
"Kak Damar, ayo cepetan!" teriaknya sangat kencang.
Guratan tegang dan tulang wajah anak kecil itu semakin tegas. Deru napas yang pada awalnya tidak terdengar, kini tersengar berderu seperti seorang atlet lari yang baru saja menyelesaikan sebuah pertandingan.
Damar, anak lelaki yang dipanggilnya hanya tersenyum dan dengan posisi merunduk karena sedang mengikat tali sepatu yang akan dikenakannya pagi itu dengan tetap tenang. Dia tidak menggubris hingga menyelesaikan membuat simpul rapi pada kedua sepatu berwarna hitam itu, barulah dia mengubah posisi agak merunduknya menjadi tegak.
Kepalanya menoleh dengan senyum yang masih terkembang, hangat, itu kesan guratan di bibir merah yang diberikan Damar pada anak lelaki bertubuh sama tinggi dengannya itu dan berdiri di luar pintu rumah mereka. Helaan napas dibubuhi sedikit oleh Damar sembari menjawab,
"Sabar dek, kalau kamu nggak mau nunggu. Duluan aja nggak apa - apa."
Serangkaian kalimat tenang yang coba diberikan Damar pada Sang Adik, malah membuat sebuah derap langkah sepatu mendekat.
Tap...
Tap...
Tap...
Seorang wanita muda, bergaun putih agak kecoklatan selutut menghampiri ambang pintu rumah itu. Wanita itu memegang gagang pintu berbentuk bulat sembari memandangi Damar dan juga anak lelaki yang sudah berdiri berdampingan dengan sebuah sepeda di luar rumah. Bukan hanya Damar yang menghela napas, wanita muda itu pun menghela napasnya cukup dalam dengan kedua alis yang naik.
"Ada apa ini, dek?" tanya wanita muda itu.
Anak lelaki dan sepedanya kemudian menurunkan dongkrak benda besi itu dengan kedua tangan yang memegang masing - masing tali ranselnya. Wajah merah, mimik wajah yang kini bisa terlihat kesal, dia berjalan mendekat sembari melihat kearah Damar yang masih dengan wajah tenangnya keluar dan mengambil sepeda dari garasi kecil disamping rumah itu.
"Itu Ma, Kak Damar. Lelet banget. Aku bisa telat ini!"
Kini jawaban anak lelaki itu lebih panjang dari kalimat teriakannya untuk Damar.
Helaan napas kembali terdengar dari wanita muda itu dengan kedua tangan yang perlahan dilipat ke depan dadanya. Sedangkan Damar yang sudah mendorong pelan sepedanya, mengeluarkan suara tawa kecil nan renyahnya.
"Shut, jangan teriak - teriak begitu!" tegur wanita muda itu sembari mengacungkan satu jari telunjuk ke depan bibirnya agak tebal dengan polesan perona bibir naturalnya.
Disaat yang sama Damar sudah berada disamping Sang Adik, lalu satu tangannya menepuk pundak lelaki yang memiliki tinggi badan sama dengannya itu. Sang Adik pun menoleh, dengan bibirnya yang berubah maju selepas terkena terguran Sang Ibu.
"Yang bakalan telat itu bukan cuman kamu, dek. Aku juga pasti telat."
Lagi - lagi Damar memberikan pernyataan lembut nan santainya. Senyum hangat itu pun tidak pernah lepas dari wajah tampan Damar, lelaki kecil itu lalu mendongkrak sepedanya dan mendekat kearah Sang Ibu. Dijulurkan satu tangannya yang kemudian disambut jabatan dari Sang Ibu.
"Ma, kami berangkat dulu ya." pamit Damar setelah mencium punggung tangan Sang Ibu.
Wanita muda yang masih berdiri diambang pintu itu, kemudian mengelus puncak kepala Damar sesaat yang dilanjut dengan mengelus kulit wajah Sang Anak.
Senyuman cantik nan hangat terlihat dari wanita ramping itu, dia mengangguk dengan kerjapan matanya. Damar pun perlahan mundur dan kembali ke tempat sepedanya berada.
"Adek...," panggil agak keras wanita muda itu, pada anaknya yang sedaritadi merengut akibat rasa kesal yang memuncak.
