Dinding langit telah memijak fase ketiga, biru langit, biru langit dengan gradasi ungu dan oranye, lalu hitam secara signifikan. Tuan Bulan meski sinarnya meminjam Nyonya Matahari yang sangat cerah tadi, pendarnya seolah sedang sakit. Mirip lampu yang menyala namun redup, atau senter yang menjelang habis baterai. Awan tampak berdemo bergerombol, seolah harapannya tak terpenuhi dan hendak menangis deras menjatuhi dataran tinggi perthsire.
“Diperkirakan hujan lebat dan berpotensi banjir. Meski anda berada di dataran tinggi, harap bersiap – siap pada kemungkinan terbesarnya…,” suara dari televisi berita laporan cuaca sebelum akhirnya dimatikan.
“Bro, what the hell? 37 derajat Fahrenheit (3 derajat celsius)? Kukira aku demam!” seru Grunt sambil menggigil.
Tiga orang itu tampak memakai pakaian yang sehangat – hangatnya, meski pria yang dipanggil birdnest menggunakan sweeter, jaket dan kaos polosan. Tiga rangkap pakaian seolah tak mempan menangkal dingin.
Sebenarnya mereka berada di ruang tamu, dekat sekali dengan perapian. Mereka tak mau menyalakan perapian karena tidak berlama – lama, berita sebelum tidur adalah ideal. Lagipula mereka mencoba sesopan mungkin tidak membuat masalah, apalagi perapian itu dekat dengan kursi goyang milik Lady De Polcester.
“Yeah, ini sih mirip kulkas.” Ren menyeruput cokelat panasnya. Mulut Sistine seakan bergetar spontan, tapi menolak coklat panas Ren saat ia menawarkan.
“Te-terima kasih, tapi aku sedang diet, my dear,” Sistine menolak.
“Kalian ini kenapa selalu kompak di hal yang menyedihkan?” kata Ren sambil menghela nafas. Agak wajar, kalau Grunt tiga rangkap masih menggigil, maka sebagai rekornya Sistine dengan lima rangkap terlihat seperti mayat beku.
“Ma-manusia adalah makh-makhluk berdarah panas-“ Sistine mengangkat jarinya seolah mengajari Ren. Cara berkelakar Sistine yang jarang dan bermaksud menyindir guru SMAnya dulu. Namun Ren sebagai wanita yang memiliki imajinasi seni tinggi, logika pada sebuah mata pelajaran adalah musuh alaminya. Ia benci sekali IPA.
“Yeah, yeah, aku mengerti, Sis. Hentikan teori itu, aku bisa gemuk karenanya,”
Wilayah Scotland memang pada umumnya sudah dingin karena banyak dikelilingi pegunungan. Di samping itu, alamnya nyaris tak disentuh. Para makhluk hijau natural baik batang dan pasukan rumput memang kompak memindahkan air dari tanah ke atmosfer. Dengan kata lain, siangnya tak terlalu menyengat panas, tapi malamnya dingin bagai kulkas. Apalagi awannya mendung, membuat dampaknya terakumulasi.
Mereka memutuskan untuk kembali ke istana kamarnya masing – masing. Satu rencana yang mereka tetap tidak merubahnya dalam kondisi apapun, misi mencari tahu asal tangisan wanita itu.
“Jangan lupa nanti, oke?” kata Ren pada Grunt.
Ren dan Sistine lalu masuk di kamar yang sama, paling pojok kiri jika dari tangga dan berseberangan dengan kamar Cake. Sementara kamar Grunt adalah tepat di sebelah kamar Cake. Sisa satu kamar kosong yang seharusnya adalah kamar Sistine. Kuncinya memang masih dipegangnya, sudah dipastikan kamar itu kosong.
Bagaimanapun juga…
Setelah sepuluh menit mereka masuk ke kamar, pintu itu terbuka sedikit…
Mata melotot, pupil hitam seperti ikan mati, mengintai dari celah itu.
