Meja makan yang memanjang mirip milik kerajaan di novel – novel atau film kartun fantasi terkenal, ditemani sepuluh kursi dengan bahan pembuatan yang sama dengan bantalannya warna merah. Meja makan itu seolah tebuat dari emas karena diberi cat emas khusus bagai sarang kunang – kunang di malam hari. Walau tak dipoles ukiran rumit, faktanya itu terbuat dari kayu pohon ek.
Tiga orang itu kini berada di dapur yang bersambung dengan ruang makan. Bibi Mildsven sedang menyajikan bubur tomat, Agnes menaruh dua keranjang apel dan anggur lalu segera menata beberapa piring dan gelas, Cake membuat sesuatu di dapur, sedangkan Lady De Polcester sedang menyiapkan hidangan utama.
“Selamat siang, silahkan kalian mengambil tempat,” seru Bibi Mildsven, tersenyum sesaat.
Grunt dan Ren yang merasa tidak enak karena tidak berbuat apa – apa, mereka menawarkan diri untuk membantu. Namun Bibi Mildsven menolak karena semua persiapan hampir selesai.
---------------------------10 MINUTES LATER----------------------
Tuan rumah, pembantu, para tamu, semua orang sedang makan siang tanpa terkecuali. Suasana makan bersama damai dan tenang, meniadakan pengkastaan. Grunt lagi – lagi menduduki peringkat pertama dengan menghabiskan tercepat dan yang paling banyak, menambah sup tomat dan kentang tumbuk serta dua apel. Kedua temannya mengingatkan pria rambut kribo ala sarang burung itu, mengingat sang pemilik hanya makan sedikit. Namun Bibi Mildsven justru mendukung Grunt, itu karena biasanya sup tomat yang telah dimasak, bila seseorang selesai makan maka tak yang menyentuhnya lagi. Kecuali benar – benar dihabiskan.
“Jadi, kalian ini sebenarnya sedang liburan atau melakukan tugas kuliah?” tanya Bibi Mildsven penasaran. Ia juga menyeruput bubur tomat demi menghabiskan sisa. Wajahnya keriputnya seolah mirip nenek yang sedang menghabiskan rindu dengan cucunya.
“Dua – duanya kalau boleh jujur. Kebetulan saat ini semester dua adalah materi yang fokus pada seni lukis. Sebenarnya tidak ada tema soal lukisan…,” kata Ren, lalu memalingkan pandangannya pada Sistine. Namun temannya itu tampak gugup, tak tahu apa yang akan dikatakannya.
“Karena kami suka bepergian, jadi tidak ada salahnya sekaligus melukis. Kami memutuskan mencari tempat yang lebih umum. Seperti harus ada pepohonan, rerumputan, dan harus bernuansa tenang,” balas Grunt mewakili Sistine.
Lady De Polcester yang duduk di antara Bibi Mildsven dan Agnes sama sekali tak tertarik. Malahan, ia sedang mengiris ikan panggang yang tampak masih separuh. Mulutnya mengunyah dengan lamban, Cake mengamati sejenak.
“Lalu kalian pilih sekitar wilayah Perth dan Kinross?” tanya Agnes yang matanya menyorot anggur dimakannya perlahan.
“Well, Ren yang menentukan. Sebenarnya kami tak terlalu mempermasalahkan, yang penting tak mahal dan terlalu jauh. Lagipula beberapa dari kami juga kerja paruh waktu, sih,”
“Kerja paruh waktu, monsieur? Kalian bekerja di mana?” tanya Cake, sambil menuang segelas air.
“Dulu saya serabutan di jasa pengiriman. Tapi karena terlalu melelahkan dan kadang bentrok dengan jam kuliah, saya pindah ke tempat lain. Untung mini market di Glassgow buka lowongan paruh waktu,” kata Grunt malu – malu.
“Ah, bagus untuk anda! Anda sendiri, Nona Brunes?” ganti tanya Bibi Mildsven.
“Sa-saya pekerja lepas bagian marketing pada agensi tour wisata,” ucap Sistine ragu – ragu. Ia hanya merasa sedikit minder karena tak sekeras usaha yang dilakukan temannya.
“Ow, kebetulan sekali! Maukah anda mempromosikan tempat kami nanti kalau resmi buka?” tawar Bibi Mildsven agak menggebu – nggebu.
“Tentu…,”
Giliran Ren tibalah saatnya, pertayaan yang sama ditanyakan.
Sesaat wanita itu hendak mengangkat mulutnya, Cake merasa lebih banyak mata memperhatikan. Terutama pada Lady De Polcester, pisaunya yang telah mengiris ikan panggangnya terus digerakaan seakan ia sendiri tak menyadari hal itu.
