Namanya Revan Anggara Kusuma, tetapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Revan. Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang tenang, kisah hidupnya mulai menggelora saat ia memasuki masa remaja yang penuh harapan dan tantangan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgcmTNyUzRr
Revan dilahirkan dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia sering ditinggal kedua orang tuanya yang tanpa henti berjuang mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi seolah menempatkannya di tepi cinta, membuatnya tumbuh sebagai tuna asmara di usia yang masih belia.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjQBnhDXwtA
Ibunya melakukan beragam pekerjaan serabutan, bergelut dengan segala jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, ayahnya, seorang kuli panggul beras di pasar, terpaksa bekerja keras demi nafkah keluarga yang semakin menumpuk. Setiap harinya, Revan bersama kakaknya menyibukkan diri menyiapkan keperluan sekolah, tapi seringkali dia harus melakukannya seorang diri.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmS43Wou4w1
Kisah ini berawal pada suatu siang yang mendung di kelas enam SD. Hujan turun dengan deras, menciptakan suasana melankolis di luar jendela. Teman-teman sebayanya dijemput oleh orang tua mereka dengan payung yang penuh kehangatan, sementara Revan hanya bisa menatap hujan dengan rasa getir di hatinya, berbisik pelan, “Aku iri pada mereka.”
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ629XO1sbH1
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Reni, guru dan wali kelas yang muda dan anggun, memecah lamunan Revan. “Revan, kamu tidak pulang? Di mana jemputanmu? Apakah kamu tidak bawa payung?” tanyanya, sorot matanya penuh kepedulian.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3rJWteGjYq
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa payung. Dan tidak ada yang jemput, Bapak dan Ibu saya sedang bekerja,” jawabnya dengan nada yang datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYmH2TFIUIF
Mendengar jawaban itu, Ibu Reni tersenyum lembut, seakan memahami. “Oh, jadi orang tuamu sedang bekerja ya? Jika begitu, mari Ibu antarkan,” tawarnya dengan nada menenangkan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmGByaMI3sp
Menerima tawaran itu terasa seperti beban di pundaknya, tapi rasa khawatir untuk merepotkan mengalahkan keraguannya. “Tidak usah, Bu. Saya akan menunggu hingga hujan reda,” jawabnya pelan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCwQ2ZA9RQq
“Tidak apa, Van. Mari Ibu antarkan. Sekolah sudah sepi, dan hujan masih deras. Kita tidak tahu sampai kapan hujan ini akan berhenti,” lanjut Bu Reni, mengajak Revan untuk segera pergi.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtCSh5TSWqY
Dengan berat hati, dia mengangguk dan mereka bergegas pergi dengan sepeda motor, mengenakan jas hujan. Revan duduk di belakang, memeluk Ibu Reni erat-erat agar tidak terjatuh. “Apa tidak masalah, Bu, kalau begini? Saya malu,” tanyanya dengan suara pelan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVzOMizZi9w
“Tidak masalah, demi keselamatan kita,” jawab Bu Reni, menyemangatinya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7TCaLCcZHN
Momen perjalanan menuju rumah terasa singkat, meskipun hujan terus mengucurkan air dari langit. Setibanya di depan rumah, Bu Reni memberi isyarat telah sampai dengan tepukan lembut di bahunya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPNZfP3lKq9
Revan melompat dari motor dan berlari ke dalam rumah, berusaha menghindari air hujan yang masih mengalir deras. Namun sebelum melangkah masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Bu Reni yang melambaikan tangan. Sebagai tanda terima kasih, ia menundukkan kepala dengan penuh rasa syukur.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡd6gfkknTea
Saat itu, hangat menyelimuti hatinya. "Apakah inilah yang dirasakan teman-teman saat mendapatkan kasih sayang orang tua?" pikirnya. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, sesuatu yang langka dalam hidupnya, meski seketika itu juga ia menyadari betapa mahalnya perasaan itu.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOfUGFiipxJ
Keesokan harinya di sekolah, setelah bel berbunyi, Bu Reni masuk ke kelas dengan senyum ramah. Dia mengabsen muridnya hingga tiba di nama Revan. “Revan Anggara Kusuma,” panggilnya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡV9Rw99Kzj1
“Hadir, Bu,” sahut Revan, mencoba menutupi kegugupan yang menggelora di dalam dada.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAmKwoLt1n4
Kekhawatiran melintas di wajah Bu Reni. “Kamu tidak enak badan, nak? Sepertinya kemarin saat Ibu antar, badanmu terasa hangat?” tanyanya dengan sorot mata prihatin.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnMECrkiNkx
“Ah, tidak, Bu. Begini adanya. Cuma kalau hujan atau cuaca dingin, tubuhnya agak hangat,” jawabnya sedikit ragu.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaqHdWMaEIc
Senyum di wajah Bu Reni mengisyaratkan lebih banyak daripada yang bisa dia pahami. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan itu, seolah menyimpan rahasia yang menggelitik rasa ingin tahunya. Dia merasakan bahwa tawaran tumpangan di tengah hujan adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnFEG0lNRa9
