Seolah berhasil menegakkan punggung – punggung mereka setelah terlalu lama membungkuk menyerah, kini Cake berhasil memboyong mental mereka ke puncak harapan setelah melewati lembah keputusasaan. Otak kera Cake berisi hutan siasat dipenuhi pohon pisang, kini berhasil memanen buahnya dengan banyak. Cake pada akhirnya masih mampu memberi mereka pilihan.
Cake beranjak kembali dari duduknya, lalu hilir mudik menjelaskan seperti seorang dosen pengajar yang profesional.
“Strategi ini sangat sederhana dan berkesinambungan. Vila ini akan menjadi umpan dan memberi nilai kesan aneh dan asing di mata mereka. Anda empat orang, akan bertugas menyusun itu.” Cake menunjuk Bibi Mildsven, Agnes, Grunt dan Sistine. “Anda akan membuat vila ini semacam bangunan terkutuk dan berhantu. Buatlah barikade menyerupai boneka sawah yang saling bergandengan. Dan kanvas itu, lukislah sesuatu yang menyeramkan, tidak harus bagus yang penting sampai benak hati anda mengatakan itu menyeramkan. Dengan begitu benteng kosong akan menjadi tanggung jawab empat orang yang saya tunjuk tadi,”
Saat Cake hendak melanjutkan penjelasannya, Bibi Mildsven mengacungkan tangannya dengan lesat. “Apa para penculik punya rasa takut hal gaib? Apa itu akan berhasil?”
“Penculik juga manusia, sama seperti kita. Mereka akan berpikir dua kali setelah menginjakkan kaki melihat keabsurdan ini. Semakin mencurigakan saat semua vila gelap dan hanya dipenuhi benda menakutkan, semakin ragu – ragu hati mereka. Ah, sebagai tambahan, dua orang akan memainkan lampu dan siluet. Kita akan benar – benar menciptakan benteng kosong berhantu, agar perhatian mereka setidaknya sekian persen teralihkan. Untuk persiapan di dalam vila biar saya dan Mlle. Shiomi saja,” balas Cake.
Mendengar kata “berhantu” dari mulut Cake, tiga orang itu sedikit merinding. Karena masalah itu belum menemui titik terang. Terutama Ren yang mengatakan pada dirinya sendiri, bahwa sebenarnya tak perlu merubah vila ini menjadi tempat berhantu karena memang sudah berhantu. Namun nyawa adalah objektif mereka saat ini, tiga insan itu hanya berpikir praktis dan melaksanakan sesuai rencana tanpa menggubris hal yang belum pasti.
“Maksimal sebelum pukul lima sore, setelah itu kita kembali ke ruang makan untuk mendiskusikan pembagian peran. Ada pertanyaan?”
Dua orang mengangkat tangan. “Bagaimana dengan gerilya? Siapa yang mengurus persiapannya?” tanya Ren.
Cake mengangguk, lalu berpaling pada Agnes. “Silahkan, Mlle. Agnes?”
“Hm… bagaimana dengan… Lady De Polcester?” Satu pertanyaan lain yang sebenarnya ingin diajukan dari tadi. Tatapan setiap orang juga sebenarnya kurang yakin, tapi rasanya sulit juga dilupakan.
“Well, saya sendiri akan mengurusnya soal itu….” Cake memejamkan matanya, berkesan tidak pasti. Ia mungkin telah memikirkan cara lain untuk mengisi perannya meski nadanya sedikit meragukan. “Mengenai gerilya…,”
“Mudah saja, kita bersembunyi di hutan belakang, melumpuhkan satu per satu. Secara teknis dibagi menjadi dua peran, umpan dan penyerang,” jelas Cake dengan ringan dan terdengar menyepelekan.
“Apa? Jangan bilang kalau itu adalah satu – satunya pertahanan terakhir? Dengan bunuh diri?” seru Grunt, memprotes. Itu sangat bisa dipahami, mengingat mereka bersenjata api berperedam. Selain membahayakan, mereka juga berpotensi diserang rasa takut yang luar biasa karena sewaktu – waktu pistol dilontarkan suaranya tidak terdengar. “Lagipula, kita tak tahu nanti senjata apa yang mereka bawa, ‘kan?”
Tiga orang itu sangat setuju dengan menolak cara konyol Cake, pada awalnya.
“Ini memang satunya pertahanan terakhir, tapi bukan berarti bunuh diri, monsieur. Saya tidak ada niatan membuang nyawa siapapun,” tambah Cake. “Tidak ada strategi yang menjamin keselamatan seratus persen. Atau bila itu ada…”
.