Anak lelaki yang sangat pandai berteriak itu sudah sempat melepas dongkrak sepedanya dan kini terpaksa kembali membuat benda besi itu berdiri ke posisi awal. Dia berjalan agak membungkuk, meraih tangan Sang Ibu dengan agak malas, mencium punggung tangan Sang Ibu dengan napas yang menghela hingga membuat wanita muda dihadapannya itu meraih dagu cukup lancip bocah SD itu.
"Kamu hati - hati dijalan, belajar yang rajin, coba latih untuk mengurangi sifat temperamenmu juga tidak sabaran itu. Hehm." sebuah teguran lembut penuh makna kembali diberikan oleh wanita muda itu pada Sang Putra.
Kini anak lelaki itu hanya bisa mengangguk dengan mata berbinar dan mimik wajah penuh rasa bersalah yang tiba - tiba muncul.
Elusan lembut diberikan sebagai sentuhan terakhir, sebelum kedua anak lelaki itu kemudian menaiki sepedanya dan berangkat untuk menuju tujuan akhir mereka yaitu Sekolah.
Setelah mengantar kedua malaikat kecilnya, wanita muda tadi berniat masuk namun,
Brak...
Suara hantaman keras membuat gerakan wanita muda itu yang awalnya sudah akan menutup pintu rumah, untuk melanjutkan kegiatannya. Dia berbalik dengan cepat, mendorong daun pintu yang gagangnya masih dipegang dengan sangat keras. Dengan sandal sepatu berhak kecil dan agak tebal, dia melangkah agak cepat kearah jalan besar dan langkah itu terhenti di tengah - tengah jalan. Kedua tangannya tiba - tiba bergetar, matanya nanar, kepalanya seketika dirasa sangat sakit, kedua telinganya berdengung. Wanita itu ambruk sambil menatap lurus ke depan.
××××××××
25 Tahun kemudian...
Suara bising knalpot kendaraan disertai hantaman nyaring klaksonnya, memenuhi semua lajur juga jalur jalanan pusat kota pagi itu. Sebuah mobil dengan tipe SUV mewah memasuki sebuah halaman cukup luas salah satu gedung pencakar langit yang berdiri tegak, ketinggiannya memecah kilau sinar mentari dari semua kaca yang mengitarinya.
Seorang pria berpakaian atasan batik dengan celana bahan dan sepatu resmi berwarna hitamnya keluar dari arah kemudi. Pria itu sedikit berlari kearah pintu penumpang sebelah kanan, lalu membukanya.
Sepatu sniker, celana bahan berwarna hitam, atasan semi formal terlihat menempel di tubuh tinggi tegap seorang lelaki dewasa berwajah tidak begitu tampan, namun berwibawa yang duduk di kursi penumpang mobil mewah itu.
"Maaf Mas. Mas, mau saya tunggu atau tinggal?" tanya pria berbaju batik yang berprofesi sebagai supir pribadi itu pada lelaki tidak begitu tampan dihadapannya dengan mimik wajah ramah.
Lelaki berwajah tirus, kulit putih pucat serta rambut klimis dan poni komanya mengguratkan senyum yang tidak kalah ramah pada Sang Supir.
Dia menggeleng, sembari memasukkan satu tangan ke salah satu saku celananya.
"Pak Yusuf pulang saja dulu. Nanti sekitar jam 5 baru kembali lagi." jawab lelaki itu.
Kemudian lelaki muda itu berniat hendak melanjutkan langkahnya, namun dia kembali mengarahkan sedikit tubuhnya kehadapan Pak Yusuf nama Sang Supir yang hendak beranjak pergi, selepas mengangguk dan memberi hormat padanya. Pria agak tua itu pun kembali menatap Sang Atasan dengan kedua alis yang naik.
"Satu lagi Pak, kalau Mama tanya soal, saya udah makan? Bilang aja sudah, juga bilang padanya, jangan telpon - telpon ke kantor karena hari ini saya pasti pulang tepat waktu." lanjut lelaki muda tidak begitu tampan itu.