Seiring waktu belajar dimulai, harapan dan rasa penasaran mengendap di benak para murid. Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa berlarian keluar, mengekspresikan kegembiraan. “Revan, kamu tidak ikut keluar?” tanya Bu Reni penuh rasa ingin tahu.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmT8vWeU86q
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap di kelas,” jawabnya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbJskudf1q6
“Oh, kebetulan sekali. Ibu ingin sedikit mengobrol,” ucap Bu Reni dengan nada hangat yang membuatnya bersemangat.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡskdWjUyKn8
“Baik, Bu,” sahut Revan, merasakan antisipasi akan perbincangan yang lebih akrab.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMcSTcyGHnF
Bu Reni meminta Revan untuk mengambil kursi dan duduk di sebelah mejanya. Pembicaraan pun diawali dengan hangat.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLHWzmrD9Y9
“Kenapa kamu tidak jajan, Van?” tanya Bu Reni penasaran.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3N8bf6totC
“Saya tidak pernah jajan, Bu,” jawabnya singkat, meski sedikit canggung.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzNbM7QqyAv
“Tidak bawa uang saku?” tanya Bu Reni lagi.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtE3PiWR2Tm
“Ya, Bu,” jawabnya lagi, meski dalam hati mulai terbesit pertanyaan tentang motivasi di balik pertanyaan itu.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNVgZl3wzM4
“Siang hari di rumah, kamu bersama siapa, Van?” tanya Bu Reni dengan nada yang lembut.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡb6MUzBpkKQ
“Sepulang sekolah, saya sendiri, Bu. Kakak baru pulang sore. Ada apa, Bu?” Revan menjawab sambil menatap guru dengan tatapan penasaran.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdjjVmq810x
“Ohh, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin tahu sedikit tentangmu,” jawab Bu Reni, meninggalkan pintu pertanyaan terbuka di antara mereka.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8c8j55mlJr
“Baik, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin menguat saat perbincangan ini terasa semakin menyenangkan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEF1Ammqlr6
“Tidak ada. Namun, bagaimana kalau setelah sekolah nanti, Ibu mengajak kamu makan bakso? Setuju?” Bu Reni mengusulkan sambil tersenyum, dan membuatnya terkejut.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡR53OkrqYIF
“Ah, tidak usah, Bu. Nanti yang lain jadi iri dan malah merepotkan Ibu,” tolaknya, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6xbHc7Lhqq
“Tidak masalah, Van. Kita bisa pulang belakangan agar tidak ada yang tahu,” jawab Bu Reni dengan senyuman yang hangat.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJTwZjQ7rHq
“Baiklah, terserah Ibu,” ungkapnya, merasakan kegembiraan menyusup ke dalam jiwanya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgbDjJTFSIb
Tak lama, bel berbunyi menandakan akhir istirahat. Teman-temannya yang kembali dari kantin langsung memasuki kelas, sementara dia duduk terdiam, memikirkan momen-momen berharga yang baru dialaminya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJRo8sER7LK
Pelajaran dimulai, tetapi pikirannya melayang antara kenangan hangat dari perbincangan bersama Bu Reni dan harapannya terhadap kejutan yang mungkin ada di depan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡskSvktlLKT
Saat bel pulang berbunyi, semua bersiap, tetapi dia tetap duduk, mengamatinya teman-teman yang bersalaman dengan Bu Reni. Dia hanya menunggu dengan penuh semangat di dalam hati.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPY7Rd5rcMM
“Revan, ayo. Teman-teman sudah pulang. Hari ini Ibu ingin mengajak kamu makan bakso di pertigaan. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Bu Reni dengan senyumnya yang mempesona.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2bvJ4Go51T
“Tidak, Bu. Saya justru sangat menyukai bakso,” jawabnya, wajahnya berseri-seri.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0crQ5gPdqw
“Yuk, kita pergi,” ajak Bu Reni, dan dia pun segera membereskan barangnya, mengikuti langkahnya menuju sepeda motor.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDkfI1KdPia
“Siap, Van? Ayo naik,” perintah Bu Reni lembut.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡumTBQNwZra
“Baik, Bu,” jawabnya, mendaki motor dengan debar jantung yang semakin kencang.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSZRIQd8mtH
“Pegangan, Van. Ibu ingin merasakan kehangatanmu lagi,” ucap Bu Reni, dan pernyataan itu membuatnya terkejut.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUpgcTuypMa
“Hah? Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?” tanyanya, berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvtnbhrIutf
“Eh, tidak ada apa-apa. Pegangan saja sudah,” jawab Bu Reni sambil tertawa, membuatnya merasa aneh tetapi sekaligus terhibur.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡR80jKsyq0T
“Baik, Bu,” balasnya, kembali pada posisi pegangannya saat motor mulai meluncur.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfytDDJGDSg
Mereka melaju menuju warung bakso, menikmati hidangan yang menggugah selera sambil bercanda dan tertawa. Setelah perut kenyang, Bu Reni mengantarnya pulang.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSoMrvR5dxt
Saat tiba di rumah, dia tidak menyangka akan menawarkan Bu Reni untuk mampir, hanya untuk basa-basi, ternyata tawarannya diterima dengan senyuman.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhsOWW1BWZZ
“Waduh, Bu. Ibu benar-benar mampir? Maaf, tadinya saya hanya bercanda,” ungkapnya, sedikit terkejut dan gugup.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡB4UM7ApGzh
“Oh, tidak apa-apa, Van. Walau hanya basa-basi, Ibu tetap ingin mampir,” jawab Bu Reni dengan nada penuh kehangatan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgnYtP4To6P
“Baik, Bu. Terima kasih, dan maaf jika sebelumnya kurang sopan,” ujarnya, merasa senang sekaligus canggung.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQqFhdxN01x
“Tentu tidak masalah, kan Ibu juga belum pernah mampir ke rumah kamu,” Bu Reni menjelaskan sambil memandang sekeliling.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1UZEBv97Fr
“Ya, memang begitu, Bu,” sahutnya, tersenyum.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBKnx7xTCoX
Dia mencari kunci pintu yang tersembunyi di bawah tanaman hias, lalu membukanya dengan hati-hati dan mempersilakan Bu Reni masuk, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡM70WGJY8r3
“Mari, silakan masuk, Bu. Maaf, tidak ada hidangan yang bisa disajikan,” ungkapnya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnEkCBt42bT
Bu Reni duduk di kursi tua yang tampak nyaman. “Tidak apa-apa, Van. Kita baru saja makan,” sahutnya dengan senyuman menenangkan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAF2htMxjP4
“Oh iya, terima kasih sudah memaklumi, Bu,” jawabnya, merasakan ketenangan di dalam hati.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ03htiHv5wW
“Jadi, kalau di rumah sendiri begini, ngapain, Van? Tidak ganti baju dulu?” tanya Bu Reni, memperhatikan penampilannya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4NZodVMhad
“Oh, iya. Saya ganti baju dulu, Bu,” jawabnya, berlari cepat ke kamar yang tidak jauh dari tempat Bu Reni duduk.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmavLctofjP
Kamar itu hanya ditutup tirai, dan saat dia masuk, tanpa sengaja tirai itu sedikit terbuka. Ia terkejut mendengar suara Bu Reni.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFeYTtIVl09
“Kalau masuk kamar, tirainya ditutup, Van,” ucap Bu Reni sambil berusaha membetulkan tirai tersebut, nada suaranya bercanda.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡF6suc02hwS
Kekagetannya membuatnya berusaha menjelaskan, “Eh… iya, Bu. Tadi sudah ditutup, tetapi tidak tahu jika terbuka lagi.”
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRtMwtxd8wi
“Ya sudah, tidak apa-apa. Untung saja Ibu di sini,” jawab Bu Reni, membuatnya merasa malu campur senang dalam momen yang tak terduga.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXUwXWUBvHq
“Ah, Bu, jangan nakutin begitu,” balasnya, berusaha mengalihkan rasa aneh yang menghinggapi.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ139UDLzEuT
“Tidak, Van. Ibu hanya bercanda,” ucap Bu Reni dengan senyuman, menghapus kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikiran Revan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEogOuwuKIl
Bu Reni melanjutkan obrolan ringan mereka, berbagi cerita dan tertawa, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Namun, ketika saat berpamitan tiba, seakan ada kekosongan yang menyelimuti hati Revan, membuatnya merasa bahwa momen tersebut adalah awal dari suatu cerita yang baru.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡktNfA8M6Yf
“Revan, sepertinya sudah siang. Ibu mau pulang dulu, ya?” ujar Bu Reni lembut, menyentuh hati Revan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5IPuAuvVnR
“Oh, iya, Bu. Baik. Mari saya antar ke depan. Maaf ya, Bu, tidak ada yang bisa saya sajikan,” jawabnya, berusaha menjaga tata krama.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSTng6zYLQn
“Tidak apa-apa, Revan. Ibu sudah cukup senang bisa berbincang denganmu,” balas Bu Reni, senyumnya hangat dan menenangkan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMczob4ohDp
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya,” ucap Revan, merasa lega.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTRhlLWxzUC
“Ya, Van. Ibu pamit, ya.” Ucap Bu Reni
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡR4zm6lw7UV
Namun, sebelum pergi, Bu Reni mengajukan permintaan yang mengejutkan. “Tapi sebelum pulang, Ibu boleh menciummu di pipi, kan?” tanya Bu Reni dengan tatapan serius.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuE0ml84IK7
Revan merasa dikelilingi oleh pertanyaan yang membingungkan. “Hah? Maksudnya gimana, Bu? Untuk apa, ya?” tanyanya dengan keraguan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡs8LfsCYcSz
“Mencium pipi Revan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani Ibu berbincang dan makan,” jelas Bu Reni, berusaha mengurangi ketegangan yang mulai terasa. “Kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa.”