“Orang itu harus jadi tuhan.”
Setelah mendengar itu, mereka tidak punya pilihan lain. Namun daripada terus beragumen dan menunggu alarm berbunyi, sama saja menunggu mati, pikir Ren.
***
Sinar mentari tampak keoranyean, masuk melalui jendela tanpa malu – malu. Seperti itulah wajah – wajah temannya, Sistine dan Grunt yang tadi sempat menolak tajam saran Cake sekarang tanpa malu – malu. Ren sempat teringat kejadian masa lalu, bertiga dengan Sistine dan Grunt melakukan kegiatan perkemahan saat musim panas. Dari jendela lantai satu memendam sedikit iri, Ren berpikir senyum dan peluh yang mereka teteskan seolah diiringi semangat.
“Ada apa, Mlle. Shiomi?” tanya Cake pada Ren yang sedari tadi penasaran memandang luar jendela koridor dekat tangga. Saat itu mereka baru saja menyelesaikan persiapan dan sedang beristirahat.
“Yeah, melihat mereka berempat seperti kembali ke masa lalu. Bertiga, dengan satu pembina muda, Nona Beryl dan Bibi Thompson, kelompok yang cocok. Well, kini saya merasakan perasaan salah satu anak lain yang merasakan sedih saat terpisah dengan kelompok yang diidamkan.” Ren melirik tepat pada wanita yang mencintai kotak kayunya seperti yang dia lakukan saat pagi tadi di meja makan. Ren sangat keberatan berdekatan dengannya, lebih parahnya lagi Cake menjadikan mereka satu kelompok.
Lady De Polcester, yang dari tadi mendapat sindiran dari Ren, kini memakai baju ketat yang lebih sporty dengan di punggungnya sebuah shotgun berfasad estetik dengan ukiran yang tampak menarik. Perilakunya masih sama, memegangi kotak kayu unik seolah – olah memegangi bayinya. Ren memahami bahwa Lady De Polcester kurang sehat secara mental, tapi ia tetap tak bisa mentolerir perilaku buasnya tadi pagi. Pada akhirnya, yang hanya Ren ketahui adalah Lady De Polcester tidak bisu.
Sesaat lirikan Ren membuat Lady De Polcester membalas dengan lirikan juga. Hingga senyuman lebar yang mengerikan itu membuat ngeri Ren sekali lagi.
“Boleh kupinjam kalung itu?” Tangan Lady De Polcester diulurkan, sambil perlahan mendekat. Berita bagusnya adalah kini Lady De Polcester lebih banyak berbicara, tapi di saat yang bersamaan membangkitkan rasa khawatir pada Ren juga Cake, adalah berita buruknya.
Ren mengencangkan wajahny dengan ngeri, bersembunyi di belakang punggung Cake.
“Ma-madame Polcester, anda sudah berjanji pada saya. Bila anda menjadi ratu yang baik, saya akan buka kotak itu nanti.” Cake menghadangnya, menjadi pagar pembatas hidup bagi Ren.
“Kapan? Kapan?” tanya Lady De Polcester dengan tak sabaran, seolah seperti anak kecil yang dijanjikan mainan baru. Kotak kayu itu ditaruhnya ke lantai, kedua tangannya menarik – narik baju Cake.
Untungnya Bibi Mildsven segera datang sebelum situasi jauh lebih rumit. Ia segera menarik Lady De Polcester. “Mr. Cake kami sudah melakukan persiapan…,”
“Ah ya terima kasih, Madame Mildsven. Segera suruh semua orang berkumpul di ruang makan. Sekalian ajak Lady De Polcester, kami segera menyusul,” balas Cake. Jelas sekali tampak oleh Ren, sebenarnya Cake juga kerepotan dengan Lady De Polcester.
Bibi Mildsven tanpa berkata apapun lagi, langsung menarik paksa Lady De Polcester seolah anak kecil diseret menjauh dari urusan orang dewasa. Cake dan Ren, sama – sama berwajah lega melihat wanita yang merepotkan itu telah pergi. Kotak kayu itu tertinggal, sedikit menarik perhatian Ren.
“Hm…?” Ren berjongkok, mengambil kotak itu sambil membolak – balikkan sisinya. “Well, cindera mata yang unik. Saya selalu penasaran apa isinya.” Dikocoklah kotak itu dengan mendekatkan telinganya, namun sayang ia tak mendengar apapun. Bahkan tangannya tak merasakan tendangan dari sebuah benda, Ren mulai berpikir kertas itu tak ada isinya.
Di sisi depan terdapat lubang kunci yang menurut Ren sangat aneh.