------------------------THEN AT MIDNIGHT----------------------
Rintikan gerimis, berjatuhan pelan seolah melindungi insan yang tidur agar tidak terbangun. Kilatan petir bagai lampu seolah sedang berpesta diam – diam tanpa diwujudkan suara cetarnya. Orkestra suara katak bersahutan bagai gendang, jangkrik adalah senar akustiknya dan derauan burung hantu adalah serulingnya. Malam sedang berpesta, meski insan bukanlah tamu undangan.
“Ren, kau sudah tidur?” tanya Sistine.
“Aku sedang berusaha, Sis. Ada apa?” kata Ren dengan malas.
Mereka satu tempat tidur posisinya menghadap di arah yang berlawanan, saling membelakangi masing – masing. Kilatan – kilatan petir seolah memecah singkat kegelapan masuh melalui jendela yang tirainya tidak ditutup. Ren mewajari soal itu karena sahabatnya yang manja, Sistine takut akan kegelapan meski ada lampu tidur.
“Aku… tidak bisa tidur. Apa – apaan sih tempat ini?” Sistine merasa gelisah. Bukan karena suhunya yang dingin, tapi karena sesuatu hal lain. “Biasanya aku kalau sudah bertemu bantal, bangunku yang paling akhir. Kau tahu itu ‘kan, Ren?”
Ren memahami hal itu. Pasalnya mereka juga sudah lama bersama. Tapi justru kini Ren tak hanya mengkhawatirkan satu, tapi dua orang. Ketambahan dirinya sendiri.
“Yeah, itu kebiasaan buruk yang perlu diubah,” celoteh Ren.
“Hey! Bukan itu yang ingin kudengar!” protesnya.
“….”
Mereka diam sesaat, membiarkan orkestra malam memasuki telinganya. Sebenarnya malam itu adalah malam yang sangat menenangkan, terutama bagi orang yang ingin istirahat dari rentetan jenuh pekerjaan. Bahkan sudah banyak dijadikan terapi penenang.
Ren ingin mengakui itu, namun tidak bisa. Setelah kejadian – kejadian yang ia alami dan sembunyikan terutama dari Sistine, ia sudah boleh mengkhawatirkan dirinya. Lady De Polcester, kenapa ia memelototiku? Pikir Ren dalam – dalam sejak tadi.
“Well, entah kenapa ketakutanmu memengaruhiku juga, Sis. Kau sudah boleh minum obat sih, supaya virusnya tak menular,” Ren berkelakar, menyindir perilaku Sistine yang menyebalkan. Bagaimana tidak, menanyakan hal yang sama “Ren, apa kau sudah tidur?”. Kau ingin aku tidur atau tidak? Pikir Ren sebal.
“Bodoh! Kalau obatnya ada sudah kuborong!” balas Sistine berkelakar. Mereka berpikir lelucon bisa mengurangi rasa takut. Namun rasa gugup mereka, menunggu suara tangisan itu terpatri dalam otak.
“Sis, bagaimana mana menurutmu tentang Lady De Polcester?” tanya Ren. Ren ingin tahu mengenai wanita itu berdasarkan pendapat orang lain. Barangkali ia mendapat sepatah nasehat.
Sistine menoleh ke belakang.
“Kenapa tiba – tiba?”
“Ta-tak ada. Aku hanya ingin tahu saja pendapat orang,”
“Maksudmu kita berbicara dari mana dulu?” tanya Sistine agak bingung. “Penampilan? Perilaku? Atau rumor – rumor yang kubuat sendiri?”
“A-aku tidak menyangka kau punya penilaian rumor – rumor, sis? Well, terserah dari mana saja,”
“….”
Sistine yang diam sejenak digantikan gemericik hujan. Diantara celah pembicaraan sesi berpikir terisi suasana tenang, kecuali suara – suara katak yang kian nyaring. Seolah mengadu kontes nyanyian merdu.
Ren dan Sistine sama – sama berbalik arah. Kini mereka saling berhadapan satu sama lain. Mereka mengobrol dengan suara rendah.