Pak Yusuf sedikit khawatir selepas mendengar jawaban atasannya tersebut, hingga membuat lelaki berkulit pucat pasi itu kini kembali berdiri tegak lurus menghadap dirinya. Helaan napas singkat terdengar dari lelaki tidak begitu tampan dihadapan Sang Supir, dia berniat untuk mengeluarkan sebuah kalimat pernyataan lagi namun diurungkan niatnya, ketika arah pandang lelaki itu tertuju pada seseorang.
Pak Yusuf pun bingung ketika melihat ekspresi wajah Sang Majikan, pria agak tua itu mengikuti arah pandangnya. Kedua alis Pak Yusuf pun sedikit berkerut.
"Mas, Maaf. Mas, lagi liat...," pertanyaan Pak Yusuf tersela oleh gerakan cepat Sang Majikan yang ingin berlalu dari hadapannya sembari menepuk pelan satu pundak pria agak tua itu.
"Pak, Pak Yusuf saya harus pergi...," hanya sekelebat kalimat singkat terdengar ke telinga pria agak tua itu.
Sang Supir yang masih bingung juga tertegun, melihat kepergian Sang Majikan yang menuju kearah pandangnya tadi.
Danar Perkasa, nama lelaki tidak begitu tampan namun berwibawa itu dengan tubuh cukup atletisnya, dia berlari masuk ke salah satu bagian bangunan perusahaan keluarga yang kini dipimpinnya. Sesekali dia mengangguk, ketika beberapa pasang mata pegawai gedung itu tidak sengaja berpapasan dengannya. Danar berlari kecil sembari memeriksa beberapa tempat yang sekiranya, dia bisa bertemu dengan orang yang dilihatnya barusan.
Hingga akhirnya sebuah panggilan telepon terpaksa menghentikan aksi penasarannya. Sedikit mengumpat juga mengelus kepala bagian belakang, Danar merogoh saku celana untuk melihat telepon genggamnya.
"Ck, dia memang gesit. Aku selalu terlambat, tapi aku yakin, cepat atau lambat kita pasti akan bertemu." gumamnya pelan sambil melihat kearah ponsel yang diabaikannya lalu diteruskan memandangi sebuah dinding transparan, dimana pantulan dirinya utuh terlihat.
Mimik wajah licik dan senyum miring sempat diguratkan oleh Danar, sebelum akhirnya dia berbalik kearah lain untuk segera menuju ke ruangan kerjanya berada.
××××××××
"Dengan Luna Saphira...," panggil seorang wanita bertubuh tambun, memakai setelan blouse berwarna pastel berbalut blazer coklat agak tua lengkap dengan rok selutut berwarna hitam juga sepatu berhak tinggi berwarna senada dengan rok yang dikenakannya.
Wanita itu melihat ke sebuah berkas yang dibawanya, lalu mengalihkan pandangan kearah ruang tunggu. Senyum ramah juga anggukan kepala dilakukan wanita bertubuh tambun itu, ketika orang yang dipanggilnya berdiri lalu berjalan agak cepat menuju ke tempat ia berdiri.
"Selamat Pagi, Bu. Saya, Luna Saphira...," jawab seorang gadis bertubuh lumayan ramping, berambut lurus kaku berwarna coklat kehitaman. Gadis itu memakai setelan baju juga celana putih hitam, selayaknya seragam para pencari kerja.
Wanita bertubuh tambun tadi, lalu menggiring Luna masuk ke ruangan dibelakang dirinya. Di dalam ruangan itu, sudah ada sekitar 3 orang lainnya yang sedang duduk berhadapan dengan sebuah meja panjang, mereka juga sedang memperhatikan kertas berkas para pelamar.
Luna duduk disebuah kursi dihadapan meja para pewawancara. Gadis itu terlihat tenang dengan senyuman ramah serta manis yang diguratkannya sedaritadi. Penantian Luna tidaklah lama karena salah satu pewawancara langsung mendongak dan mengulang kembali memanggil nama lengkapnya yang cantik, kemudian melontarkan beberapa pertanyaan. Gadis bertubuh agak pendek itu menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan untuk dirinya dengan lihai juga ekspresi yang meyakinkan. Hingga beberapa kali, semua pewawancara tertegun dan sesekali menganggukkan kepala mereka.
"Baik. Terimakasih banyak atas partisipasi Mbak Luna dalam sesi wawancara kali ini. Untuk pengumuman hasil wawancara hari ini akan diberikan melalui sebuah pesan singkat 2 minggu dari hari ini...," terang salah seorang pewawancara.
