Mumpung pilot mata Cake memandang ke arah tanah, tangannya menggerayangi kulit bumi. Dicarilah sebuah kerikil, dipilahnya ukuran yang paling besar. Seolah memilih kandidat yang terbaik untuk menjadi proyektil yang sempurna. Sementara para penyusup itu menyebar tidak terlalu jauh dari Cake dan lainnya.
Batu oval pas di genggaman tak lama ia temukan, lulus kandidat sebagai proyektil standar. Cake berancang – ancang, melempar bergaya meriam agar jatuh tepat di antara dua penyusup itu bergerombol di sekitar. Tidak boleh kena penyusup itu agar mereka tak curiga, harus masuk ke dalam flora belukar menciptakan gemersik untuk pengalihan.
Cake berhitung dalam hati…
Satu…
Dua…
Tiga…
Empat…
Lima…
Proyektil dari tangannya dilemparkan, melesat pada titik visioner yang diproyeksikan oleh Cake.
“Huh? Siapa di sana!?” suara wanita dari penyusup itu membuat kawannnya menuju ke arah yang sama.
Ren dan Sistine sempat berpikir bahwa lemparan tersebut untuk menciptakan ruang agar mereka bisa kabur. Kenyataannya jauh lebih beresiko, Cake menerobos semak – semak bermodalkan nekad. Seketika dua dari empat penyusup menyadari, senter – senter mereka diarahkan pada flora belukar yang bergerak.
#detdetTAR!
Sekitar tiga peluru otomatis lesat dilontarkan, mengajak dewi fortuna menebak apakah satu diantara mereka ada yang kena. Mendengar tembakan itu, membuat firasat buruk dan rasa takut menyatu dalam diri Ren. Ia bahkan tak bisa memastikan bagaimana kondisi Cake saat ini.
Langkah lari kecil, terdengar membelah flora belukar ditemani senter yang menyorot ke kanan dan kiri. Diawali dua penyusup itu, kemudian di belakangnya mengekor. Ren menyadari inilah kesempatan terbesar mereka untuk bersembunyi di belakang hutan yang jauh lebih luas. Bila itu terjadi, maka para penyusup akan kesusahan mencari.
“Sekarang!” perintah Ren dengan berbisik.
Tangan Ren menggenggam tangan Lady De Polcester dengan erat layaknya gembok pagar, kemudian berpaling sejenak pada Sistine yang dari tadi matanya terbelalak kaget. Mereka saling mengangguk, artinya sepakat.
Namun…
Bila beruang adalah musuh para penyusup, juga musuh Ren dan kawan – kawan…
Maka flora belukar yang alat bantu berkamuflase, juga alat bantu musuh…
Mungkin semak membantu persembunyian Ren. Tapi karena semak – semak saling terhubung dengan yang lain, mustahil berlari tanpa menimbulkan suara gemersik.
“Cecurut itu di belakang! Ayo tangkap mereka!” Pria berseru memerintah. Dua senter langsung mengarah pada arah sebaliknya, mengambil langkah sekencang – kencangnya.
Memanglah buruk dikejar deb kolektor, tapi jauh lebih buruk bila dikejar waktu yang merampas ajal. Ren berlari sekencang – kencangnya tanpa menggubris aturan yang mengharuskannya tidak berisik. Seolah film sedang dalam bagian yang paling menengangkan. Pandangan mereka kini hanya fokus pada yang di depan, mencegah pilot menabrakan pohon atau tersandung batu besar. Jatuh adalah kesalahan yang fatal.
Namun…
Saat sampai jauh di tengah hutan…
Benar – benar lurus ke tengah…
Ternyata jauh lebih buruk dari yang Ren kira…
Tidak ada semak – semak, seperti yang direncanakan Cake di awal. Jalurnya kini adalah tanah coklat setapak seperti bekas pemerataan. Seperti jalur tanah yang dibuat sengaja untuk dijadikan objek turis. Ren bahkan melihat bekas ban mobil jenis offroad namun ukurannya agak kecil.
Diambilah ponsel dari sakunya, Ren kemudian mengulurkan cahaya senter dari ponsel menyinari sebuah papan aluminium.