“Entah mengapa aku sedikit mengerti maksudmu, Ren. Kuakui wanita itu agak aneh. Sikapnya itu sedikit membuang – buang potensi wajahnya,”
“Wajahnya? Ada apa dengan wajahnya?”
“Apa? Bukannya sudah jelas? Dia itu sangat cantik!” seru Sistine, seolah ia kaget mengapa Ren tidak menyadari hal ini.
“Eeeee, kenapa kau berpikir begitu? Kalau aku malah berpikir wanita itu muram dan suram,” nada Ren agak kecewa.
“Well, itu juga benar. Tapi coba gunakan imajinasimu. Misalnya sekitar matanya tidak hitam, memasang senyuman hangat, dan andai suaranya merdu…,”
“Hm…, biar aku coba…,”
Ren membayangkan perkataan Sistine. Awalnya ia setuju, namun saat pada poin kedua “Senyuman hangat” maka tidak lain yang dibayangkan adalah Lady De Polcester yang menyeringai seram padanya. Ditambah dengan mata melototnya, wajah Ren menjadi ngeri.
“Ren? Hey… Ren?” Sistine memanggil. Ia bahkan sampai menggerakkan pundaknya karena khawatir temannya itu yang sedari tadi mematung.
Beberapa saat, Ren sadar.
“Ada apa denganmu?” nada Sistine menjadi khawatir.
“A-ah…. Ti-tidak maaf. Aku… mungkin kau benar, Sis,” ucapnya tak terlihat meyakinkan. “Ta-tapi selain itu, tidakkah dia seperti nenek sihir?”
Sistine mengangguk sepakat, “Nyaris, kenyataan sih kalau berkaca dari tampangnya saat ini, penuh misteri. Dia tak pernah mengobrol ataupun terlihat senang dengan kehadiran kita di sini. Paling tidak senyuman sebatas tegur sapa juga tidak, apa aku salah?”
“Yeah…, tapi….” Ren mengingat sesuatu saat mereka pertama kalinya memperkenalkan diri pada Lady De Polcester. “Tidak. Kita harusnya pernah melihatnya tersenyum walau sekali, ngomong – ngomong?”
Sistine berdiam sebentar, lalu alisnya terangkat dan mengangguk – angguk kecil.
“Ohhh! Yeah… kalau diingat-” serunya mengingat sesuatu, seperti roda gerigi yang saling menggerekkan satu sama lain. Namun sesaat, roda gerigi itu macet tersendat kerikil. Sistine diingatkan hal ngeri yang saat itu tak terlalu terpikirkan. “Eeeee, apa itu tersenyum? Dia menyeringai seram loh!”
Ren akhirnya merasa kalau ada yang spendapat dengan dirinya. Ia menjelaskan bahwa saat itu Lady De Polcester tengah menatapnya, dengan senyuman menganggu itu. Ren juga memberitahu bahwa sebelumnya akhir – akhir ini wanita itu mengintainya dari belakang dengan wajah yang jauh lebih menyeramkan.
“Bukannya kau sedang dalam masalah besar, Ren!?” Sistine memanik dan melongo.
“Karena itu hari ini-“
Ren dan Sistine, telinga mereka menangkap suara tak asing, tangisan yang lirih. Ren terpaksa diam, lalu fokus pada suara tersebut.
Tangisannya kian lama kian mendekat. Jantung mereka dag dig dug seolah seorang drum yang dipukul seru. Rencana mereka adalah menunggu suara itu menjauh. Namun sebagai pemula, mereka kurang mempertimbangkan kejadian yang tidak diperkirakan.
Terdengar suara sendi artikulasi pada gagang pintu ditekan. Suara tangisan itu menjadi hening. Setelah beberapa saat mereka mendengar suara hempasan ringan pintu tertutup. Kemudian suara tangisan itu terdengar lagi.
“D-dia membuka pin-pintu?!” pekik Ren dan Sistine dalam hati. Mereka saling menatap, sama paniknya.
ns216.73.216.33da2