Luna pun menjawab dengan sopan juga kepalanya yang mengangguk pelan sembari menjawab singkat. Gadis berambut lurus itu, kemudian keluar perlahan dari ruangan yang cukup luas tadi. Dia berjalan di lorong gedung sebuah kantor yang sangat tinggi itu menuju ke pintu utama, sembari memainkan ponsel pintarnya. Langkah Luna terhenti, kala dia mendengar namanya dipanggil dengan cukup keras dari arah depan pintu.
"Kak-Winda...," gumamnya pelan agak terbata.
Luna perlahan menurunkan ponsel dan menelan salivanya, serta ekspresi penuh ketegangan tergurat.
Seorang wanita dengan perut buncit memakai pakaian ibu hamil dan menenteng sebuah kantung plastik minuman dingin berjalan mendekat kearah Luna.
"Dek, kamu lagi ngapain disini?" tanya wanita bernama Winda itu.
Luna terlihat mulai sedikit panik, dia menyampirkan helaian rambut lurus kakunya ke belakang telinga sembari lagi - lagi meneguk saliva juga memutar otak guna menjawab pertanyaan dari Winda.
Winda sendiri sudah bisa membaca dengan mudah tingkah panik Sang Adik, wanita yang sedang hamil dan kini sedang memasuki trisemester kedua itu lalu melipat kedua tangannya di depan dada.
"Jangan bilang kamu ngelamar kerja di gedung kantor kakak?" tanya Winda dengan sedikit ketus juga rasa curiganya.
Kepala Luna seketika pening, ketika di dengar ucapan tepat Winda. Perlahan satu tangan Sang Kakak diraihnya dan ditarik pelan. Gadis agak ramping itu membawa Winda ke salah satu tempat duduk di luar gedung perkantoran itu.
"Kak, please, denger dulu. Aku bisa jelasin semuanya dengan jujur, tapi kakak janji jangan histeris. Kenapa? Karena 2 faktor, pertama, malu ini di tempat umum dan yang terakhir Baby D bisa denger jelas suara ibunya yang menggelegar...," Luna mencoba lebih dulu memasang tameng, sebelum meluncurkan rudal mematikannya.
Winda meletakkan kantung plastik minuman yang dibawanya, lalu menarik napas mencoba untuk tenang. Setelah dirasa aman, wanita itu memberi kode dengan mengayunkan satu tangannya agar Luna segera kembali membuka mulutnya. Sang Adik kemudian menjelaskan maksud dan tujuan dirinya berada di gedung perkantoran itu. Ekspresi Winda perlahan berubah, hingga wajah wanita itu memerah dan bersiap berteriak namun Luna dengan sigap membekap mulut Sang Kakak.
"Ck, kak. Kan tadi udah janji nggak bakal histeris...," ujar Luna yang seperti terkhianati.
Winda dengan cukup kasar melepas bekapan tangan Luna. Wanita itu lalu berdiri agak cepat dan menarik satu tangan Luna hingga membuat gadis manis itu agak terseret sembari membawa kantung plastik minuman Sang Kakak.
"Tidak dengan menjadi OG. Na, kamu tau kan konsekuensinya kalau jadi tukang bersih - bersih di perusahaan sebesar ini. Mas Bagas bakal marah besar kalau dia tau. Nggak, pokoknya nggak boleh...," Winda dengan nada tinggi dan cukup emosi menentang semua penjelasan Luna soal lamaran posisi pekerjaannya.
Gadis berambut coklat kehitaman bernama Luna itu lalu memegang kedua lengan Winda sambil mengelus pelan guna mencoba menenangkan.
"Pulang, kamu sebaiknya pulang kalau memang kamu kena PHK di kerjaanmu sebelumnya...," lanjut Winda.
Seketika wajah Luna yang awalnya sendu dan juga sayu penuh dengan guratan ekspresi memelas merubah menjadi kaku, menegang, juga datar.
"Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah menginjakkan kaki di rumah terkutuk itu...," ucapan Luna kini membuat ekspresi wajah Winda pun turut serta berubah dengan helaan napas panjangnya.
••••••••
ns216.73.216.25da2