Selamat datang di objek wisata Tay Forest! Wilayah ini bebas beruang sesuai batas yang telah ditentukan, 4 km.
“A-apa?” Ren melongo dan mematung. “Ba-bagaimana bisa?”
Ren baru sadar bahwa ini adalah manifestasi dari firasat buruk yang sebenarnnya, kebenaran di atas kebenaran.
Apakah kita ditipu sejak awal? Ren bertanya – tanya dalam dirinya sendiri. Sistine kini gemetaran, menggigit bibirnya sendiri.
Namun…
#Taptaptap!
Tidak hanya cahaya dari dua senter, melainkan jauh lebih banyak dua kali lipat melebar dari kejauhan membelah kegelapan. Semakin membesar cahaya itu seakan tidak akan memberikan kesempatan, suara langkah kaki berlarian dari kejauhan.
Kini cahaya itu meraih sampai kaki dan akan terus meninggi sampai wajah. Sistine kehilangan kontrol, tangan kirinya langsung menggandeng Ren.
“Ayo pergi!” seru Sistine panik.
Tangan Ren yang yang secara otomatis menggengam Lady De Polcester, memastikan agar ia juga ikut
Tapi Sistine tegas menolak, “Lepaskan tangan wanita itu bodoh!”
Mendengar itu Ren terkejut, juga wajah Sistine yang kencang dipenuhi kepanikan tampak mirip hewan buas yang hendak tertangkap.
276Please respect copyright.PENANAtQIWWxyNov
#Druakk!
Namun sebelum tangan Ren sempat ditariknya, sebuah pantat shotgun menghempas kuat dan cepat menghantam leher Sistine. Seketika membuat kendalinya pingsan, tubuhnya ambruk.
Jantung Ren melompat kencang… apalagi saat ia menoleh ke belakang. Orang yang menghantam sahabatnya,
.
Tidak lain dan tidak bukan… Orang yang sedari kemarin memperhatikan Ren dari jauh…
Dengan senyuman yang menyeringai… Orang yang tak waras itu…
.
Lady De Polcester… roman mukanya kencang dan tampak tanpa welas kasih, seakan telah memusnahkan hama…
.
.
Kini senter cahaya menyinari seluruh tubuh Ren. Beberapa kelompok orang menghampiri mereka dengan wajah khawatir. Namun Ren tidak tahu, apakah wajah khawatir itu ditujukan padanya.
.
Apalagi… ia melihat Cake yang sehat wal afiat tanpa luka. Bahkan mereka semua, Agnes, Bibi Mildsven kecuali Grunt, berlarian bersama dengan para penyusup.
Mengapa bisa? Apakah ini akhir dariku? Ren bertanya – tanya sebelum saputangan meraih hidungnya, menutup kedua mata Ren.
Ren kehilangan pilot atas tubuhnya, ambruk seperti robot tanpa baterai.
***
Hitam tak berdasar… sejauh mata memandang.
Kesadarannya telah diambil alih, telinga Ren mendengar obrolan samar – samar.
“… yakin ini sudah beres?”
“Seharusnya begitu,”
Dibukanya perlahan – lahan, Ren merasakan sinar masuk lewat celah – celah matanya.
Mengedip – ngedip…
Gambaran buram, orang – orang berkumpul, sofa, sinar…
“Sudah pagi?” katanya dalam hati. Ren berpikir barangkali mimpinya tadi malam sangat mengerikan.
Ren menghadapkan kepalanya ke arah langit – langit. Ia ingin mulai dari sana, pandangannya dibuka.
Mengedip – ngedip…
Gambaran buram, sesosok wajah perlahan terlihat jelas. Semakin jelas tampangnya, semakin bimbang hatinya. Wajah itu adalah yang paling terakhir ia ingin lihat. Wajah itu adalah satu tokoh terburuk dalam mimpinya.
“Lady De Polcester…? Kenapa aku ada di pangkuannya?” pekiknya dalam hati. Ren dibangunkan alarm dalam dirinya, rasa panik dan ketakutan.