“Menurut anda kenapa lubangnya lingkaran, Mr. Cake?” Tunjuknya bagian depan kotak itu. Sayangnya, Cake sama sekali tak menaruh perhatian, bahkan tak menggubrisnya.
“Mr. Cake-“
“Mlle. Shiomi, saya ingin memastikan sesuatu. Seperti yang anda ceritakan tadi pagi, kalian bertiga sedang mencari hantu?” timpal Cake dengan pertanyaan lain.
“Ye-yeah… karena kami tak bisa tenang dengan suara – suara itu. Seseorang sempat masuk ke kamar kami, dan sempat membuat saya dan Sistine merinding saat ia menarik selumut. Lalu dia pergi, kami tahu dari sumber suara itu yang semakin menjauh, menjadikan kesempatan untuk memastikan apakah dia hantu atau bukan. Sayangnya Grunt tertidur, lalu saya menggedor dengan keras. Saat suara itu kembali lagi, anehnya berubah menjadi percakapan Bibi Mildsven dan Agnes,” jelas Ren.
Cake mengangguk kecil, namun ia segera mengganti topik. Ada hal lain yang ingin dipastikannya.
“Lalu soal kalung itu. Kenapa pada akhirnya anda memutuskan untuk memakainya?” tanya Cake.
Ren meminjamkan kalung itu pada Cake sebentar. Kalung itu tampak berwarna perak dengan bentuk oval batu permata safir. Ukuran ovalnya sebesar jempol wanita, dikelilingi berlian – berlian kecil.
“Dulu, saya diasuh oleh Bibi McMurtagh di panti asuhan Wales. Beliau orangnya ketat dan disiplin tapi baik hati, dan umurnya sudah terlalu tua. Saat saya berumur sekitar tujuh atau delapan tahun, beliau memberi saya kotak kecil berwarna hitam. Isinya kalung ini. Beliau berpesan untuk tidak menjual kalung ini pada siapapun dan apapun caranya, kalung itu menangkal kesialan dan roh jahat, katanya sebelum ia jatuh sakit,” jelas Ren.
Cake memanfaatkan senter langit kemudian mendekatkan matanya pada batu safir tersebut. “Memang ini adalah permata yang sangat mahal dan bernilai. Seharusnya disimpan tanpa diketahui siapapun,”
“Saat anda bilang begitu saya sedikit heran sebenarnya…” Ren teringat sesuatu. Ia mengatakan pada Cake bahwa sebenarnya sesekali pernah menunjukkan kalung itu pada Grunt dan Sistine, tapi tak pernah menyebutkan bahwa kalung itu penangkal roh. “Anehnya, Sistine malah yang mengingatkan saya soal itu,”
Cake sempat diam sejenak, namun ia seolah memahami hal itu. “Oh, mungkin saja karena terbuat dari perak. Di film sering mengatakan tentang itu.”
“Well, setidaknya ada dua orang yang berpikiran sama,”
Cake segera menyerahkan perhiasan itu. Ia memandang wanita itu dalam – dalam. Bahkan sampai mata Cake hendak bersentuhan dengan mata Ren. Bukannya terbentuk suasana romantis klise, namun sebuah peringatan yang tidak terbendung dalamnya.
“Sekarang ingat – ingat ini. Anda tidak akan bawa ini nanti. Simpan di tempat yang aman, anda mengerti?” nada Cake yang terdengar tenang dan berat, seakan menggerakkan intuisi Ren untuk meyakini kata – kata itu. Ren segera menuju ke kamarnya untuk menaruh kalung itu pada tempat bersemayam kalung itu sebelumnya.
Dalam beberapa detik ia kembali. Kini mereka melangkah melalui salah satu tangga kembar.
“Oh satu lagi, Mlle. Shiomi, bagaimana anda bisa tahu vila ini?” tanya Cake, matanya menelisik ke arah Ren dengan curiga. “Tidak mungkin ada orang yang meninggalkan beberapa penginapan demi berjalan kaki selama tiga jam, ‘kan? Kalau itu kebetulan, setidaknya itu sangat menyeramkan,”
Ren meringis kecil. “Hehe, ketahuan? Se-sebenarnya saya memberitahukan pada Sistine terlebih dahulu supaya lancar.” Ren berkelakar, sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Roman mukanya seperti anak kecil yang tertangkap membolos sekolah.
“Prinsip ekonomi dalam bepergian, eh?” balas Cake dengan jenaka, memaklumi prinsip bertahan hidup mahasiswa dengan berbagai pekerjaan paruh waktunya.
ns216.73.216.95da2