“Well, saya malu harus mulai dari mana…,”
Ren mengatakan bahwa dirinya memiliki tiga pekerjaan paruh waktu. Buruh cuci restoran, kasir swalayan dan respsionis perpustakaan.
“Anda super sibuk, mademoiselle. Bagaimana anda mengatur jadwalnya?” tanya Cake kagum. Ia berpikir kalau saja wanita itu berada di Cambridge, Cake tak akan ragu – ragu mengangkatnya jadi karyawan. Apalagi, ia percaya bahwa dirinya adalah bos yang baik dan logis.
“Sebenarnya saya tak kesusahan hidup bila tak keluar dari Wales, karena ada orang asing yang memberi semacam beasiswa dengan rutin. Tapi saya tak mau merasa dikurung terus, itu membosankan dan kurang menantang. Penyesuaian adalah yang paling susah. Saat – saat perjuangan tersulit adalah ketika anda keluar dari payung orang lain dan menerabas air hujan dengan teguh. Sejak memutuskan untuk tidak menyulitkan orang – orang di panti asuhan, saya telah mempersiapkan mental dan tenaga untuk bekerja keras. Dengan begitu, setidaknya tidak terlalu kaget dengan aktivitas yang padat. Saya hanya perlu selektif untuk menghabiskan tenaga, dan seberapa banyak manfaat yang saya terima dari itu,” jelas Ren.
Seolah semua mata terpana dengan kata - katanya yang mengesankan, sedikit membuat Ren malu.
“Saya tidak tahu kalau masih ada permata generasi muda di zaman serba instan. Tapi tetap saja, itu cara bertahan hidup yang mengesankan.” Bibi Mildsven melongo sambil mengangguk – angguk kecil kagum. Ia lalu berpaling pada Cake.
Sambil bercengkerama sampai piring – piring kosong hanya tersisa bekas minyak dan saus, kira – kira setengah jam topik membawa mereka lupa waktu. Namun yang mengesankan, Lady De Polcester sama sekali tak menunjukkan senyum. Piring Lady De Polcester pada akhirnya kosong juga, ia baru saja menancapkan sesuap terakhir daging panggang ikan Char.
Perubahan Lady De Polcester sejenak hanya pada saat Ren memulai bicara, pun hanya melirik singkat dan kehilangan fokus saat memotong daging ikan dengan pisau padahal sudah terpotong.
Lady De Polcester, wanita pendiam sekitar empat puluh tahunan yang sejak kemarin mereka belum pernah mendengar suara atapun senyumannya. Bahkan sejak tadi, suasana canggung semua berasal darinya.
Penampilannya tak kalah menarik dengan gadis remaja, hidungnya total mancung dan bibirnya yang cemberut justru mengundang hawa misteri yang memikat. berdagu lancip dengan kulit pipi tampak kenyal tanpa kerutan meski rambutnya sedikit beruban. Wajahnya bagai boneka yang pembuatnya sengaja memasangkan karakter melankolis, kemudian dipoles mirip keturunan bangsawan edward daripada tudor.
Ren dibantu Sistine, telah mencuci seluruh piring bekas makanan meski Bibi Mildsven menyuruhnya untuk tidak melakukan itu. Kemudian tiga orang sebelum bubar, hendak mengutarakan sesuatu. Sesuatu yang mereka bertiga urungkan.
“Anu, sebenarnya kami besok hendak pulang. Jadi…, bagaimana kami akan bayar?” tanya Ren dengan ragu – ragu.
Bibi Mildsven menghela nafas.
“Well…, soal itu,” nadanya terdengar ragu - ragu, sama seperti roman mukanya saat ini. Ia melirik sesaat pada Lady De Polcester memastikan tanpa tanda penolakan. “Soal itu… sebenarnya Lady De Polcester belum memutuskan lebih jauh, jadi anggap saja nihil. Tapi… beliau akan senang bila anda semua tinggal sedikit lebih lama, mungkin?”
Tiga orang itu berpaling dengan agak takut pada Lady De Polcester yang masih duduk di tempat yang sama, memandang meja itu dengan tatapan kosong. Mereka saling berbisik dengan tidak yakin.
“Ah, kami punya tawaran lebih baik! Mari ikut saya ke garasi,” ajak Bibi Mildsven. Karena rasa antusias dari wanita umur 60 tahunan itu, mereka dibuat tidak bisa menolah.
Semua orang kecuali Lady De Polcester mengambil langkah menuju pintu depan. Ren yang berada di paling belakang, sejenak menengok ke belakang mengapa wanita itu masih saja tuduk.
Namun Ren merasa kaget dan ngeri. Bagaimana tidak? Siapapun akan merinding bila tiba – tiba wanita itu yang sejak selesai makan hanya menatap meja kemudian wajah pucatnya mendongak dan menatap kosong, matanya yang kurang tidur melotot, dan bibirnya tersenyum menyeringai?
ns216.73.216.28da2