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYrv3SHjTYo
Dengan cepat, Revan menjawab, “Boleh, Bu,” tanpa melirik lebih dalam makna di balik permintaan itu.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡssY5hGGDOa
Dengan lembut, Bu Reni mendekat, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh pipi Revan. Detakan jantung Revan seperti alat musik yang berdentum tak henti-henti, membuat seolah waktu terhenti sejenak.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2pmoD7lXAh
Setelah pertemuan singkat itu, Bu Reni berpamitan pulang. Revan mengantarnya, langkahnya agak canggung namun penuh rasa ingin tahu. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bu Reni menoleh sejenak, meninggalkan jejak rasa yang tak bisa diungkapkan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbgWlojBByJ
Itulah awal mula keakraban mereka.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡN6H8QgxO9H
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJ1XyEQurCp
***
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡv0iE6iUBhp
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAf2Gz8cCh6
Keesokan harinya, Revan berjalan kaki menuju sekolah dengan penuh perasaan; meski sunyi, bayang-bayang kemarin menghantuinya, membuatnya merasa malu dan canggung setiap kali bertemu Bu Reni. Di kelas, selama pelajaran berlangsung, ia terdiam, bahkan ketika bel berbunyi menandakan waktu pulang. Sementara teman-temannya berebut untuk bersalaman dengan guru mereka, Revan tetap terpaku pada kursinya, tampaknya menanti momen yang tepat.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSVsMyDtl96
“Revan, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Bu Reni, penuh perhatian.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡf8485dzpwj
“Anu, Bu. Revan mau pulang, tapi nunggu Ibu keluar dulu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjnSwoLoWpu
“Loh, ada apa, Van? Apa Ibu menyulitkanmu?” tanya Bu Reni, dengan ekspresi sedikit khawatir.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdyeEf2m3IO
“Enggak, Bu. Revan hanya masih malu sama kejadian kemarin,” ungkapnya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGGJryfP0M5
“Hahaha, malu kenapa? Bukankah Ibu tidak mempermalukanmu?” Bu Reni menggoda, matanya bersinar hangat.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsXrCUgwNcb
“Ya enggak sih, Bu, cuma Revan malu saja,” jawab Revan, merasakan jiwanya sedikit lebih tenang.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCTAgVCtpWb
“Ya sudah, mulai sekarang jangan malu-malu. Anggap saja Ibu ini kakakmu. Kamu tidak perlu canggung lagi,” Reni menghibur, memberikan ketenangan.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡE8BHNgiuOp
“Emang boleh seperti itu, Bu?” tanyanya, berharap mendapatkan kepastian.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkwotgXN3ri
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Reni tegas.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQHDqETXhTU
“Baiklah, kalau begitu, Bu.” Ucap Revan mempertegas keadaan
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgvYhiC30hR
Dari sanalah, keakraban mereka mulai berkembang. Percakapan hangat dan tawa mengisi hari-hari mereka, menjembatani jarak yang semula antara guru dan murid, menjadi seolah kakak beradik yang saling berbagi cerita.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡunCgW7X7Be
Seiring waktu berlalu, kedekatan itu semakin erat. Namun, satu hari, dunia Revan terasa kosong ketika mendengar kabar bahwa Bu Reni sudah tiga hari tidak hadir di sekolah. Menyisipkan rasa khawatir tentang kesehatan Ibu Reni, Revan ingin segera menjenguknya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgwrEDCIPsn
Sepulang sekolah, ia cepat-cepat berganti pakaian dan menyiapkan segala yang dibutuhkan. Dengan sepenuh hati, ia menulis pesan kepada saudaranya, memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumah nenek yang tak jauh dari rumah Bu Reni.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9ws4bVPnbu
Mengayuh sepeda barunya, jantung Revan berdegup kencang, bercampur antara kecemasan dan rasa ingin tahu. Tak lama, jarak tiga kilometer dapat dia lalui, dan akhirnya ia tiba di depan rumah Bu Reni. Keterikatan yang mereka jalin kini menuntut jawaban, dan Revan siap untuk mengungkapnya.
154Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBDf42JBOra