Refleks tubuh Ren, segera melesat melompat menjauh. Namun ia tak sengaja menyenggol tubuh.
“Ah, maaf-“
Ren terkejut saat berpaling dan hendak meminta maaf, dua orang temannya dalam keadaan kedua tangannya diikat tali dan kedua matanya tertutup kain. Mereka berjejer sedikit berjarak, tepat dekat drawer yang di sebelahnya terdapat vase kosong memuat payung.
Ren segera mengambil payung dan menghindar menuju sumber cahaya terbanyak, pintu keluar. Kaki Ren berlari sekencang – kencangnya, namun sejauh mata memandang semua orang tampak membiarkan dan malah membuka lebar jalan.
Walau saat kaki kanannya sempat menginjak teras, Ren tidak menyadari bahwa lengan mencegat lehernya. Tangan itu milik, Agnes. Ren terjatuh, lalu diberdirikan dan payung itu ditendang jauh oleh Agnes. Ren melawan balik, namun harapanya kandas. Ren dibawa kembali ke dalam vila.
“Apa!? Apa yang kalian inginkan?” teriak Ren sembari pandangannya bergantian ke setiap orang. Tangan Ren dikunci dan dijaga erat oleh Agnes. Sekali lagi Ren dipaksa duduk dekat Lady De Polcester. Ia merasa seperti daging segar ditaruh pada kandang singa yang lapar.
“Kalian ingin uang? Salah! Kalau kau menculik seseorang haruslah orang kaya! Bukan miskin sepertiku!” Ren berteriak menantang sekali lagi. Namun yang ia dapatkan hanyalah tatapan kasihan.
Perlahan kepala Ren dialihpandangkan pada wanita itu. Ia terpaksa melakukan itu untuk memastikan keadaannya. Aliran darah mendesir naik ke permukaan wajah hingga kening, urat leher mulai terbentuk. Ren sangat ketakutan dan panik.
Namun saat mata Ren menatap wanita itu, ia menjadi bingung. Tatapan itu lebih melankolis dibanding tatapan mata setiap orang, apalagi Cake. Ia juga tak merasa seperti dikandang, tidak dirantai dan bebas melakukan apapun. Situasi hanya hening tanpa kata – kata, Ren menyorot semua orang.
Bertambahnya wajah pria sebanyak lima orang dan wanita tiga orang, wajah asing. Bibi Mildsven tiba – tiba datang mendorong troli penuh dengan jajanan dan sirup segar. Lalu semua orang seakan tanpa beban mengambil itu sambil menyandarkan di tembok atau hanya sekedar berbaring di lantai.
Ren semakin bingung, apa yang terjadi?
“Peristiwa paling sulit dalam hidup anda harus dilakukan sekaligus dan diakhiri kemarin malam. Itu semua telah masuk dalam rencana yang saya buat,” ucap Cake dengan serius. Meskipun rencananya berjalan lancar, roman mukanya tampak tak senang.
Cake berdiri dan berjalan menyamping, mengambil dua potong kue yang telah disiapkan Bibi Mildsven.
“Apa yang terjadi Mr. Cake? Kenapa Grunt dan Sistine diikat?”
Cake tidak menggubris itu. Sebagai gantinya, tangannya diulurkan membawa sepotong kue coklat untuk diberikan pada Ren.
Awalnya Ren tidak yakin, namun perutnya berkata lain. Ia tanpa beban mengambil sepotong kue coklat yang diberikan Cake. Awal gigitan, melahirkan gigitan lainnya. Ren tampak seperti anak kecil yang makan cemilan dengan nikmatnya. Tentu setelah Cake memakan duluan, demi memastikan apakah itu ada racunnya atau tidak.
“Karena itu, Mademoiselle, saya akan mulai menceritakan semua kronologinya,” jelas Cake, sambil mengunyah kue.
Cake kemudian berpaling pada dua insan yang sedang diikat, Grunt dan Sistine.
.
“Dan bagaimana mereka… yang menggantikan posisi dua sahabat anda yang sebenarnya.”276Please respect copyright.PENANAgfLgrhn3zr